Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

??🙏


Dalam sebuah forum yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, 4 Desember lalu, Studio Pancaroba, kolektif seni aktivis yang didirikan tahun 2019 dan mendefinisikan dirinya sebagai sekumpulan orang yang terdiri dari "direktur seni yang egois, copywriter mabuk, desainer biasa-biasa saja, pembom grafiti, fotografer sembrono, videografer tanpa sensor, dan aktivis penuh waktu", menunjukkan salah satu karyanya yang dibuat 5 Januari 2023. Karya itu, boleh kita menyebutnya sebagai karya, "hanya"-lah semacam modifikasi atas logo .bdg dengan slogan "bandung emerging creative city" yang ditambahkan tanda baca dan emot "??🙏". 

Kegiatan semacam itu mungkin lebih mudah untuk dilabeli sebagai aksi vandalis ketimbang kegiatan berkarya seni. Kalaupun berkarya seni, barangkali kita bisa sebut saja sebagai kegiatan berkarya seni yang receh dan main-main. Karena bukankah apa yang kita sepakati sebagai karya seni adalah objek yang mampu menggugah perasaan keindahan dalam diri para apresiatornya? Bukankah karya seni itu umumnya adalah suatu hal yang dipajang di galeri dan diperlakukan seperti benda suci? 

Kita bisa mencari-cari pengertian lain dari seni/ estetika yang tidak perlu megah dan eksklusif. Seni dan estetika memang perlu dibedakan, tetapi dalam tulisan ini akan digunakan secara bergantian untuk maksud yang kurang lebih sama. Mari kita pinjam tipis-tipis pengertian estetika menurut Jacques Rancière yang menyatakan bahwa estetika bukan perkara bagaimana sesuatu itu dibuat (mode of doing) melainkan perkara bagaimana sesuatu itu ditampilkan/ dihadirkan (mode of being). Mode of being yang dimaksud ini mengarah pada penginderaan. Sesuatu disebut sebagai estetik jika kehadirannya diinderai dengan cara yang berbeda, yang sedemikian rupa agar menciptakan kesan permainan. 

Poin Rancière ini menarik karena artinya apapun bisa berpotensi jadi seni. Jika kita kembalikan pada "karya" Studio Pancaroba di atas, maka logo .bdg beserta slogannya bisa jadi awalnya merupakan karya seni, lalu tidak lagi karena fungsinya yang telah melebur dengan keseharian (menjadi dekorasi kota, misalnya). Studio Pancaroba hanya membubuhkan sedikit tanda baca dan emot, supaya publik kemudian melihat kembali logo dan slogan tersebut. Tidak hanya sekadar melihatnya, tapi melihat dengan cara yang lain. Kesan permainan itu juga muncul dalam karya (sekarang tidak perlu diberi tanda kutip lagi) Studio Pancaroba karena bisa jadi membuat pelihatnya bertanya-tanya: iyakah ini karya seni? Atau vandalisme biasa? Tapi yang penting lucu kan? Tapi emang lucu ya? Momen semacam inilah, bagi Rancière yang meminjam pengertian Schiller, momen bermain-main dengan objek. 

Menariknya, Studio Pancaroba, dalam forum di Dewan Kesenian Jakarta tanggal 4 Desember tersebut, mengatakan bahwa aksinya tidak dilakukan dalam rangka apalah yang disebut sebagai "penyadaran". Tidak ada suatu maksud untuk menggurui, membuat publik menjadi berobah sesuai dengan keinginan sang seniman. Hal ini kian meneguhkan kedekatan konsep Studio Pancaroba dengan gagasan Rancière yang memang mengkritik "seni-seni kritis" yang selalu berangkat dari posisi seniman sebagai "si paling sadar" yang bertugas menyadarkan publik (yang belum sadar). Rancière lebih cocok menunjuk tugas seniman adalah mengganggu "distribusi penginderaan", membuat pelihat tidak lagi tunduk pada rezim sensori yang mainstream

Dengan aksi Studio Pancaroba yang tidak perlu keterampilan mahatinggi tersebut, cukuplah kiranya publik memikirkan ulang logo dan slogan yang telah lama melekat pada Kota Bandung terutama di era Ridwan Kamil tersebut. Terserah publik mau memikirkan hal seperti apa, mulai dari kenyataan bahwa pemkot Kota Bandung rajin melakukan penggusuran demi gagasan estetiknya, sampai mungkin hanya tertawa kecil, Studio Pancaroba rasa-rasanya tidak punya kepentingan lagi di sana. Tugasnya sudah selesai hingga kita melihat logo dan slogan itu dengan cara yang lain, setelah itu mereka lari lagi (dari kejaran satpol PP) untuk mengganggu rezim sensori yang lain.


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k