Skip to main content

Tong Sampah

Entah mulai kapan aturan ini, tapi dalam sepakbola, membuka kaos setelah mencetak gol dapat dihukum kartu kuning. Juga dalam sepakbola, pemain tidak boleh lanjut menendang bola jika wasit meniup peluit tanda permainan mesti distop. Ingat kejadian heboh pada bulan Maret 2011 antara Arsenal lawan Barcelona? Robin van Persie menerima kartu kuning kedua karena tetap menyepak bola meski wasit telah meniup peluit tanda offside . Demikian halnya dalam basket, sebuah tim dapat dihukum technical foul jika protes berlebihan atau bereaksi lebay dengan misalnya membanting bola. Apa poinnya?  Kita tentu tidak ingin olahraga hanya sekadar mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Kita sekaligus ingin melihat emosi di dalamnya. Kita, sebagai penonton, turut menikmati sorak kegembiraan saat pemain mencetak gol, juga sekaligus menikmati kesedihan orang yang gagal mengeksekusi penalti. Itu sebabnya kamera pada tayangan olahraga seperti sepakbola, basket, tenis, badminton, atau voli, beberapa dian

Pejalan (4)

 

Suatu waktu saya berjanji dalam hati, untuk tidak kembali ke dunia itu lagi. Namun setelah dipikir-pikir, kenapa saya harus menggunakan kata "kembali"? Selama ini saya berjalan terus, membawa dunia saya sendiri: untuk orang-orang mendekat, menjauh, tinggal, nongkrong, check in, check out, di dalam dunia yang saya bawa. Seorang pejalan semestinya tak pernah "stuck" dalam suatu perhentian dan bermukim untuk waktu yang terlalu lama. Pejalan selalu bergerak, menanggalkan perasaan nyamannya karena sekaligus tahu, kenyamanan dapat membunuh kepenasaranan, keinginan untuk terus mencari. 

Pertanyaannya, sampai kapan harus terus mencari? Sampai kapan muncul perasaan untuk tak harus bermukim di suatu tempat? Bukankah jiwa ini bisa kelelahan jika terus-terusan mencari? Sejujurnya, saya juga tak tahu hingga entah kapan. Hanya saja saya merasa tak sanggup lagi berpegang pada yang sudah-sudah. Hubungan dengan manusia begitu rapuh. Seseorang bisa jadi kawan dekat bertahun-tahun, tapi esoknya bisa meninggalkan, dan bahkan menjadi musuh terbesar. Pasanganmu bisa dipercaya, tetapi sebagaimana segala yang hidup, ia bisa sakit dan mati kapan saja. Uang kita bisa memberikan sukacita, tetapi bisa menguap tiba-tiba, oleh keperluan yang tak disangka-sangka. Kita merasa bisa mengontrol kebahagiaan kita, padahal tidak. Bahkan pikiran dan kecerdasan, yang saya merasa itu semua merupakan hasil kerja keras yang sah, pun bisa menjadi penyebab segala derita. 

Maka tak ada gunanya khawatir atas segala hal yang pernah ada lalu kemudian tiada. Saya datang bertamu, mendapat perlakuan yang menyenangkan dari tuan rumah, tapi saya tak boleh merasa keenakan lalu tinggal untuk waktu yang lama. Saya tahu bahwa saya di sana hanya untuk beristirahat sejenak, ngobrol-ngobrol santai, sebelum meneruskan perjalanan. Saya mesti sadar dari awal, bahwa saya tak pernah menjadikan bertamu sebagai tujuan, maka itu jangan terlalu berharap untuk kembali ke sana. Tuan rumah baik pada kita karena kita adalah tamunya. Jika kita tinggal terlalu lama, kita tak lagi dipandang sebagai tamu, melainkan bisa menjadi pengganggu. 

Pejalan yang baik tahu bahwa momennya bertamu hanyalah sekadar bertamu. Tidak ada keinginan untuk tinggal berlama-lama atau bahkan menguasai kediaman si tuan rumah. Pejalan yang baik tahu bahwa rumah itu adalah milik si tuan rumah dan perlakuan menyenangkan hanyalah sesuatu yang sementara. Pejalan yang baik memandang momen bertamu bukan semata-mata ia memasuki dunia si tuan rumah, melainkan juga sebaliknya, menjadikan tuan rumah berada dalam dunia si pejalan, sebagai bagian dari pengembaraannya. 

Sekarang ke manakah si pejalan mesti melanjutkan, setelah meninggalkan perjamuan dari si tuan rumah? Pejalan mesti mengembara hingga menemukan tuan rumah yang menjamunya tanpa rasa khawatir. Rasa khawatir bahwa kita kelak akan mengambil alih propertinya. Karena hanya tuan rumah yang maha kaya yang tak takut kehilangan harta. Tuan rumah yang sekaligus tak punya problem, kalaupun kita tinggal berlama-lama, karena dia begitu ramah, sampai-sampai kita dilarang untuk meneruskan perjalanan. Katanya, "Tak perlu berjalan lagi, sudah di sini saja. Disinilah teman, pasangan, harta, dan pikiranmu berasal. Tak perlu khawatir lagi mereka akan pergi, karena di sinilah mereka semua akan kembali."

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me