Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Agensi


Bahkan hingga setahunan yang lalu, tidak terbayang bahwa pencapaian AI akan sejauh ini. Keberadaan Chat GPT mengubah banyak hal. Chat GPT kelihatannya mampu melewati tes Turing, yakni tes yang membuat kita tidak bisa menemukan perbedaan antara percakapan teks yang dihasilkan oleh manusia dan percakapan teks yang dihasilkan oleh mesin. Kemajuan tersebut memunculkan kembali wacana tentang AI sebagai agensi atau diartikan secara sederhana sebagai individu yang otonom dan memiliki kehendak bebas. Wacana AI sebagai agensi mungkin pernah tenggelam setelah melihat kenyataan bahwa AI ternyata hanya mampu menjadi weak AI yang cuma mampu mereplikasi kerja pikiran secara partikular. 

Ide tentang strong AI atau AI yang mampu mereplikasi sepenuhnya kerja pikiran manusia salah satunya ditolak John Searle lewat chinese room argument. Menurut Searle, AI hanya mampu melakukan manipulasi simbol tetapi tidak mengerti mengapa harus melakukannya. AI tidak paham makna dari tindak tanduknya. Saat disodori contoh kemenangan komputer Deep Blue dalam pertandingan catur melawan juara dunia Gary Kasparov tahun 1997, Searle menanggapi bahwa kemampuan semacam itu tidak lebih dari cara kerja kalkulator: hanya menghitung. Deep Blue pun demikian, hanya melakukan kalkulasi atas langkah-langkah dalam permainan catur. 

Namun pertanyaannya, apa masalahnya jika AI tidak mampu memaknai atau tidak mengerti kegiatannya sendiri? Bukankah dalam kerangka eksternalitas, AI tersebut tetap menang catur dan mampu mereplikasi percakapan? Bukankah tidak penting apakah AI mengerti atau tidak apa yang dijalankannya? Toh, kita juga tidak harus selalu mengetahui latar belakang orang dalam melakukan tindakannya. Disinilah muncul problem lain tentang kesadaran. Kalaupun memang benar AI mampu mereplikasi kerja pikiran manusia mendekati sempurna, pertanyaan berikutnya, apakah AI memiliki qualia atau kesadaran akan pengalaman subjektif-individual? Qualia ini adalah juga problem yang dimasalahkan Thomas Nagel dalam tulisannya yang berjudul What Is It Like to Be a Bat?. Tesis Nagel memperlihatkan bahwa kalaupun kita tahu segala hal tentang cara kerja kelelewar, kita tetaplah tidak tahu bagaimana rasanya menjadi kelelawar. 

Masalah ada tidaknya kesadaran di luar diri kita, termasuk pada mesin, adalah hal yang berupaya dipecahkan filsuf-filsuf termasuk Descartes. Descartes beranggapan bahwa automata atau mesin yang seolah bergerak atas kemauan sendiri (tanpa terlihat digerakkan oleh pihak eksternal) dapat merespons berbagai sentuhan fisik dan bahkan menunjukkan rasa sakit, tetapi mesin tidak dapat mengatur perkataannya atau merespons suatu percakapan dengan berbagai macam cara. Descartes hendak mengatakan bahwa mesin, pada titik tertentu, memang bisa berinteraksi dengan manusia, tetapi tidak punya kompleksitas dalam merespons secara linguistik. Pandangan Descartes tersebut telah rubuh oleh Chat GPT yang mampu melakukan respons kompleks secara linguistik. 

Kemampuan Chat GPT telah mematahkan pandangan Descartes tentang automata, tetapi tetap belum terjawab apakah AI memiliki kesadaran atau tidak. David Chalmers menegaskan terlebih dahulu jika kesadaran mensyaratkan otak secara biologis, maka AI tidak mungkin punya kesadaran. Namun Chalmers mengingatkan bahwa cara kerja komputer juga rumit seperti otak biologis, bahkan dalam konteks teknologi AI masa kini, AI sudah kian dekat untuk menghasilkan apa yang disebut sebagai agensi terpadi (unified agency). Agensi terpadu ini secara umum diartikan sebagai replikasi dari individu yang solid dengan berbagai kompleksitasnya. Saat AI sudah bisa "melahirkan" Einstein, Aristoteles, dan orang-orang lainnya, maka kita bisa bayangkan AI memiliki "kesadaran". Optimisme Chalmers tidak main-main, ia memprediksi satu atau dua dekade lagi AI akan punya semacam "Qualia". Jika prediksi Chalmers benar, mungkin suatu hari nanti kita tidak akan tahu sedang berbicara tatap muka dengan manusia atau AI.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me