Dalam sebuah forum yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, 4 Desember lalu, Studio Pancaroba, kolektif seni aktivis yang didirikan tahun 2019 dan mendefinisikan dirinya sebagai sekumpulan orang yang terdiri dari "direktur seni yang egois, copywriter mabuk, desainer biasa-biasa saja, pembom grafiti, fotografer sembrono, videografer tanpa sensor, dan aktivis penuh waktu", menunjukkan salah satu karyanya yang dibuat 5 Januari 2023. Karya itu, boleh kita menyebutnya sebagai karya, "hanya"-lah semacam modifikasi atas logo .bdg dengan slogan "bandung emerging creative city" yang ditambahkan tanda baca dan emot "??🙏".
Kegiatan semacam itu mungkin lebih mudah untuk dilabeli sebagai aksi vandalis ketimbang kegiatan berkarya seni. Kalaupun berkarya seni, barangkali kita bisa sebut saja sebagai kegiatan berkarya seni yang receh dan main-main. Karena bukankah apa yang kita sepakati sebagai karya seni adalah objek yang mampu menggugah perasaan keindahan dalam diri para apresiatornya? Bukankah karya seni itu umumnya adalah suatu hal yang dipajang di galeri dan diperlakukan seperti benda suci?
Kita bisa mencari-cari pengertian lain dari seni/ estetika yang tidak perlu megah dan eksklusif. Seni dan estetika memang perlu dibedakan, tetapi dalam tulisan ini akan digunakan secara bergantian untuk maksud yang kurang lebih sama. Mari kita pinjam tipis-tipis pengertian estetika menurut Jacques Rancière yang menyatakan bahwa estetika bukan perkara bagaimana sesuatu itu dibuat (mode of doing) melainkan perkara bagaimana sesuatu itu ditampilkan/ dihadirkan (mode of being). Mode of being yang dimaksud ini mengarah pada penginderaan. Sesuatu disebut sebagai estetik jika kehadirannya diinderai dengan cara yang berbeda, yang sedemikian rupa agar menciptakan kesan permainan.
Poin Rancière ini menarik karena artinya apapun bisa berpotensi jadi seni. Jika kita kembalikan pada "karya" Studio Pancaroba di atas, maka logo .bdg beserta slogannya bisa jadi awalnya merupakan karya seni, lalu tidak lagi karena fungsinya yang telah melebur dengan keseharian (menjadi dekorasi kota, misalnya). Studio Pancaroba hanya membubuhkan sedikit tanda baca dan emot, supaya publik kemudian melihat kembali logo dan slogan tersebut. Tidak hanya sekadar melihatnya, tapi melihat dengan cara yang lain. Kesan permainan itu juga muncul dalam karya (sekarang tidak perlu diberi tanda kutip lagi) Studio Pancaroba karena bisa jadi membuat pelihatnya bertanya-tanya: iyakah ini karya seni? Atau vandalisme biasa? Tapi yang penting lucu kan? Tapi emang lucu ya? Momen semacam inilah, bagi Rancière yang meminjam pengertian Schiller, momen bermain-main dengan objek.
Menariknya, Studio Pancaroba, dalam forum di Dewan Kesenian Jakarta tanggal 4 Desember tersebut, mengatakan bahwa aksinya tidak dilakukan dalam rangka apalah yang disebut sebagai "penyadaran". Tidak ada suatu maksud untuk menggurui, membuat publik menjadi berobah sesuai dengan keinginan sang seniman. Hal ini kian meneguhkan kedekatan konsep Studio Pancaroba dengan gagasan Rancière yang memang mengkritik "seni-seni kritis" yang selalu berangkat dari posisi seniman sebagai "si paling sadar" yang bertugas menyadarkan publik (yang belum sadar). Rancière lebih cocok menunjuk tugas seniman adalah mengganggu "distribusi penginderaan", membuat pelihat tidak lagi tunduk pada rezim sensori yang mainstream.
Dengan aksi Studio Pancaroba yang tidak perlu keterampilan mahatinggi tersebut, cukuplah kiranya publik memikirkan ulang logo dan slogan yang telah lama melekat pada Kota Bandung terutama di era Ridwan Kamil tersebut. Terserah publik mau memikirkan hal seperti apa, mulai dari kenyataan bahwa pemkot Kota Bandung rajin melakukan penggusuran demi gagasan estetiknya, sampai mungkin hanya tertawa kecil, Studio Pancaroba rasa-rasanya tidak punya kepentingan lagi di sana. Tugasnya sudah selesai hingga kita melihat logo dan slogan itu dengan cara yang lain, setelah itu mereka lari lagi (dari kejaran satpol PP) untuk mengganggu rezim sensori yang lain.
Comments
Post a Comment