Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Lebaran

Lebaran adalah momen menghitung. Menghitung uang untuk jadi perbekalan, menghitung jumlah makanan, menghitung sanak saudara yang harus dikunjungi, menghitung durasi perjalanan mudik, serta menghitung siapa yang masih tinggal dan siapa yang telah pergi. Lebaran punya nilai religius, tentu saja, sebagai suatu ujung dari perjuangan sebulan penuh dalam menahan hawa nafsu di bulan Ramadhan. Meskipun soal hawa nafsu ini kadang dikekang sementara saja, semacam formalitas, yang membenarkan kita untuk melakukan "kompensasi" dalam bentuk konsumerisme gila-gilaan. Kapitalisme "memberi jalan" bagi orang-orang yang kesulitan untuk mengartikan konsep fitrah, agar diwujudkan dalam bentuk-bentuk barang atau momen yang merepresentasikan hal itu, yang membuat konsep fitrah menjadi "tampak", misalnya: baju baru, hidangan yang berbeda dari hari-hari biasanya, atau halal bi halal dengan menyewa ruang pertemuan atau restoran. Lagi-lagi, lebaran adalah soal menghitung. 

Bagi toko-toko atau pedagang, lebaran juga adalah kesempatan untuk mengkalkulasikan: apakah akan tetap buka, atau ikut arus mainstream untuk tutup toko/ dagangan dan bahkan ikut mudik. Toko atau pedagang yang tetap beroperasi memiliki suatu perhitungan tersendiri, bahwa lebaran tak sepenuhnya membuat kota menjadi mati. Ada kumpul-kumpul keluarga, yang kadang bosan dengan hidangan ketupat dan opor, untuk mencari variasi dalam pecel lele atau masakan padang. Kumpul-kumpul keluarga juga perlu snack, perlu air mineral, gelas plastik, garpu plastik, yang semuanya lebih dimungkinkan jika Indo atau Alfa tetap buka. Dengan demikian, lebaran juga adalah momen mencari kesempatan dalam persaingan yang sedang "lengah" akibat dorongan religius dan kultural yang menyebabkan sebagian besar orang kemudian memutuskan untuk rehat dari berbisnis. 

Ngomong-ngomong rehat, lebaran adalah sekaligus momen perhentian, tempat kita dengan sejenak merenungkan siapa yang masih tinggal dan siapa yang telah pergi. Lebaran dulu masih ada si ini si itu, lebaran sekarang bareng si ini si itu, dan kita semua mengenali: ada saudara "baru", ada yang telah tiada, atau ada yang sekadar alpa. Kita mengidentifikasi siapa yang masih berada dalam lingkaran dan siapa yang telah keluar darinya. Mengacu pada ikatan sosial yang serba dinamis ini, lebaran sekaligus momen penerimaan, bahwa oke si ini masih ada, si itu sudah tiada, semacam pengesahan atas dinamika tersebut. Maka itu pasca lebaran, mungkin ada yang dinamakan fitrah itu: kembali pada kesadaran tentang siapa yang masih bersama kita. Di hari-hari biasa, perasaan tersebut dikaburkan oleh rutinitas, kesibukan, dan godaan untuk menekannya lewat pelbagai kesenangan. Dalam lebaran, kita terpaksa menyadarinya secara penuh, karena segala kesibukan sementara ditinggalkan, bahwa memang yang telah tiada telah tiada, dan yang datang adalah datang. Fitrah adalah penerimaan tentang yang tak abadi. Yang datang dan pergi.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me