Sudah lama tidak langganan Netflix. Saat berlangganan kembali, saya bukannya nonton film-film yang sedang tren seperti Gadis Kretek atau dokumenter tentang kopi sianida, malah tertarik pada dokumenter sepakbola, salah satunya yang berjudul Higuita: The Way of Scorpion (2023). Mengapa saya tertarik menonton film tersebut? Sederhana saja, film itu bercerita tentang kiper nyentrik bernama René Higuita dan meski saya belum menyukai sepakbola saat beliau sedang jaya-jayanya (tahun 80-an sampai 90-an awal), saya tetap mengidolakannya lewat rekaman video-video lawas dan bagi saya, Higuita pernah membuat sepakbola begitu menarik. Rasa-rasanya tidak ada seorang pun penggila sepakbola yang tidak tahu aksi gila Higuita di Wembley pada pertandingan persahabatan tahun 1995. Higuita, yang membela timnas Kolombia, menghalau sepakan tanggung Jamie Redknapp, gelandang Inggris, dengan sebuah tendangan di belakang kepala yang diberi nama tendangan kalajengking (scorpion kick).
Seperti umumnya film dokumenter yang menceritakan pesepakbola dari Amerika Latin (termasuk Maradona dan Neymar), Higuita tidak hanya bercerita tentang prestasi sang atlet, melainkan juga pergulatannya dengan lingkungan yang keras yakni Medellin, kota tempat Higuita lahir dan besar bersama klub Atletico Nacional. Medellin, kita tahu, adalah sarang kartel narkoba terbesar di Kolombia dengan Pablo Escobar sebagai salah satu drug lord-nya. Dalam sejarah hidupnya, Higuita tidak pernah menyembunyikan pertemanannya dengan Escobar, yang membuatnya kerap berada dalam posisi berbahaya di mata para penegak hukum. Namun di sinilah justru menariknya, menyelami kehidupan sejumlah pesepakbola sohor Amerika Latin adalah sekaligus memahami posisinya yang selalu bersitegang antara karir dan kehidupan di negeri asalnya yang carut marut.
Terlebih lagi El Loco, julukan Higuita, bukanlah pesepakbola biasa-biasa. Ia adalah kiper megabintang setara selebriti yang selalu berada dalam lampu sorot. Selalu ada godaan bagi pemain bola - seleb semacam ini untuk pergi ke Eropa dan berkiprah di sana untuk waktu yang panjang demi melupakan kehidupan negerinya yang ramai oleh para kriminal. Namun Higuita tidak memilih jalur semacam itu. Tercatat sepanjang karir sepakbolanya yang merentang lebih dari dua puluh tahun, El Loco hanya setahun main di Spanyol, tepatnya di Real Valladolid, klub yang tidak bisa dikatakan termasuk pada jajaran elit sepakbola Eropa.
Bagi saya film dokumenter tersebut sedikit mengubah persepsi tentang El Loco. Meski saya kagum dengan berbagai inovasi dan keberanian Higuita di dunia perkiperan, saya tetap kesal dengan blundernya di Piala Dunia 1990 yang membuat striker Kamerun, Roger Milla mampu merebut bola dari kakinya dan menceploskan bola ke gawang kosong. Kamerun akhirnya menang 2-1 dan Kolombia tersingkir di babak perdelapan final. Sampai sebelum saya nonton film Higuita, saya kira rekan-rekan setim hingga seisi negara akan menyalahkan El Loco, tapi ternyata tidak! Jasa El Loco bagi dunia sepakbola Kolombia terlalu besar sehingga kesalahannya tersebut dipandang sangat sepele untuk bisa menghapus kontribusinya selama ini.
Selain itu, di tengah maraknya posisi sweeper keeper dalam sistem formasi sepakbola hari ini yang membuat kiper manapun harus mampu memainkan bola dengan kaki dan mendistribusikan bola dengan akurat, Higuita sudah terlebih dahulu menghayati gaya semacam itu. Higuita bisa dibilang merupakan sweeper keeper pertama yang bahkan sanggup merangsek ke depan dan turut membangun serangan (termasuk mengambil sepakan bebas). Hal yang lebih penting dalam peran sweeper keeper Higuita adalah ia melakukan semuanya dengan cara-cara yang indah dan menghibur. Tidak sekadar menjalankan sistem dengan baik, Higuita juga mampu menjalankan peran tersebut secara estetik!
Begitu baik dan indahnya peran Higuita menjadi kiper yang "keluar dari kodrat", kesalahan fatal yang membuat tim nasional tersingkir saja tidak membuatnya di-cancel oleh para suporter. Higuita tetap dikenang dan namanya harum hingga sekarang. Mungkin bukan hanya berdasarkan atraksi dan jumpalitannya beliau di dunia sepakbola, tapi juga karena di masa jayanya, El Loco terus bertahan di Kolombia dengan segala kepahitannya, meski godaan hidup mewah di Eropa selalu memanggil-manggilnya.
Comments
Post a Comment