(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
(Respons atas tulisan Aris Setyawan) (Artikel yang diturunkan dari Pop Hari Ini) Pada tanggal 27 Juli 2023, terbit tulisan berjudul Ketika Kritik Musik Merambah Media Sosial di situs Pop Hari Ini yang ditulis oleh Aris Setyawan. Dalam teksnya tersebut, Aris mengritik komentar-komentar tentang musik yang muncul di media sosial seperti Twitter, yang biasanya hanya berupa umpatan tidak berargumen. Bagi Aris, secara historis, kritik musik yang kredibel muncul dari media massa besar seperti Rolling Stone , The Guardian , New York Times , Pitchfork , atau Jakartabeat.net untuk konteks Indonesia. Alasannya, mengutip Idhar Resmadi dalam bukunya yang berjudul Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya , kritikus musik kerap nyambi bekerja sebagai jurnalis. Dengan demikian, kritik musik dan media massa adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kalaupun terdapat kritikus musik yang muncul dari luar sirkel jurnalis, hanya segelintir yang punya kapasitas mumpuni. Aris kemudian memberi cont