Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Cin(T)a: Polemik Akut yang Akhirnya Diangkat

Tadinya saya ragu menonton film tersebut. Sungguh, selalu ada perasaan skeptik tentang film Indonesia, apalagi yang berbau cinta-cinta-an. Biasanya ceritanya klise dan cenderung cengeng. Ingin terkesan mendalam, tapi malah melankolik brutal. Apalagi ini judulnya "vulgar" sekali, semakin saja menunjukkan minimnya kreativitas sineas kita. Meski demikian, ada tiga alasan yang akhirnya mendorong saya untuk coba-coba: Pertama, poster filmnya cukup unik. Ia ditulis "Cin(T)a". Bikin lumayan penasaran. Kenapa ada huruf "T" dikurung begitu? Kedua, katanya ini tentang pacaran beda agama, yang mana saya sempat mengalaminya. Boleh lah saya lihat demi merefleksikan pandangan-pandangan saya waktu itu. Ketiga, ini paling kurang penting, tapi justru jadi pemicu terbesar kenapa saya mesti nonton: kakak saya jadi figuran, meski cuma beberapa detik.
Film ini durasinya cukup pendek, dan isinya didominasi oleh dialog kedua insan beda agama itu, namanya Cina (diperankan Sunny Soon) dan Annisa (Saira Jihan). Cina adalah seorang Kristen dan keturunan Tionghoa. Sedangkan Annisa seorang Jawa yang Islam. Keduanya terlibat jalinan percintaan yang diawali dari pertemuan intens berkaitan dengan tugas akhir Annisa. Cina hadir di saat yang tepat dan banyak membantunya. Akhirnya, keduanya memutuskan pacaran berkat bantuan seorang tukang baso (ini menurut pandangan saya, tapi pasti sutradara tak sependapat). Ketika Annisa memanggil Cina dengan sebutan "Cin", tukang baso (yang gerobaknya sedang mereka tongkrongi) menginterpretasi panggilan itu sebagai kependekan dari "Cinta". Sehingga tukang baso bertanya iseng pada Cina, "Itu pacarnya ya? Kok manggilnya Cin?" Si Cina menolak karena memang bukan pacarnya. Namun setelah diceritakan kejadian tersebut pada Annisa, mereka tertawa kecil, lalu berpegangan tangan untuk pertama kalinya, yang bolehlah disimbolkan sebagai bentuk pacaran. Benarkah berkat si tukang baso?
Kelanjutan ceritanya, ya begitulah, seperti dugaan orang Indonesia kebanyakan, bahwa cintanya sulit direstui. Perbedaan agama menjadi jurang utama. Pergulatan pemaknaan atas perbedaan itulah yang menjadi bobot film tersebut. Dialog antara Cina dan Annisa, perlu diakui, cukup punya nilai filosofis dan tidak cengeng serta klise seperti film cinta-cinta-an Indonesia kebanyakan. Memang karena terlalu filosofis dan serius, dialognya menjadi kurang cair dan berkesan terlalu dramatik, macam Romeo and Juliet.

Pertama, ini sebuah terobosan yang, tapi, tak tepat juga disebut terobosan. Maksudnya, isu cinta beda agama sudah sering terdengar dalam realitas keseharian, namun baru ada yang mau mengangkatnya. Entah kenapa, apakah karena orang Indonesia jika sudah berbicara agama sudah seperti orang sakit jiwa kah? Apapun itu, saya salut dengan sineasnya, yang mau mendudukkan sebuah topik lama ke dalam wacana baru. Wacana baru, karena ketika itu sudah difilmkan, maka lebih banyaklah orang mau mendiskusikannya dalam forum, blog, facebook, atau workshop. Sehingga lama kelamaan isu tersebut bisa jadi semacam wacana pengetahuan dan tidak punya unsur-unsur ketabuan yang kurang jelas. Ini Bagus.
Hanya saja, hanya saja, begini, ini sayangnya. Ketika sutradara punya ide yang bagus, segar, antusias, dan mendalam, adalah penting untuk mengemasnya agar pesan itu sampai. Banyak sekali karya seni yang punya ide brilian, tapi tak punya cara yang baik untuk mengomunikasikannya, sehingga mentah di jalan. Ini terasa, pertama, dari kualitas gambar film itu sendiri. Jujur saja, terasa kurang bagus dan seadanya. Kuat sekali imej film indie-nya. Tidak dibangun melalui jaringan rumah produksi raksasa seperti Punjabi dkk contohnya. Kedua, bagaimanapun, ini debut film Sunny Soon dan Saira Jihan, yang mana tak bisa dibohongi dari aktingnya yang kikuk dan kurang mengajak saya untuk ikut hanyut bersama emosinya. Ketiga, pesan soal Ketuhanan dan perbedaan agama, sungguh padat dalam keseluruhan film. Padahal, sepertinya, pertanyaan-pertanyaan macam "Kenapa Ia ciptakan kita berbeda-beda, jika ia ingin disembah dengan satu nama?" adalah hal yang common sense saja, tidak perlu diangkat secara berlebihan. Barangkali jika diceritakan pengalaman religius yang lebih "tidak terlalu direct", mungkin saya bisa lebih merasakan kedalaman isi cerita.

Tak perlu saya bahas banyak-banyak sepertinya tentang si film, karena saya pun tak bisa memberi masukan bagaimana baiknya. Hanya saja soal cinta beda agama ini, memang pelik sekaligus lucu. Dan pertanyaan yang sering saya ajukan adalah seperti ini, "Jika Tuhan tahu apa yang dia lakukan, pasti dia juga tahu kenapa ia memberikan cinta untuk para pasangan." Artinya, cinta beda agama adalah rencana Tuhan juga. Itu paling mudah jadi argumentasi logis pertama. Yang kedua, yang paling asyik, adalah: Tuhan itu sama aja lah, satu, esa, yang bikin beda adalah manusia, yakni si pencipta agama itu. Jadilah jika kedua argumentasi itu bisa diyakinkan dalam keteguhan hati, maka seterusnya barangkali tinggal menghadapi batu besar bernama administrasi, protokol, dan kultur, yang mana di Indonesia tak memihak cinta beda agama. Entahlah, Indonesia itu paradoks sepertinya, plural tapi membenci perbedaan.
Yang saya simpulkan sementara ini adalah: bahwa Tuhan, dalam agama dan argumentasi apapun, selalu dikonstruksi manusia untuk kepentingan pragmatis manusia itu sendiri. Artinya, kerahasiaan dzat Tuhan, adalah ruang multitafsir mahabesar. Dan tafsir manusia, sejauh pengamatan saya, adalah tafsir yang selalu berkaitan dengan pemuasan kepentingan dirinya. Misal: Tuhan adalah ayah, maka itu ditujukan demi memenuhi figur ayah dalam dirinya. Tuhan adalah tempat curhat, maka ya, dia berguna sebagai ruang tempat mengadu. Tuhan itu senang perang, maka menangkanlah aku, kaumku, karena Kau membenci mereka. Maka ketika aku menang, Ya Tuhan, kekuasaan ini milikku, dan kusebarkan agama-Mu.
Termasuk ketika argumentasi dua insan untuk membenarkan cinta beda agamanya. Dia pilih lah Tuhan mana yang bisa mendukung dirinya, ketika dalam agamanya masing-masing, Tuhan satu tak kenal Tuhan lainnya. Ia pilih Tuhan plural, Tuhan fleksibel, atau apapun lah namanya.


Comments

  1. Saya setuju bahwa Tuhan adalah sebagaimana manusia menafsirkannya.

    ReplyDelete
  2. penasaran juga pgn nonton, dimana ya?

    ReplyDelete
  3. @Nia: betul, mungkin tidak ada namanya Tuhan, tapi yang ada adalah penafsiran atas Tuhan.
    @Evi: Alah, Epiiii, kumaha sineas teh where have u been? Udah mau abis lagi Epiiii. Hahaha.

    ReplyDelete
  4. Point terakhirnya kena dan bikin gue ngecek diri juga, Rif. Kayaknya ngidentifikasi Tuhan sama kebutuhan tiap manusia itu nggak terhindar, yg musti diperiksa terus proporsional apa enggaknya aja ...

    Oh, jadi "sodara lo" yg di offclinic itu tak lain tak bukan adalah kakak lo sendiri, toh, ya ? Hehehe ...

    ReplyDelete
  5. heu heu.. indie kan ga berarti harus seadanya dan alakadarnya dalam penceritaan. aku belum nonton filmnya dan beneran langsung ilfil begitu liat trailernya di you tube. pengen ngomongin cinta beda agama mana ada cina-cinanya segala, tapi kedodoran.. persis seperti orang yang pengen ngomongin pemikiran habermas atau heidiger tapi yang dibaca habermas atau heidiger untuk pemula. ga ada pendalaman. kalo ngomong indie, ariani darmawan bisa ngomongin soal cina dan identitas (persoalan yang sama beratnya) tapi hanya dalam durasi 9 menit dan dialog yang alami tapi brilian.. secara personal, saya mah udah bosen banget sama orang yang melihat soal cinta beda agama ini dengan cara yang klise dan tidak membawa pencerahan apa-apa malah memperuncing perbedaan..

    ReplyDelete
  6. @Dea: Iya Dea, itu kakak gw, adalah yang keliatan mulutnya doank hehe.. Soal pragmatisme Tuhan, iya memang demikian sepertinya, Tuhan yang dimaksud adalah Tuhan yang berguna. Jadi jangan pusing2 dalam beda agama Tuhan itu digambarkan berbeda-beda, toh Tuhan dalam tiap individu pun sudah berbeda-beda.
    @Mbak Tarlen: Hehe iya-iya, perihal kesederhanaan Indie itu saya akui memang generalisasi saya tidak tepat.
    Saya pernah denger tentang film Ariani itu, meski belum nonton, katanya memang padat dan berbobot sekali.
    Betul memang, ada dua kemungkinan, antara dengan diangkat, orang semakin terbiasa dengan perbedaan, atau malah perbedaan ini semakin dibikin runyam. Hal yang semestinya biasa jadi luar biasa. Semoga justru yang pertama, biarpun sulit, eh biarpun tak mungkin. Hehehe.

    ReplyDelete
  7. ga tw KLA Project yg bilang duluan ato Gibran ktanya cinta ialah 2 beda yang menyatu, termasuk beda agama juga kali y,kyaknya cinta bukan soal agama tpi soal "hati" ciee :) emang bener.. manusia yg selalu bikin rumit sesuatu

    ReplyDelete
  8. @artcoholic: betul sekali, kalo kata Pak Bambang, realitas sejati adalah hidup sendiri. Artinya, hidup yang tidak dipilah-pilah. Nah ketika cinta ikut campur, biasanya pemilahan-pemilahan hidup menjadi kabur. Kita liat seseorang karena orang itu sendiri, bukan bungkus status sosial, kekayaan, atau agama. Kata Nietzsche juga, kita akan paham hidup kalo mabuk seperti Dyonisus. Mabuk ini bisa diartikan gairah untuk hidup, atau bisa juga diinterpretasikan dengan cinta.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1