Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Musik Nasional dan Musik Nasionalis



1 Desember kemarin, saya diundang oleh seorang kawan, Sophan Ajie, untuk mengisi forum kuliah umum mata kuliah Kewarganegaraan dengan topik musik dan nasionalisme. Menariknya, dalam forum ini juga ada Rocky Gerung dan Ucok Homicide, dua orang yang saya idolakan dari bidang yang berbeda, satu filsafat, satu lagi musik. Boleh dibilang keduanya punya gagasan dan prinsip yang kuat, terutama dalam hal melakukan kritik terhadap kekuasaan. Dalam kesempatan ini, sebagai narasumber yang mendapat giliran bicara pertama, saya merasa perlu untuk menjernihkan konsep-konsep terlebih dahulu sebelum masuk pada pembahasan yang lebih kritis. Supaya enak disambungkan dengan tema musik dan nasionalisme, saya memulai materi dengan memilah antara musik nasional dan musik nasionalis. 

Mengacu pada buku berjudul The Music of European Nationalism: Cultural Identity and Modern History (2004) yang ditulis oleh Philip V. Bohlman, musik nasional adalah musik yang disuling dari musik-musik rakyat sebagai usaha membentuk identitas kultural suatu bangsa. Musik nasional, dalam pengertian ini, lebih bersifat bottom-up atau organik dari bawah ke atas dan bersumber dari penggambaran suatu masyarakat tentang kondisinya masing-masing, untuk kemudian dikompilasi dalam satu kesatuan gagasan bernama "musik nasional". Musik nasional dibuat biasanya atas tujuan pelacakan historis - kultural suatu negara - bangsa. 

Contoh musik nasional ini salah satunya adalah Great American Songbook yang meliputi musik-musik populer dan juga jazz standards di abad ke-20 untuk kemudian diklaim dalam suatu identitas bernama "musik Amerika". Isi dari Great American Songbook ini antara lain adalah Autumn in New York (Vernon Duke), Begin the Beguine (Cole Porter), Blue Moon (Richard Rodgers), Body and Soul (Richard Green), dan banyak lagi. Mengapa Amerika melakukan ini? Tentu karena Amerika "tidak punya budaya". Secara historis, sebagian besar dari orang-orang Amerika berasal dari Eropa yang mencaplok wilayah yang tadinya didiami oleh suku asli. Orang-orang Amerika yang "baru" ini kemudian merasa perlu merumuskan kebudayaan yang berbeda dari Eropa, sehingga dikumpulkan lah musik-musik "tradisi" dalam rangka menggali (atau menciptakan) akar historis supaya bangsa Amerika memiliki fondasi. Sebagai bangsa "baru", wajar kalau musik-musik "tradisi" ini banyak dikumpulkan dari kultur populer (bukan dari musik rakyat atau folk music karena kan suku-suku aslinya sudah disingkirkan [secara fisik maupun secara historis]). 

Apa yang dimaksud sebagai musik nasional di Indonesia mungkin bisa diambil dari beberapa musik yang muncul secara organik dari rakyat seperti Cublak Cublak Suweng, Yamko Rambe Yamko, Bungong Jeumpa, atau Bubuy Bulan, yang semuanya itu muncul dari daerah masing-masing, tetapi kemudian diklaim dalam suatu identitas nasional yakni "musik Indonesia". Perhatikan perbedaan antara musik nasional Indonesia dan musik nasional Amerika. Indonesia punya akar budaya yang lebih panjang sehingga musik nasionalnya benar-benar disuling dari musik-musik rakyat. Sementara Amerika mesti mengambil dari musik-musik industri yang telah diamplifikasi oleh media massa. Perbedaannya ada pada kondisi material yang digambarkannya. Karena murni berasal dari cerita rakyat, musik-musik nasional Indonesia membawa kita pada lanskap masyarakat Indonesia yang riil, sementara "musik Amerika" agak random dengan macam-macam tema, yang sepertinya dimasukkan ke lingkup musik nasional dengan kriteria "selama pernah menjadi musik yang populer di Amerika (dan dunia)". 

Bohlman membedakan musik nasional dan musik nasionalis. Musik nasionalis dapat ditarik akar sejarahnya dari perkembangan negara - bangsa di Eropa pada abad ke-18 dan abad ke-19. Konsep tentang nasionalisme dan patriotisme mulai dimunculkan untuk memenangkan persaingan antar teritori, sehingga perlu dukungan kultural agar, seperti kata Rocky, "Meluaskan perasaan orang-orang dalam suatu teritori yang terbatas". Berbeda dengan musik nasional yang prosesnya berasal dari "bawah ke atas", musik nasionalis, sebaliknya, bersifat top-down atau bermula dari kekuasaan. Berdasarkan tendensinya untuk memperkuat batas teritori, contoh dari musik nasionalis di Indonesia ini adalah Dari Sabang Sampai Merauke. Lagu tersebut menekankan lingkup wilayah negara Indonesia, untuk membedakan dari wilayah lainnya dan juga sekaligus memperingatkan supaya jangan sampai ada gerakan separatis! 

Musik nasionalis tentu tidak semuanya eksplisit membicarakan batas wilayah, tetapi poinnya adalah musik-musik nasionalis punya kepentingan meneguhkan identitas politik dan punya tendensi melayani penguasa. Lagu-lagu seperti Garuda Pancasila, Berkibarlah Benderaku, Maju Tak Gentar, Tanah Airku, adalah lagu-lagu yang berisi penghormatan terhadap lambang negara, usaha mempertahankan wilayah dari penguasaan bangsa lain, serta romantisme akan teritorinya sendiri. Musik-musik nasionalis cenderung tidak organik muncul dari masyarakat, tetapi semacam usaha yang "memaksa" dari pihak penguasa supaya muncul rasa kepemilikan dari rakyatnya sendiri, baik terhadap teritori politik maupun unsur-unsur politis lainnya. 

Baik dalam musik nasional maupun musik nasionalis, meski kadarnya berbeda, tetapi tetap keberadaan lagu-lagu di dalamnya harus atas dasar acc dari kekuasaan. Lagu Genjer-Genjer, Taman Bunga Plantungan, misalnya, adalah lagu-lagu yang bisa masuk kategori musik nasional karena temanya yang menggambarkan situasi material historis dari sebuah bangsa, tetapi masih belum bisa diterima oleh narasi utama karena problem politik. Hal-hal apapun yang berbau "nasional" (termasuk pahlawan nasional, hari-hari nasional) memang memerlukan korban.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me