Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Kepemilikan (2)

 

 

Agak rumit juga ternyata menyatakan hal apa yang benar-benar menjadi milik kita. Locke di abad ke-17 menyatakan bahwa sesuatu dinyatakan sebagai milik pribadi dengan mengacu pada hasil kerja. Saya bekerja mendapatkan uang, uang tersebut saya belikan laptop, maka laptop itu menjadi milik saya. Selain itu, sesuatu menjadi dikatakan milik saya jika laptop tersebut dibeli atas hasil kerja orang lain, lalu diberikan pada saya secara sah (bukan hasil mencuri). 

Problemnya tidak selesai sampai di situ. Jika memang hasil kerja menjadi acuan kepemilikan, bukankah yang mengerjakan laptop tersebut juga adalah sekaligus para buruh? Jika buruh yang mengerjakannya, mengapa bukan mereka saja yang memiliki laptop tersebut? Ironisnya, buruh-buruh yang mengerjakan laptop tersebut bisa jadi malah tidak mampu membelinya. 

Meski menyisakan masalah hingga berabad-abad, sumbangsih Locke tetap penting untuk menemukan justifikasi kepemilikan pribadi. Tadinya, konsep tersebut tidak jelas karena segala kepemilikan mengacu pada tuan tanah atau para bangsawan. Rakyat jelata dipandang sebagai kaum yang "tak punya apa-apa" kecuali mengerjakan atau menggarap hal-hal yang dimiliki dan dikuasai oleh golongan yang lebih tinggi. 

Konsep kepemilikan, utamanya kepemilikan individu, memang problematik, tetapi di sisi lain, kepemilikan bersama tanpa sekat juga tak kalah bermasalahnya. Meski kita bisa membayangkan suatu lahan yang digarap bersama untuk kepentingan bersama, tetap saja lahan tersebut mesti diklaim sebagai milik suatu kelompok, supaya kelompok di luarnya tidak bisa tiba-tiba nyelonong menggarap lahan itu. 

Kolektivisme memang mungkin, tetapi membayangkan kolektivisme universal yang mencakup segala hal di dunia menjadi milik bersama adalah sesuatu yang utopis juga. Ibarat jargon dunia hari ini yang mengatakan bahwa kehidupan bermasyarakat tak lagi berkompetisi melainkan berkolaborasi, pada kenyataannya: kompetisi di antara pihak-pihak yang berkolaborasi. 

Apa poin dari semua ini? Dulu saya agak aneh dengan dogma "harta tak dibawa mati". Bagaimana mungkin sesuatu yang telah kita kumpulkan dengan susah payah kemudian tak menjadi hitungan di kehidupan berikutnya jika memang jiwa ini abadi? Bukankah usaha-usaha menumpuk harta di dunia, yang menjadi hari-hari kita (mengalahkan ibadah spiritual), kemudian menjadi sia-sia? 

Ternyata, setelah direnung-renungkan, poinnya bukan pada usahanya, melainkan pada status kepemilikan itu sendiri yang problematik. Meski tampak mudah untuk menyimpulkan bahwa ada barang atau segala sesuatu yang menjadi "milik saya", tetapi kenyataannya status kepemilikan tersebut punya banyak tafsir. 

Buku yang kita beli, ditulis oleh pikiran orang lain, dijilid oleh percetakan, dijual di toko buku oleh penjual buku, dan sampai ke tangan kita dengan cara dibeli oleh uang yang berasal dari gaji kita. Tampak sederhana, tetapi tidak juga. Buku itu menjadi "milik saya" karena suatu versi saja yang menyimpulkan demikian. Kenyataannya, kita bisa perdebatkan versi lain, yang menyatakan bahwa buku tersebut bisa saja bukan milik saya seorang, tapi milik pihak-pihak lain juga (yang terlibat di dalamnya). 

Saya berusaha untuk tidak melompat pada urusan spiritual, tetapi rupanya tak terhindarkan juga. Jika status kepemilikan kita dengan sendirinya problematik, maka memang jangan-jangan tak ada yang benar-benar kita punya. Hal yang kita anggap telah memilikinya, hasil jerih payah kita sendiri, bisa hilang dengan cara apapun, seperti diambil begitu saja, meski sudah ditahan-tahan sekuat tenaga. 

Kita bisa menyatakan anak adalah milik kita, tapi anak itu bisa diambil kapan saja. Kita bisa menyatakan bahwa uang ini adalah milik kita, tapi uang itu bisa menguap tiba-tiba, oleh suatu keperluan yang tak disangka-sangka. Kita bisa mengklaim bahwa reputasi kita adalah hasil jerih payah kita, tapi begitu diambil, ya sudah, mungkin memang awalnya juga statusnya adalah pinjaman. Jika memang kita sudah sedari awal tak punya apa-apa, lalu mendapat pinjaman, dan pinjaman itu diambil lagi oleh yang punya, lantas, masalahnya di mana?

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...