Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Kepemilikan (2)

 

 

Agak rumit juga ternyata menyatakan hal apa yang benar-benar menjadi milik kita. Locke di abad ke-17 menyatakan bahwa sesuatu dinyatakan sebagai milik pribadi dengan mengacu pada hasil kerja. Saya bekerja mendapatkan uang, uang tersebut saya belikan laptop, maka laptop itu menjadi milik saya. Selain itu, sesuatu menjadi dikatakan milik saya jika laptop tersebut dibeli atas hasil kerja orang lain, lalu diberikan pada saya secara sah (bukan hasil mencuri). 

Problemnya tidak selesai sampai di situ. Jika memang hasil kerja menjadi acuan kepemilikan, bukankah yang mengerjakan laptop tersebut juga adalah sekaligus para buruh? Jika buruh yang mengerjakannya, mengapa bukan mereka saja yang memiliki laptop tersebut? Ironisnya, buruh-buruh yang mengerjakan laptop tersebut bisa jadi malah tidak mampu membelinya. 

Meski menyisakan masalah hingga berabad-abad, sumbangsih Locke tetap penting untuk menemukan justifikasi kepemilikan pribadi. Tadinya, konsep tersebut tidak jelas karena segala kepemilikan mengacu pada tuan tanah atau para bangsawan. Rakyat jelata dipandang sebagai kaum yang "tak punya apa-apa" kecuali mengerjakan atau menggarap hal-hal yang dimiliki dan dikuasai oleh golongan yang lebih tinggi. 

Konsep kepemilikan, utamanya kepemilikan individu, memang problematik, tetapi di sisi lain, kepemilikan bersama tanpa sekat juga tak kalah bermasalahnya. Meski kita bisa membayangkan suatu lahan yang digarap bersama untuk kepentingan bersama, tetap saja lahan tersebut mesti diklaim sebagai milik suatu kelompok, supaya kelompok di luarnya tidak bisa tiba-tiba nyelonong menggarap lahan itu. 

Kolektivisme memang mungkin, tetapi membayangkan kolektivisme universal yang mencakup segala hal di dunia menjadi milik bersama adalah sesuatu yang utopis juga. Ibarat jargon dunia hari ini yang mengatakan bahwa kehidupan bermasyarakat tak lagi berkompetisi melainkan berkolaborasi, pada kenyataannya: kompetisi di antara pihak-pihak yang berkolaborasi. 

Apa poin dari semua ini? Dulu saya agak aneh dengan dogma "harta tak dibawa mati". Bagaimana mungkin sesuatu yang telah kita kumpulkan dengan susah payah kemudian tak menjadi hitungan di kehidupan berikutnya jika memang jiwa ini abadi? Bukankah usaha-usaha menumpuk harta di dunia, yang menjadi hari-hari kita (mengalahkan ibadah spiritual), kemudian menjadi sia-sia? 

Ternyata, setelah direnung-renungkan, poinnya bukan pada usahanya, melainkan pada status kepemilikan itu sendiri yang problematik. Meski tampak mudah untuk menyimpulkan bahwa ada barang atau segala sesuatu yang menjadi "milik saya", tetapi kenyataannya status kepemilikan tersebut punya banyak tafsir. 

Buku yang kita beli, ditulis oleh pikiran orang lain, dijilid oleh percetakan, dijual di toko buku oleh penjual buku, dan sampai ke tangan kita dengan cara dibeli oleh uang yang berasal dari gaji kita. Tampak sederhana, tetapi tidak juga. Buku itu menjadi "milik saya" karena suatu versi saja yang menyimpulkan demikian. Kenyataannya, kita bisa perdebatkan versi lain, yang menyatakan bahwa buku tersebut bisa saja bukan milik saya seorang, tapi milik pihak-pihak lain juga (yang terlibat di dalamnya). 

Saya berusaha untuk tidak melompat pada urusan spiritual, tetapi rupanya tak terhindarkan juga. Jika status kepemilikan kita dengan sendirinya problematik, maka memang jangan-jangan tak ada yang benar-benar kita punya. Hal yang kita anggap telah memilikinya, hasil jerih payah kita sendiri, bisa hilang dengan cara apapun, seperti diambil begitu saja, meski sudah ditahan-tahan sekuat tenaga. 

Kita bisa menyatakan anak adalah milik kita, tapi anak itu bisa diambil kapan saja. Kita bisa menyatakan bahwa uang ini adalah milik kita, tapi uang itu bisa menguap tiba-tiba, oleh suatu keperluan yang tak disangka-sangka. Kita bisa mengklaim bahwa reputasi kita adalah hasil jerih payah kita, tapi begitu diambil, ya sudah, mungkin memang awalnya juga statusnya adalah pinjaman. Jika memang kita sudah sedari awal tak punya apa-apa, lalu mendapat pinjaman, dan pinjaman itu diambil lagi oleh yang punya, lantas, masalahnya di mana?

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me