Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Higuita

 

Sudah lama tidak langganan Netflix. Saat berlangganan kembali, saya bukannya nonton film-film yang sedang tren seperti Gadis Kretek atau dokumenter tentang kopi sianida, malah tertarik pada dokumenter sepakbola, salah satunya yang berjudul Higuita: The Way of Scorpion (2023). Mengapa saya tertarik menonton film tersebut? Sederhana saja, film itu bercerita tentang kiper nyentrik bernama René Higuita dan meski saya belum menyukai sepakbola saat beliau sedang jaya-jayanya (tahun 80-an sampai 90-an awal), saya tetap mengidolakannya lewat rekaman video-video lawas dan bagi saya, Higuita pernah membuat sepakbola begitu menarik. Rasa-rasanya tidak ada seorang pun penggila sepakbola yang tidak tahu aksi gila Higuita di Wembley pada pertandingan persahabatan tahun 1995. Higuita, yang membela timnas Kolombia, menghalau sepakan tanggung Jamie Redknapp, gelandang Inggris, dengan sebuah tendangan di belakang kepala yang diberi nama tendangan kalajengking (scorpion kick). 

Seperti umumnya film dokumenter yang menceritakan pesepakbola dari Amerika Latin (termasuk Maradona dan Neymar), Higuita tidak hanya bercerita tentang prestasi sang atlet, melainkan juga pergulatannya dengan lingkungan yang keras yakni Medellin, kota tempat Higuita lahir dan besar bersama klub Atletico Nacional. Medellin, kita tahu, adalah sarang kartel narkoba terbesar di Kolombia dengan Pablo Escobar sebagai salah satu drug lord-nya. Dalam sejarah hidupnya, Higuita tidak pernah menyembunyikan pertemanannya dengan Escobar, yang membuatnya kerap berada dalam posisi berbahaya di mata para penegak hukum. Namun di sinilah justru menariknya, menyelami kehidupan sejumlah pesepakbola sohor Amerika Latin adalah sekaligus memahami posisinya yang selalu bersitegang antara karir dan kehidupan di negeri asalnya yang carut marut. 

Terlebih lagi El Loco, julukan Higuita, bukanlah pesepakbola biasa-biasa. Ia adalah kiper megabintang setara selebriti yang selalu berada dalam lampu sorot. Selalu ada godaan bagi pemain bola - seleb semacam ini untuk pergi ke Eropa dan berkiprah di sana untuk waktu yang panjang demi melupakan kehidupan negerinya yang ramai oleh para kriminal. Namun Higuita tidak memilih jalur semacam itu. Tercatat sepanjang karir sepakbolanya yang merentang lebih dari dua puluh tahun, El Loco hanya setahun main di Spanyol, tepatnya di Real Valladolid, klub yang tidak bisa dikatakan termasuk pada jajaran elit sepakbola Eropa. 

Bagi saya film dokumenter tersebut sedikit mengubah persepsi tentang El Loco. Meski saya kagum dengan berbagai inovasi dan keberanian Higuita di dunia perkiperan, saya tetap kesal dengan blundernya di Piala Dunia 1990 yang membuat striker Kamerun, Roger Milla mampu merebut bola dari kakinya dan menceploskan bola ke gawang kosong. Kamerun akhirnya menang 2-1 dan Kolombia tersingkir di babak perdelapan final. Sampai sebelum saya nonton film Higuita, saya kira rekan-rekan setim hingga seisi negara akan menyalahkan El Loco, tapi ternyata tidak! Jasa El Loco bagi dunia sepakbola Kolombia terlalu besar sehingga kesalahannya tersebut dipandang sangat sepele untuk bisa menghapus kontribusinya selama ini. 

Selain itu, di tengah maraknya posisi sweeper keeper dalam sistem formasi sepakbola hari ini yang membuat kiper manapun harus mampu memainkan bola dengan kaki dan mendistribusikan bola dengan akurat, Higuita sudah terlebih dahulu menghayati gaya semacam itu. Higuita bisa dibilang merupakan sweeper keeper pertama yang bahkan sanggup merangsek ke depan dan turut membangun serangan (termasuk mengambil sepakan bebas). Hal yang lebih penting dalam peran sweeper keeper Higuita adalah ia melakukan semuanya dengan cara-cara yang indah dan menghibur. Tidak sekadar menjalankan sistem dengan baik, Higuita juga mampu menjalankan peran tersebut secara estetik! 

Begitu baik dan indahnya peran Higuita menjadi kiper yang "keluar dari kodrat", kesalahan fatal yang membuat tim nasional tersingkir saja tidak membuatnya di-cancel oleh para suporter. Higuita tetap dikenang dan namanya harum hingga sekarang. Mungkin bukan hanya berdasarkan atraksi dan jumpalitannya beliau di dunia sepakbola, tapi juga karena di masa jayanya, El Loco terus bertahan di Kolombia dengan segala kepahitannya, meski godaan hidup mewah di Eropa selalu memanggil-manggilnya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k