Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Pembebasan


Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya? 

Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki. Oke, yang demikian juga sebentuk pembebasan, tapi mengandung jebakan yang lain. 

Pertama, jebakan bahwa orang yang mengajak merasa diri sebagai "si paling sadar", yang menempatkannya pada posisi superordinat, sementara orang-orang lainnya, yang "belum tersadarkan", sebagai orang di posisi subordinat. Kedua, jebakan bahwa ajakan-ajakan tersebut dimaksudkan untuk "melayani massa". Musik yang dibuat sengaja di-setting untuk disukai publik. Masalahnya, si pembuat musik sendiri jadinya "tidak terbebaskan" (karena terperangkap keharusan untuk melayani). Ketiga, sesuai pandangan Adorno, bahwa pembebasan melalui musik-musik dengan format "populer" (dengan jumlah birama, progresi akor, yang nyaris seragam dengan lagu manapun yang ramai di dunia), sebenarnya tak terbebaskan secara musikal. 

Apa yang dipikirkan Adorno lewat musik Schoenberg, pada dasarnya adalah pembebasan secara musikal. Teknik dua belas nada tak memiliki pengulangan notasi dalam setiap putarannya. Padahal pengulangan itulah "senjata" musik populer, yang membuat orang manapun yang dicekoki menjadi hapal dan terbius, menempel kemana-mana ibarat "Kita bikin romantis"-nya Maliq n D'Essentials. Pembebasan secara musikal ini memang sangat spesifik, dan berpotensi jatuh pada elitisme, tetapi saya mungkin paham maksud Adorno: Adorno ingin agar secara internal, karya seni itu sendiri sudah terbebas, dari segala rupa hal-hal di luar seni, seperti kepentingan untuk melayani massa atau penjara format-format tertentu yang populer atau bertendensi semata-mata untuk membuat orang lain senang. Itulah mengapa Adorno memberi contoh Schoenberg: Schoenberg terbebaskan, tak butuh validasi massa, tak butuh diputar di media-media. Itulah pembebasan. 

Maka itu, sebagaimana obrolan saya dengan Ucok, kekeliruan besar jika melihat musik free jazz Ornette Coleman tidak membebaskan ketimbang musik - aktivisme seperti misalnya yang dibunyikan Bob Geldof atau Iwan Fals dalam konteks lokal. Free jazz itu sendiri membebaskan, dan memahami logika internal dalam musik tersebut akan membuat apresiatornya turut terbebaskan. 

Itu sebabnya, ketika saya mencari ke dalam diri, dari mana asal usul sikap kekirian saya, ternyata bukan dari literatur Marxis yang sebenarnya baru empat tahun atau lima tahun terakhir saja saya baru intens membacanya. Sejak remaja, saya lebih akrab dengan musik klasik dan musik jazz. Ternyata, saya kira, dari situlah saya mendapatkan ide tentang pembebasan. Hanya lewat apresiasi terhadap apa yang telah terbebaskan, kita turut terbebaskan bersamanya. 

Dengan demikian, pembebasan bukanlah sebentuk narasi semata-mata, melainkan pembebasan total, dimulai dari pembebasan penginderaan. Apa yang kita lihat, apa kita dengar, mestilah terlebih dahulu teremansipasi dari jebakan-jebakan hubungan subordinat - superordinat yang kadang terselubung via aktivisme serta bentuk estetika yang terkurung dalam kepentingan melayani selera massa. Jadilah elitis, bebaskan dirimu sendiri, baru bebaskan orang lain.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me