Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Pejalan (6)


Kata kedua orang tua saya (yang telah wafat), Syarif Maulana artinya "pemimpin yang bijaksana". Meski menyukai nama tersebut, saya tak terlalu peduli pada artinya. Saya kira, makna semacam itu hanya sugesti saja, tidak mencerminkan suatu karakter atau nasib tertentu. Sampai suatu ketika, saya berjumpa dengan seseorang yang saya anggap sebagai pembimbing spiritual. "Saya mau membimbingmu," katanya kira-kira, "karena namamu Maulana." Alasan yang aneh dan tidak rasional, tetapi sekurang-kurangnya memperlihatkan bahwa nama ternyata punya tuah juga. 

Sampai suatu ketika pula, setelah berbagai kejadian belakangan ini, Guru di kabupaten P2 kemudian mengungkapkan pendapatnya tentang nama saya, "Namamu itu maknanya lumayan berat. Artinya kira-kira setara raja, tetapi bukan cuma raja, melainkan raja para raja, alias raja diraja." Guru lalu melanjutkan, "Karena nama itu, kau menjadi seseorang dengan ego yang tinggi." Agak sedih mendengarnya, karena bagaimanapun nama tersebut adalah pemberian kedua orang tua. Saya tak pernah mengubahnya, tak pernah mempunyai alias, dan membawa kemanapun nama tersebut dengan bangga. Namun jangan-jangan memang di situ pokok persoalannya. Saya terlalu membanggakannya. 

Saya tak paham bahasa Arab. Tak tahu mana makna yang benar tentang nama "Syarif Maulana". Orang tua saya dan Guru tampak punya versi yang berbeda perkara nama ini. Namun saya ikut saja, ketika Guru memberi saran untuk mengubahnya. Usulnya, jadikan "Arif Lana". "Lana" artinya kira-kira "untuk kami", "bersama kami", atau "di antara kami". Kata Guru, supaya lebih rileks, tidak berorientasi ke-aku-an, melainkan lebih pada ke-kami-an. 

Masih terdengar agak asing bagi saya, tapi mengapa tidak? Selama SD saya dipanggil Arif, pun kalau tidak salah orang tua awalnya ingin saya dipanggil Arif. Tidak pernah terpikirkan sedikit pun bagi saya untuk mengganti nama. Saya tadinya merasa Syarif Maulana ini sudah solid. Baik buruknya akan tetap saya pertahankan hingga akhir usia. Namun ketika Guru memikirkan sungguh-sungguh terkait nama saya, maka tak ada salahnya untuk mengikuti usulannya. Si pejalan tak hanya memunguti serba perenungan dalam perjalananannya, melainkan mendapati perubahan nama. Sebagai doa. Mulai sekarang, panggil saya: Arif Lana.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat