Skip to main content

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Spiritualitas dalam Joged Gemoy

 


(Ini adalah teks Filtum [Filsafat Tujuh Menit] yang dibacakan pada live IG Kelas Isolasi, 12 Maret 2024)

Ya, kita tahu siapa yang pasti menang pada pilpres tahun ini. Orang yang dalam kampanyenya mengandalkan suatu gerakan tari yang dilabeli sebagai joged gemoy. Meskipun cerita tentang ini sudah beredar luas, saya harus ulas sedikit tentang darimana asal usul joged gemoy ini berdasarkan pengakuan Prabowo sendiri dalam podcast Deddy Corbuzier. Menurut Prabowo, gaya joged tersebut terinspirasi dari joged spontan yang dilakukan kakeknya, Pak Margono. Usut punya usut, ternyata gaya tersebut masih ada kaitannya dengan kisah pewayangan, "Kakek saya orang Jawa dari Banyumas, zaman itu belum ada televisi, jadi hiburannya wayang," kata Prabowo mulai bercerita. Dalam sebuah cerita wayang (yang diperagakan wayang orang itu), sang kakek merasa senang dengan sosok tokoh Pandawa dan Kurawa di mana gerakannya seperti orang yang sedang melakukan pencak silat. "Pandawa dan Kurawa, pertempuran antara baik dan jahat. Dalam wayang itu, koreografi pertempurannya banyak menggunakan silat, pencak silat," tandasnya lebih lanjut. Itulah asal usul mengapa Prabowo selalu disambut dengan gerakan seperti orang melakukan silat setiap ia mengunjungi kediaman sang kakek. Gerakan tersebut juga kemudian menjadi turun-temurun di keluarganya ketika menyambut adanya kabar bahagia maupun kabar baik. 

Oke, itulah sekilas ceritanya. Sekarang mari kita analisis lebih lanjut makna dari joged gemoy dan bagaimana kampanye tersebut bisa menjadi salah satu faktor sukses dalam memenangkan pasangan nomor urut 02. Saya akan memulainya dengan anabel alias analisis gembel, tepatnya dari pengalaman saya menonton dan mengapresiasi konser musik klasik. Dalam kebiasaan menonton konser musik klasik, berjoged bukanlah hal yang lazim sebagai cara untuk menikmati musik klasik. Hal yang bisa kita lakukan adalah duduk rapi, ngangguk-ngangguk, dan paling banter tepuk-tepukan tangan (tanpa ada bunyinya jika di tengah lagu). Memang dalam tradisi tertentu, konser musik klasik bisa dinikmati dengan cara menari yang sifatnya partisipatoris, apalagi jika diselenggarakan di ruang publik terbuka. Namun peristiwa semacam ini agak jarang, pun bentuk tariannya tidak bisa terlalu spontan asal mengikuti beat atau irama. Tarian yg ditampilkan dalam konser musik klasik sebaiknya tertata, mengikuti tema, seperti waltz, tango, gigue, atau allemande. 

Kenapa begitu? Kenapa harus sesuai? Bukankah tarian itu bisa saja spontan, tergantung respons dari tubuh saja. Ini ada kaitannya dengan bagaimana kita melihat tubuh dan pikiran. Untuk mencerna musik klasik, kita tidak hanya bicara beat atau iramanya saja, melainkan kompleksitas harmoni dan bagannya. Atas dasar itu, apresiasi dalam bentuk tarian bukanlah hal utama dalam umumnya konser musik klasik. Musik klasik dilabeli juga sebagai musik serius, yang kurang lebih memerlukan fokus dalam menganalisis aspek musikal dalam si musik. Ketika bicara fugue-nya Bach misalnya, kita sebaiknya tidak fokus pada joged dulu, melainkan menyimak permainan kontrapung si komposer dan menemukan kemegahan karyanya di sana. Oke, sebentar, kita belum masuk pada joged gemoy. Nah, maka itu, tubuh yang beraksi dalam konser musik klasik, adalah tubuh yang didisiplinkan oleh intelektualitas. Meski terdapat gerakan-gerakan, semua itu harus dalam keteraturan, bersumber dari koreografi yang berpusat pada akal. 

Sementara itu, menari yang sifatnya spontan, yang tidak dikoreo, yang berangkat dari respons langsung terhadap si musik, sebaliknya, adalah sebentuk pembebasan terhadap intelektualitas. Kita joged, joged saja, tak perlu ada pendisiplinan tubuh, yang penting senang, yang penting goyang, yang penting jeprut. Hal semacam ini kurang diperkenankan dalam acara seperti konser musik klasik. Joged spontan adalah ciri tubuh yang tribalistik, cenderung dekat pada insting hewani, karena tak dibekali rasionalitas, padahal malah itulah poinnya, lepas dari kendali rasionalitas. Nah, bagaimana dengan joged gemoy? Dekat dengan tarian yang inteleque atau yang spontan? 

Meskipun tampak memiliki koreo yang khas, joged gemoy bukanlah suatu joged yang ketat dengan aturan-aturan. Joged gemoy dibuat sedemikian rupa supaya mudah ditiru, dan sebagaimana joged-joged yang disiapkan untuk viral di medsos, joged ini mudah direplikasi. Hal yang pasti, joged ini bukan joged intelektual, tidak perlu keahlian khusus untuk bisa melakukan joged gemoy. Tak perlu tubuh-tubuh yang terlatih. Bahkan tak perlu mengikuti koreo secara persis pun, yang penting asik, orang tak perlu khawatir tereksklusi dari pesta partisipatoris dalam joged gemoy. Kira-kira inilah anabel pertama tentang joged gemoy, yaitu kesannya yang jauh dari sifat intelek, yang mana citra tersebut lebih dekat pada paslon 01 dan 03. Paslon 02 tahu bahwa rakyat tak semuanya senang intelektualisme, yang berpusat pada omon-omon, yang kebanyakan berbicara konsep ini itu, padahal kadang rakyat senangnya langsung to the point pada masalah yang harus diselesaikan, misalnya perut lapar, lewat maksi gratis. Joged gemoy adalah simbol spontanitas itu, tari tanpa intelektualitas, sama dengan, solusi tanpa intelektualitas. 

Anabel kedua, adalah upaya mengatasi citra Prabowo sebagai eks pimpinan militer yang tegas dan menyeramkan. Tubuh militer adalah tubuh yang ditempa melalui disiplin. Tubuh militer adalah tubuh yang telah ditempa melalui serangkaian opresi supaya mampu untuk melakukan opresi. Tubuh militer adalah tubuh opresor. Hal menarik dari pemilu kemarin adalah keterlibatan gen Z sebagai pemilih, yang rata-rata tahun lahirnya adalah pasca tahun 1998. Artinya, mereka tidak pernah mengalami langsung masa-masa saat pemberitaan Prabowo tengah marak dalam bentuk tubuh opresornya. Rata-rata gen Z yang tidak kritis dan jarang baca-baca berita-berita yang lampau bisa jadi tidak punya pengetahuan tentang Prabowo dalam citra tubuh opresornya, dan baru tahu sekarang dalam bentuk wujud gemoynya, dengan citra yang dibentuk sedemikian rupa agar tubuh militernya tak lagi terlalu kelihatan. Dalam pandangan sebagian gen Z, tak mungkin bapak-bapak segemas ini pernah melakukan kejahatan HAM. Jadilah joged gemoy tercipta, untuk membangun kesan tubuh yang bebas, lepas dari kungkungan disiplin ala tentara yang patuh dan kaku. Tubuh yang terbebaskan ini semakin meyakinkan bagi gen Z yang begitu mudah terpikat pada tari-tarian khas tiktok yang punya sifat massal, partisipatoris, dan mudah direplikasi. Jadi, semakin lengkaplah anabel ini, bahwa joged gemoy juga diciptakan untuk menghancurkan citra tubuh militer yang tak kompatibel dengan semangat tiktok yang penuh perayaan akan kemajemukan, sebuah platform yang menghadirkan gaya "rhizomatik" ala Deleuzian. 

Jadi, mengacu pada judulnya yaitu "Spiritualitas dalam Joged Gemoy", apa nilai spiritualitas dalam joged gemoy? Sebenernya judul ini juga membingungkan karena tadinya saya persiapkan judul ini untuk mengantisipasi kehadiran Gus Muhidin M. Dahlan. Namun beliau tidak kunjung memberikan kepastian kabar, sehingga akhirnya saya lah yang membawakan dengan seperangkat analisis gembel. Tapi kalau tanya pada saya, adakah nilai-nilai spiritual dalam joged gemoy? Saya jawab saja, tidak ada. Terima kasih.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1