Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

??🙏


Dalam sebuah forum yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, 4 Desember lalu, Studio Pancaroba, kolektif seni aktivis yang didirikan tahun 2019 dan mendefinisikan dirinya sebagai sekumpulan orang yang terdiri dari "direktur seni yang egois, copywriter mabuk, desainer biasa-biasa saja, pembom grafiti, fotografer sembrono, videografer tanpa sensor, dan aktivis penuh waktu", menunjukkan salah satu karyanya yang dibuat 5 Januari 2023. Karya itu, boleh kita menyebutnya sebagai karya, "hanya"-lah semacam modifikasi atas logo .bdg dengan slogan "bandung emerging creative city" yang ditambahkan tanda baca dan emot "??🙏". 

Kegiatan semacam itu mungkin lebih mudah untuk dilabeli sebagai aksi vandalis ketimbang kegiatan berkarya seni. Kalaupun berkarya seni, barangkali kita bisa sebut saja sebagai kegiatan berkarya seni yang receh dan main-main. Karena bukankah apa yang kita sepakati sebagai karya seni adalah objek yang mampu menggugah perasaan keindahan dalam diri para apresiatornya? Bukankah karya seni itu umumnya adalah suatu hal yang dipajang di galeri dan diperlakukan seperti benda suci? 

Kita bisa mencari-cari pengertian lain dari seni/ estetika yang tidak perlu megah dan eksklusif. Seni dan estetika memang perlu dibedakan, tetapi dalam tulisan ini akan digunakan secara bergantian untuk maksud yang kurang lebih sama. Mari kita pinjam tipis-tipis pengertian estetika menurut Jacques Rancière yang menyatakan bahwa estetika bukan perkara bagaimana sesuatu itu dibuat (mode of doing) melainkan perkara bagaimana sesuatu itu ditampilkan/ dihadirkan (mode of being). Mode of being yang dimaksud ini mengarah pada penginderaan. Sesuatu disebut sebagai estetik jika kehadirannya diinderai dengan cara yang berbeda, yang sedemikian rupa agar menciptakan kesan permainan. 

Poin Rancière ini menarik karena artinya apapun bisa berpotensi jadi seni. Jika kita kembalikan pada "karya" Studio Pancaroba di atas, maka logo .bdg beserta slogannya bisa jadi awalnya merupakan karya seni, lalu tidak lagi karena fungsinya yang telah melebur dengan keseharian (menjadi dekorasi kota, misalnya). Studio Pancaroba hanya membubuhkan sedikit tanda baca dan emot, supaya publik kemudian melihat kembali logo dan slogan tersebut. Tidak hanya sekadar melihatnya, tapi melihat dengan cara yang lain. Kesan permainan itu juga muncul dalam karya (sekarang tidak perlu diberi tanda kutip lagi) Studio Pancaroba karena bisa jadi membuat pelihatnya bertanya-tanya: iyakah ini karya seni? Atau vandalisme biasa? Tapi yang penting lucu kan? Tapi emang lucu ya? Momen semacam inilah, bagi Rancière yang meminjam pengertian Schiller, momen bermain-main dengan objek. 

Menariknya, Studio Pancaroba, dalam forum di Dewan Kesenian Jakarta tanggal 4 Desember tersebut, mengatakan bahwa aksinya tidak dilakukan dalam rangka apalah yang disebut sebagai "penyadaran". Tidak ada suatu maksud untuk menggurui, membuat publik menjadi berobah sesuai dengan keinginan sang seniman. Hal ini kian meneguhkan kedekatan konsep Studio Pancaroba dengan gagasan Rancière yang memang mengkritik "seni-seni kritis" yang selalu berangkat dari posisi seniman sebagai "si paling sadar" yang bertugas menyadarkan publik (yang belum sadar). Rancière lebih cocok menunjuk tugas seniman adalah mengganggu "distribusi penginderaan", membuat pelihat tidak lagi tunduk pada rezim sensori yang mainstream

Dengan aksi Studio Pancaroba yang tidak perlu keterampilan mahatinggi tersebut, cukuplah kiranya publik memikirkan ulang logo dan slogan yang telah lama melekat pada Kota Bandung terutama di era Ridwan Kamil tersebut. Terserah publik mau memikirkan hal seperti apa, mulai dari kenyataan bahwa pemkot Kota Bandung rajin melakukan penggusuran demi gagasan estetiknya, sampai mungkin hanya tertawa kecil, Studio Pancaroba rasa-rasanya tidak punya kepentingan lagi di sana. Tugasnya sudah selesai hingga kita melihat logo dan slogan itu dengan cara yang lain, setelah itu mereka lari lagi (dari kejaran satpol PP) untuk mengganggu rezim sensori yang lain.


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me