Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Pejalan (5)

 

Kemampuan berimajinasi membuat kita mampu membayangkan tempat manapun tanpa harus pernah benar-benar ke sana. Kita bisa membayangkan berada di puncak gunung, berpindah sejauh ribuan kilometer, hingga mengkonstruksi dalam pikiran: suatu tempat di masa lalu atau masa yang akan datang. Imajinasi membuat manusia bisa jauh mengembara melampaui dirinya. Meski usia seseorang katakanlah, hingga sampai tujuh puluhan tahun, imajinasi bisa membuat siapapun mampu merenungkan waktu-waktu yang lebih panjang dari masa hidupnya, bahkan bisa sampai jutaan kali lipat. Imajinasi bahkan bisa sampai pada merenungkan: keabadian. 

Pengetahuan adalah modal lain yang kita punya. Melalui pengetahuan, kita bisa menguasai suatu perkara dan mencari jalan keluar tentangnya. Mirip dengan imajinasi, pengetahuan juga bisa berupa sesuatu yang tak perlu kita alami langsung. Pengetahuan tentang hukum, misalnya, tidak mensyaratkan kita mesti menjalani proses hukum. Pengetahuan tentang suatu penyakit bukan artinya kita mesti menderita suatu penyakit juga. Pengetahuan berkenaan dengan geografi tidak mengharuskan kita untuk berkunjung ke banyak wilayah di muka bumi. Imajinasi dan pengetahuan keduanya membantu manusia melampaui dirinya, yang serba terbatas karena ketubuhannya. 

Saat menjadi pejalan, saya sadar imajinasi tak lagi seberapa penting. Saya tak mampu membayangkan apa yang bisa saya lakukan saat tiba di B2, P1, dan P2. Bahkan perjalanan ke sana pun tak sanggup saya pikirkan. Saya hanya menetapkan niat, mencoba bergerak dengan membayangkan tujuan secara samar-samar, lalu sisanya tiba-tiba saya sudah di titik ini, titik itu, dan titik-titik lain yang tak dipikirkan sama sekali sebelumnya. Tatkala tidur di ruangan musik saat di P1, saya tidak membayangkan sama sekali akan tidur di ruangan itu. Pun saat saya sedang tidur di ruangan itu, saya berusaha keras tidak melemparkan imajinasi saya ke tempat tidur lain. Semua itu tidak diperlukan. Sang pejalan tak perlu buru-buru melampaui apa yang sedang dialaminya. 

Saat berjumpa Guru di P2, saya ternyata juga tak memerlukan pengetahuan-pengetahuan yang telah saya pelajari. Kepasrahan dan ketaatan kadang tak mensyaratkan pengetahuan. Pengetahuan mungkin tetap dibawa-bawa, tapi disimpan saja di bagasi, tak perlu dikeluarkan, dipamerkan, apalagi digunakan. Pengetahuan bisa menjadi selubung yang menghalangi penghayatan si pejalan terhadap apa yang sedang dialaminya. Tidak segala sesuatu harus dipertanyakan, dibedah, atau dianalisis asal muasal, alasan-alasan, supaya dapat suatu justifikasi, pembenaran, sebelum diputuskan untuk dijalani. Begitulah lemahnya pengetahuan, seringkali kita punya kemampuan yang tampak jernih tentang suatu persoalan, baik dan buruknya, tetapi ujung-ujungnya tetap saja tidak diselami. Semua hanya berada dalam pikiran saja. 

Pengetahuan tentu penting, teori-teori itu bermanfaat juga, tetapi pijakan seorang pejalan mestinya lebih dari itu. Pejalan tunduk secara penuh pada apa yang sedang terjadi di hadapannya, dalam perjalanannya. Ia pasrah sepenuhnya karena pengetahuan tak lagi mampu dipercaya sebagai penerang paling utama. Mungkin saya punya segudang pengetahuan untuk menjelaskan mengapa saya bisa berada di kabupaten P2 meski saya hanya punya uang lima belas ribu pada mulanya. Namun penjelasan-penjelasan berbasis pengetahuan malah akan mengecilkan pengalaman itu sendiri. Pun tak ada pengetahuan yang memadai untuk menjelaskan mengapa saya tiba-tiba berada di kota B2 bersama orang-orang yang tak saya kenal. Saya tak perlu justifikasi pikiran, karena yang membuat saya pergi hanyalah karena saya tak tahu lagi harus berbuat apa, hidup tiba-tiba kehilangan segala rencana, dan yang saya niatkan hanyalah berjalan, tanpa menjejali kepala ini dengan segala bentuk prasangka. 

Pejalan kemudian memahami, bahwa yang dilakukan manusia seyogianya adalah terus berjalan. Boleh sesekali kita menoleh ke belakang, untuk mendapati bahwa satu per satu persoalan kita telah terlewati. Terlewati tanpa harus menggunakan perangkat bernama pengetahuan. Terlewati begitu saja, karena kita terus berjalan hingga melewatinya. Pejalan kemudian memahami, bahwa yang dilakukan manusia seyogianya adalah terus berjalan. Hingga sampai ke sebuah tempat yang bahkan sebelumnya tak sanggup kita bayangkan melalui imajinasi.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat