Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Higuita

 

Sudah lama tidak langganan Netflix. Saat berlangganan kembali, saya bukannya nonton film-film yang sedang tren seperti Gadis Kretek atau dokumenter tentang kopi sianida, malah tertarik pada dokumenter sepakbola, salah satunya yang berjudul Higuita: The Way of Scorpion (2023). Mengapa saya tertarik menonton film tersebut? Sederhana saja, film itu bercerita tentang kiper nyentrik bernama René Higuita dan meski saya belum menyukai sepakbola saat beliau sedang jaya-jayanya (tahun 80-an sampai 90-an awal), saya tetap mengidolakannya lewat rekaman video-video lawas dan bagi saya, Higuita pernah membuat sepakbola begitu menarik. Rasa-rasanya tidak ada seorang pun penggila sepakbola yang tidak tahu aksi gila Higuita di Wembley pada pertandingan persahabatan tahun 1995. Higuita, yang membela timnas Kolombia, menghalau sepakan tanggung Jamie Redknapp, gelandang Inggris, dengan sebuah tendangan di belakang kepala yang diberi nama tendangan kalajengking (scorpion kick). 

Seperti umumnya film dokumenter yang menceritakan pesepakbola dari Amerika Latin (termasuk Maradona dan Neymar), Higuita tidak hanya bercerita tentang prestasi sang atlet, melainkan juga pergulatannya dengan lingkungan yang keras yakni Medellin, kota tempat Higuita lahir dan besar bersama klub Atletico Nacional. Medellin, kita tahu, adalah sarang kartel narkoba terbesar di Kolombia dengan Pablo Escobar sebagai salah satu drug lord-nya. Dalam sejarah hidupnya, Higuita tidak pernah menyembunyikan pertemanannya dengan Escobar, yang membuatnya kerap berada dalam posisi berbahaya di mata para penegak hukum. Namun di sinilah justru menariknya, menyelami kehidupan sejumlah pesepakbola sohor Amerika Latin adalah sekaligus memahami posisinya yang selalu bersitegang antara karir dan kehidupan di negeri asalnya yang carut marut. 

Terlebih lagi El Loco, julukan Higuita, bukanlah pesepakbola biasa-biasa. Ia adalah kiper megabintang setara selebriti yang selalu berada dalam lampu sorot. Selalu ada godaan bagi pemain bola - seleb semacam ini untuk pergi ke Eropa dan berkiprah di sana untuk waktu yang panjang demi melupakan kehidupan negerinya yang ramai oleh para kriminal. Namun Higuita tidak memilih jalur semacam itu. Tercatat sepanjang karir sepakbolanya yang merentang lebih dari dua puluh tahun, El Loco hanya setahun main di Spanyol, tepatnya di Real Valladolid, klub yang tidak bisa dikatakan termasuk pada jajaran elit sepakbola Eropa. 

Bagi saya film dokumenter tersebut sedikit mengubah persepsi tentang El Loco. Meski saya kagum dengan berbagai inovasi dan keberanian Higuita di dunia perkiperan, saya tetap kesal dengan blundernya di Piala Dunia 1990 yang membuat striker Kamerun, Roger Milla mampu merebut bola dari kakinya dan menceploskan bola ke gawang kosong. Kamerun akhirnya menang 2-1 dan Kolombia tersingkir di babak perdelapan final. Sampai sebelum saya nonton film Higuita, saya kira rekan-rekan setim hingga seisi negara akan menyalahkan El Loco, tapi ternyata tidak! Jasa El Loco bagi dunia sepakbola Kolombia terlalu besar sehingga kesalahannya tersebut dipandang sangat sepele untuk bisa menghapus kontribusinya selama ini. 

Selain itu, di tengah maraknya posisi sweeper keeper dalam sistem formasi sepakbola hari ini yang membuat kiper manapun harus mampu memainkan bola dengan kaki dan mendistribusikan bola dengan akurat, Higuita sudah terlebih dahulu menghayati gaya semacam itu. Higuita bisa dibilang merupakan sweeper keeper pertama yang bahkan sanggup merangsek ke depan dan turut membangun serangan (termasuk mengambil sepakan bebas). Hal yang lebih penting dalam peran sweeper keeper Higuita adalah ia melakukan semuanya dengan cara-cara yang indah dan menghibur. Tidak sekadar menjalankan sistem dengan baik, Higuita juga mampu menjalankan peran tersebut secara estetik! 

Begitu baik dan indahnya peran Higuita menjadi kiper yang "keluar dari kodrat", kesalahan fatal yang membuat tim nasional tersingkir saja tidak membuatnya di-cancel oleh para suporter. Higuita tetap dikenang dan namanya harum hingga sekarang. Mungkin bukan hanya berdasarkan atraksi dan jumpalitannya beliau di dunia sepakbola, tapi juga karena di masa jayanya, El Loco terus bertahan di Kolombia dengan segala kepahitannya, meski godaan hidup mewah di Eropa selalu memanggil-manggilnya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me