Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Skena yang Kebetulan



Seorang filsuf sering ditampilkan sebagai penyendiri. Sokrates jalan-jalan sendirian di agora. Ia memang kerap menemukan teman bicara seperti Ion atau Euthypro, tetapi lawan bicaranya ini pada akhirnya menjadi "sarana eksperimen" Sokrates dalam mengeluarkan apa yang disebut sebagai "kebenaran dari dalam". Katanya Sokrates mempraktikkan gaya ironi atau pura-pura bodoh atau pura-pura tidak tahu saat bertanya-tanya pada rekan bicara. Namun benarkah demikian? Coba teman-teman baca dialog Sokrates manapun. Dia tidak sepenuhnya terlihat pura-pura bodoh. Bahkan dalam banyak kesempatan, Sokrates menggiring opini lawan bicaranya dengan cara yang agak menyebalkan! 

Immanuel Kant jelas penyendiri. Kemana-mana ia diceritakan sendirian. Begitupun filsuf lainnya seperti Diogenes, Nietzsche, Schopenhauer (yang cuma ditemani anjingnya, Atman), rata-rata hanya diceritakan sedikit saja bersentuhan dengan masyarakat. Seolah-olah mereka ini berpikir seorang diri melampaui lingkungan sekitarnya. Lingkungan sekitarnya hanyalah semacam latar belakang bagi keluhuran ide sang pemikir. Pada intinya, sejarah para pemikir diperkenalkan pada kita seolah-olah sebagai individu yang tampil mengemuka sendirian, tanpa penting kehidupan sekitarnya atau kita pandang seolah-olah sebagai perantara saja. 

Namun apa benar demikian? Apa benar para filsuf ini adalah individu yang begitu hebatnya sampai memancar mengalahkan zaman, atau mereka adalah produk dari sebuah "skena yang kebetulan"? Dulu saya berpikir yang pertama, tetapi sekarang agaknya lebih mempertimbangkan yang kedua. Apa maksud dari "skena yang kebetulan" ini? Ya mungkin Sokrates menarik, tetapi suatu keuntungan jika menariknya Sokrates itu membuat Platon berminat untuk mencatat dialog-dialognya atau membuat Aristophanes menjadikannya sebagai komedi. Dengan demikian, menariknya Sokrates tidak hanya sekadar menarik, melainkan juga menjadi abadi karena dicatat oleh orang-orang dalam skenanya. 

Platon sendiri punya skena bernama the Academy, tempat Aristoteles belajar di sana dua dekade sebelum mendirikan skenanya sendiri bernama the Lyceum. Banyak orang bergabung dalam skena ini, tetapi mengapa dua nama itu yang lebih mencuat? Mereka pendiri, tentu saja, tetapi pastilah ada mekanisme di dalam skena itu sendiri yang membuat nama-nama pegiat lainnya tidak bisa terlalu mentereng. Atau sekurang-kurangnya, karya para petinggi ini dibahas secara wajib, diamalkan setiap hari, pokoknya dijadikan pedoman hidup yang amat penting. Jika benar seperti itu, justru kian jelas bahwa keterkenalan para filsuf individual itu hanya mungkin terjadi karena peran skena. 

Belum lagi Marx dan Engels yang di masa mudanya rajin nongkrong di komunitas Hegelian Muda bareng orang-orang seperti Stirner, Bauer, Strauss, dan Feuerbach. Demikian halnya dengan skena Prancis mulai dari geng revolusioner seperti Diderot, Rousseau, Voltaire, Montesquie, dan Buffon yang kongkow di salon; hingga geng eksistensialis macam Sartre, de Beauvoir dan Camus yang nongkrong di Café de Flore. 

Dalam hal ini, skena berperan menguatkan jejaring antar pemikir sekaligus "memutuskan" mana pemikir yang bisa diangkat dan mana yang tidak perlu-perlu amat untuk diangkat. Keputusan-keputusan itu tentu saja tidak bersifat formal atau disadari, melainkan bisa saja berlangsung secara organik dan diseleksi secara historis lewat aktivitas-aktivitas harian atau bahkan satu dua momentum besar. Pada pokoknya, pemikir manapun pastilah mendapat keuntungan pergaulan yang membuat gagasannya bisa lestari. 

Bahkan Diogenes yang paling menggelandang sekalipun akhirnya namanya bisa abadi karena salah satunya persentuhan dengan Alexander Agung (dan pencatatan hidupnya oleh Diogenes Laërtius).

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me