Skip to main content

Tong Sampah

Entah mulai kapan aturan ini, tapi dalam sepakbola, membuka kaos setelah mencetak gol dapat dihukum kartu kuning. Juga dalam sepakbola, pemain tidak boleh lanjut menendang bola jika wasit meniup peluit tanda permainan mesti distop. Ingat kejadian heboh pada bulan Maret 2011 antara Arsenal lawan Barcelona? Robin van Persie menerima kartu kuning kedua karena tetap menyepak bola meski wasit telah meniup peluit tanda offside . Demikian halnya dalam basket, sebuah tim dapat dihukum technical foul jika protes berlebihan atau bereaksi lebay dengan misalnya membanting bola. Apa poinnya?  Kita tentu tidak ingin olahraga hanya sekadar mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Kita sekaligus ingin melihat emosi di dalamnya. Kita, sebagai penonton, turut menikmati sorak kegembiraan saat pemain mencetak gol, juga sekaligus menikmati kesedihan orang yang gagal mengeksekusi penalti. Itu sebabnya kamera pada tayangan olahraga seperti sepakbola, basket, tenis, badminton, atau voli, beberapa dian

Pejalan (6)


Kata kedua orang tua saya (yang telah wafat), Syarif Maulana artinya "pemimpin yang bijaksana". Meski menyukai nama tersebut, saya tak terlalu peduli pada artinya. Saya kira, makna semacam itu hanya sugesti saja, tidak mencerminkan suatu karakter atau nasib tertentu. Sampai suatu ketika, saya berjumpa dengan seseorang yang saya anggap sebagai pembimbing spiritual. "Saya mau membimbingmu," katanya kira-kira, "karena namamu Maulana." Alasan yang aneh dan tidak rasional, tetapi sekurang-kurangnya memperlihatkan bahwa nama ternyata punya tuah juga. 

Sampai suatu ketika pula, setelah berbagai kejadian belakangan ini, Guru di kabupaten P2 kemudian mengungkapkan pendapatnya tentang nama saya, "Namamu itu maknanya lumayan berat. Artinya kira-kira setara raja, tetapi bukan cuma raja, melainkan raja para raja, alias raja diraja." Guru lalu melanjutkan, "Karena nama itu, kau menjadi seseorang dengan ego yang tinggi." Agak sedih mendengarnya, karena bagaimanapun nama tersebut adalah pemberian kedua orang tua. Saya tak pernah mengubahnya, tak pernah mempunyai alias, dan membawa kemanapun nama tersebut dengan bangga. Namun jangan-jangan memang di situ pokok persoalannya. Saya terlalu membanggakannya. 

Saya tak paham bahasa Arab. Tak tahu mana makna yang benar tentang nama "Syarif Maulana". Orang tua saya dan Guru tampak punya versi yang berbeda perkara nama ini. Namun saya ikut saja, ketika Guru memberi saran untuk mengubahnya. Usulnya, jadikan "Arif Lana". "Lana" artinya kira-kira "untuk kami", "bersama kami", atau "di antara kami". Kata Guru, supaya lebih rileks, tidak berorientasi ke-aku-an, melainkan lebih pada ke-kami-an. 

Masih terdengar agak asing bagi saya, tapi mengapa tidak? Selama SD saya dipanggil Arif, pun kalau tidak salah orang tua awalnya ingin saya dipanggil Arif. Tidak pernah terpikirkan sedikit pun bagi saya untuk mengganti nama. Saya tadinya merasa Syarif Maulana ini sudah solid. Baik buruknya akan tetap saya pertahankan hingga akhir usia. Namun ketika Guru memikirkan sungguh-sungguh terkait nama saya, maka tak ada salahnya untuk mengikuti usulannya. Si pejalan tak hanya memunguti serba perenungan dalam perjalananannya, melainkan mendapati perubahan nama. Sebagai doa. Mulai sekarang, panggil saya: Arif Lana.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me