Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Skena yang Kebetulan



Seorang filsuf sering ditampilkan sebagai penyendiri. Sokrates jalan-jalan sendirian di agora. Ia memang kerap menemukan teman bicara seperti Ion atau Euthypro, tetapi lawan bicaranya ini pada akhirnya menjadi "sarana eksperimen" Sokrates dalam mengeluarkan apa yang disebut sebagai "kebenaran dari dalam". Katanya Sokrates mempraktikkan gaya ironi atau pura-pura bodoh atau pura-pura tidak tahu saat bertanya-tanya pada rekan bicara. Namun benarkah demikian? Coba teman-teman baca dialog Sokrates manapun. Dia tidak sepenuhnya terlihat pura-pura bodoh. Bahkan dalam banyak kesempatan, Sokrates menggiring opini lawan bicaranya dengan cara yang agak menyebalkan! 

Immanuel Kant jelas penyendiri. Kemana-mana ia diceritakan sendirian. Begitupun filsuf lainnya seperti Diogenes, Nietzsche, Schopenhauer (yang cuma ditemani anjingnya, Atman), rata-rata hanya diceritakan sedikit saja bersentuhan dengan masyarakat. Seolah-olah mereka ini berpikir seorang diri melampaui lingkungan sekitarnya. Lingkungan sekitarnya hanyalah semacam latar belakang bagi keluhuran ide sang pemikir. Pada intinya, sejarah para pemikir diperkenalkan pada kita seolah-olah sebagai individu yang tampil mengemuka sendirian, tanpa penting kehidupan sekitarnya atau kita pandang seolah-olah sebagai perantara saja. 

Namun apa benar demikian? Apa benar para filsuf ini adalah individu yang begitu hebatnya sampai memancar mengalahkan zaman, atau mereka adalah produk dari sebuah "skena yang kebetulan"? Dulu saya berpikir yang pertama, tetapi sekarang agaknya lebih mempertimbangkan yang kedua. Apa maksud dari "skena yang kebetulan" ini? Ya mungkin Sokrates menarik, tetapi suatu keuntungan jika menariknya Sokrates itu membuat Platon berminat untuk mencatat dialog-dialognya atau membuat Aristophanes menjadikannya sebagai komedi. Dengan demikian, menariknya Sokrates tidak hanya sekadar menarik, melainkan juga menjadi abadi karena dicatat oleh orang-orang dalam skenanya. 

Platon sendiri punya skena bernama the Academy, tempat Aristoteles belajar di sana dua dekade sebelum mendirikan skenanya sendiri bernama the Lyceum. Banyak orang bergabung dalam skena ini, tetapi mengapa dua nama itu yang lebih mencuat? Mereka pendiri, tentu saja, tetapi pastilah ada mekanisme di dalam skena itu sendiri yang membuat nama-nama pegiat lainnya tidak bisa terlalu mentereng. Atau sekurang-kurangnya, karya para petinggi ini dibahas secara wajib, diamalkan setiap hari, pokoknya dijadikan pedoman hidup yang amat penting. Jika benar seperti itu, justru kian jelas bahwa keterkenalan para filsuf individual itu hanya mungkin terjadi karena peran skena. 

Belum lagi Marx dan Engels yang di masa mudanya rajin nongkrong di komunitas Hegelian Muda bareng orang-orang seperti Stirner, Bauer, Strauss, dan Feuerbach. Demikian halnya dengan skena Prancis mulai dari geng revolusioner seperti Diderot, Rousseau, Voltaire, Montesquie, dan Buffon yang kongkow di salon; hingga geng eksistensialis macam Sartre, de Beauvoir dan Camus yang nongkrong di Café de Flore. 

Dalam hal ini, skena berperan menguatkan jejaring antar pemikir sekaligus "memutuskan" mana pemikir yang bisa diangkat dan mana yang tidak perlu-perlu amat untuk diangkat. Keputusan-keputusan itu tentu saja tidak bersifat formal atau disadari, melainkan bisa saja berlangsung secara organik dan diseleksi secara historis lewat aktivitas-aktivitas harian atau bahkan satu dua momentum besar. Pada pokoknya, pemikir manapun pastilah mendapat keuntungan pergaulan yang membuat gagasannya bisa lestari. 

Bahkan Diogenes yang paling menggelandang sekalipun akhirnya namanya bisa abadi karena salah satunya persentuhan dengan Alexander Agung (dan pencatatan hidupnya oleh Diogenes Laërtius).

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat