Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Pejalan (2)

 


Setelah perjalanan bus kurang lebih tiga belas jam, saya tiba di kabupaten P2 sekitar pukul enam pagi. Jarak ke lokasi ternyata masih cukup jauh sehingga saya memutuskan untuk ngopi-ngopi di sebuah warung. Saya ngobrol dengan warga lokal sambil menyantap makanan khas di sana. Kesan saya, warga lokal ini sangat ramah dan senang sekali bercerita. Saya akhirnya diminta naik becak ke lokasi sambil menikmati pemandangan sawah dan menghirup udara segar. Sungguh lingkungan yang nyaman, jauh dari hiruk pikuk perkotaan beserta segala konfliknya yang kadang dibuat-buat saja. 

Lokasi yang akan saya kunjungi adalah sebuah pesantren. Tempat yang tidak pernah akrab bagi saya, meskipun punya beberapa teman yang berasal dari lingkungan tersebut. Saya diundang oleh orang penting di pesantren itu, atau bisa dikatakan juga semacam pimpinannya. Mungkin pimpinan ini juga ada banyak dan berhierarki, tapi yang pasti orang tersebut, yang berikutnya saya sebut saja sebagai Guru, adalah salah satu yang berpengaruh.

Di kediaman Guru yang masih di lingkungan pesantren, jangan ditanya lagi, saya diajak untuk beribadah secara rutin dengan waktu istirahat yang bisa dikatakan sedikit untuk ukuran saya. Saya memang orang yang selama ini sangat malas beribadah, bahkan untuk ibadah yang wajib bagi seorang Muslim. Sementara di tempat ini, saya tidak hanya didorong untuk menjalankan solat lima waktu, melainkan juga solat malam, zikir, dan berdoa di waktu-waktu khusus. 

Saya tidak bisa melupakan momen ini: Guru mengajak saya untuk merenung, berdua saja, sekitar pukul 21, dengan lampu digelapkan supaya khusyu. Saya diajarkan berzikir, dengan bacaan-bacaan yang sebenarnya sudah sangat umum, tetapi diminta untuk merenungkan kembali maknanya, dibenarkan cara bacanya, dan ditanamkan bagaimana cara menghayatinya. Saya ingat pesan-pesan Guru saat momen ngobrol agak bebas:

"Keimanan harus lebih besar dari ilmu, ilmu harus lebih besar dari kehidupan, kehidupan harus lebih besar dari diri, diri itulah harus yang paling kecil."

Pernyataan Guru tersebut menyentak saya. Selama ini saya memposisikan itu semua nyaris sebaliknya: diri menjadi yang paling besar, sementara iman malah yang paling kecil. Lalu saat membicarakan perihal filsafat, katanya begini:

"Kita tidak selalu memerlukan pisau, kadang kita hanya perlu piring, sendok, gelas."

Simbolik, tapi saya paham maksudnya. Momen itu begitu berkesan. Seseorang yang begitu sibuk dengan urusan pesantrennya, mau meluangkan waktu berdua saja dengan saya, si pejalan yang tersesat. Untuk pertama kalinya saya merasa tak harus untuk mempertanyakan semua: ikuti saja, patuhi saja, dengan penuh rasa hormat, atas apa yang diucapkan Guru. Saya pernah begitu dekat dengan agama, sekitar masa-masa SMP hingga kuliah, sebelum kemudian menjauh selama belasan tahun, hingga akhirnya didekatkan kembali lewat Guru yang menggali kembali pemahaman-pemahaman saya secara mendasar. Ternyata ketahuan, saya tak paham apa-apa. Jangankan keilmuan, iman saja saya tak punya.

Maka momen itu menjadi momen kembali. Segala kehancuran telah membuka jalan untuk bertasbih kepada-Nya. Saya harap Dia mau menerima, pertaubatan seorang pejalan yang tertatih-tatih, bergelimang dosa, untuk menuju kepada-Nya. 

Dua malam saja saya di sana, karena harus pulang demi sebuah urusan di Jakarta. Dua malam yang menenangkan batin, mungkin mengubah hidup saya selama-lamanya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat