Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Apa itu Kritik Musik?

 


(Respons atas tulisan Aris Setyawan)

(Artikel yang diturunkan dari Pop Hari Ini)

Pada tanggal 27 Juli 2023, terbit tulisan berjudul Ketika Kritik Musik Merambah Media Sosial di situs Pop Hari Ini yang ditulis oleh Aris Setyawan. Dalam teksnya tersebut, Aris mengritik komentar-komentar tentang musik yang muncul di media sosial seperti Twitter, yang biasanya hanya berupa umpatan tidak berargumen. 

Bagi Aris, secara historis, kritik musik yang kredibel muncul dari media massa besar seperti Rolling Stone, The Guardian, New York Times, Pitchfork, atau Jakartabeat.net untuk konteks Indonesia. Alasannya, mengutip Idhar Resmadi dalam bukunya yang berjudul Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya, kritikus musik kerap nyambi bekerja sebagai jurnalis. Dengan demikian, kritik musik dan media massa adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. 

Kalaupun terdapat kritikus musik yang muncul dari luar sirkel jurnalis, hanya segelintir yang punya kapasitas mumpuni. Aris kemudian memberi contoh nama-nama seperti Amir Pasaribu atau Remy Sylado. Lewat premis-premisnya tersebut, Aris kelihatannya ingin menyimpulkan bahwa “kritikus musik” yang berkomentar lewat Twitter bukanlah benar-benar melakukan kritik musik. Mereka hanya berceloteh tanpa punya alasan memadai. 

Sebenarnya Aris di bagian-bagian akhir tulisan sudah menyebutkan bahwa internet memang tempatnya orang berpendapat bebas. Namun ia juga menutup tulisannya dengan mengutip Suka Hardjana yang menyatakan bahwa estetika musik berarti memahami keseluruhan musik dari mulai proses penciptaan sampai musik itu diterima oleh pendengar. 

Artinya, Aris seolah ingin menggarisbawahi bahwa komentar-komentar di Twitter sejauh ini tidak cukup memadai untuk dapat dikatakan sebagai kritik musik, jika pemahaman atas estetika musik, mengacu pada Suka Hardjana, menuntut pemahaman menyeluruh. 

Di media sosial khususnya Twitter, tulisan Aris tersebut menimbulkan pro dan kontra. Mereka yang kurang sepakat umumnya memandang bahwa bentuk kritik bisa beraneka ragam, termasuk dalam bentuk cuitan (tanpa argumentasi). Intinya, kritik musik tidak perlu mensyaratkan kualitas seperti Amir Pasaribu atau Remy Sylado. Setiap orang berhak mengritik dengan caranya sendiri dan syarat yang diajukan Aris bahwa kritik harus dimuat di media massa justru dituding sebagian orang sebagai elitis.

Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan kritik musik? Ternyata istilah tersebut tidaklah mudah untuk didefinisikan, terutama jika diperiksa perubahan pengertiannya dari waktu ke waktu. Dalam bagian pengantar Cambridge History of Music Criticism (2019), kritik musik dipahami sebagai catatan tentang apa yang terjadi pada musik dalam suatu masa, dan bagaimana hal (tentang musik) tersebut dipandang oleh sejumlah orang (Dingle, 2019: 2). 

Artinya, kritik musik bisa berfungsi sangat luas sebagai pencatatan dan komentar, bahkan menjadi tumpang tindih dengan penulisan sejarah musik (Dingle, 2019: 3). Dalam sejarah, kritik musik belum tentu berupa komentar argumentatif sebagaimana diyakini Aris, tapi juga bisa berupa sekadar catatan deskriptif atau malah berupa kesan-kesan sederhana. 

Supaya lebih jelas, mari menelusuri teks tentang kritik musik jauh sebelum era media massa. Jangan tanggung-tanggung, coba kita tengok hingga ke masa Abad Pertengahan Eropa. Seperti apa kira-kira kritik musik pada zaman itu? Di masa itu, repertoir musik mainstream hanya ditampilkan di kalangan Gereja. Dengan demikian, para kritikus di era medieval biasanya juga berasal dari sirkel Gereja (rakyat jelata tidak bisa sembarangan mengomentari karya-karya musik, terutama musik religius). 

Salah satu teks tentang musik yang terkenal di masa itu ditulis oleh John dari Afflighem, diduga seorang biarawan, berjudul De musica cum tonario yang ditulis sekitar abad ke-12. Di dalam teks tersebut, tercantum berbagai hal tentang teori dan komposisi musik, termasuk tentang penilaian terhadap musik yang menurut John bisa dipuji karena indah (pulchrum), memberikan kesenangan (jocunditatem), atau karena sangat indah (decentissimus) tanpa menyediakan penjelasan yang mendukung penilaiannya (Page, 2019: 9)! 

Artinya, pemikir musik sekelas John, yang mampu menteorikan karya-karya Guido dari Arezzo, Boethius, dan Isidore dari Seville, ternyata bisa saja menilai musik dengan kesan-kesan langsung tanpa perlu penjelasan lebih jauh. Ibaratnya, kalau John hidup di zaman sekarang dan main twitter, dia bisa saja sekadar bercuit, “Band ini jelek!” atau “Gila keren banget!” Bedanya, di zaman John, kelihatannya penilaian atas musik hanya diperbolehkan yang baik-baik. Kemungkinan besar akibat pengaruh kekuasaan Gereja. 

Namun harus diakui, fenomena gatekeeper juga hadir dalam periode yang sama, salah satunya dalam menjaga musik sakral (sacred music) dari “pemain musik yang buruk”. Pandangan gatekeeping tersebut salah satunya mengacu pada pendapat Bernard dari Clairvaux (1090 – 1153) bahwa “musik adalah pengetahuan akurat tentang menyanyi” (musica recta canendi scientia) (Mengozzi, 2019: 31). 

Pandangan Bernard tersebut mempengaruhi para pemikir musik sesudahnya, termasuk Conrad von Zabern (wafat sebelum 1481) yang menulis traktat berjudul De modo bene cantandi (“Tentang bagaimana menyanyi yang baik”). Menurut Conrad, penyanyi gereja diharapkan untuk (1) tampil seperti malaikat, yakni bernyanyi dengan harmoni sempurna (concordaliter) dan ritmis yang akurat (mensuraliter cantare); (2) bernyanyi dengan tempo dan ekspresi yang mencerminkan kekhidmatan dari sebuah perayaan keagamaan (defferentialiter cantare); (3) bahwa teks-teks suci tidak dinyanyikan dengan cara-cara sekuler; dan (4) bernyanyi dengan pelafalan yang benar serta postur tubuh yang sesuai (satis urbaniter cantare) (Mengozzi, 2019: 33). 

Dalam hal ini, pernyataan Aris bahwa (fungsi) kritikus musik adalah “badan legislatif yang tugasnya mengingatkan musisi (badan eksekutif) agar bekerja sebagaimana peraturan perundang-undangan yang benar” ternyata ada benarnya secara historis. Bahkan tidak bisa dipungkiri, bahwa kritikus musik di masa itu memang elitis. Mereka adalah garda depan musik gereja supaya tidak dipraktikkan secara semena-mena. 

Umumnya kritikus musik Abad Pertengahan menjaga agar musik senantiasa menghasilkan efek dulcedo yang membuat pendengarnya lebih mengarah pada hal-hal tentang surga dan ketuhanan (Carruthers, 2013). Para kritikus menghindarkan pendengarnya agar tidak terdegradasi pada lascivia atau efek berupa hasrat yang condong pada sensualitas (Mengozzi, 2019: 29). Dengan demikian, para kritikus Abad Pertengahan tidak hanya mengurusi perkara teori musik, tapi juga dampaknya pada moral. 

Poin penjabaran tentang kritik musik di Abad Pertengahan tersebut menunjukkan bahwa para kritikus pada awalnya selalu berpihak pada kekuasaan. Mereka bisa saja mengapresiasi musik secara teoritis atau lewat kesan-kesan langsung pada perasaan, tetapi secara umum punya arah dalam menjaga moral pendengarnya. Moral yang baik, bagi para kritikus di Abad Pertengahan, adalah moral yang sejalan dengan ajaran Gereja. 

 

Dalam sejarah Eropa, Revolusi Prancis di akhir abad ke-18 mengubah banyak tatanan, termasuk gagasan tentang masyarakat yang sebelumnya selalu berada di bawah kekuasaan gereja dan kaum bangsawan. Dengan berakhirnya sistem kekuasaan yang terpusat, masyarakat di masa itu mulai bisa mengekspresikan “selera musik” tanpa harus punya latar belakang pendidikan musik seperti halnya kritikus di Abad Pertengahan. 

Salah satu contoh kritikus terkenal di masa itu adalah Julien-Louis Geoffroy (1743–1814), seorang akademisi di bidang retorika dari Universitas Paris. Geoffroy memang berasal dari kaum terdidik, tapi dia bukan seorang bangsawan atau biarawan. Bahkan ia bukan seseorang yang mengerti musik secara formal. Geoffroy dideskripsikan sebagai “orang yang selalu berusaha membicarakan musik terus menerus, meski tidak memahami satu not pun” (Mongrédien, 1995: 8). 

Contohnya, saat mengulas penampilan opera Don Giovanni karya Mozart dalam versi Prancis tahun 1805, Geoffroy menulisnya sebagai “pesta yang terlalu cepat memberi kepuasan” (Geoffroy, 1805). Menariknya, Geoffroy memang tidak pernah memberi ulasan bagus untuk komposer-komposer non Prancis. Geoffroy menunjukkan bahwa kritik musik tidak perlu akademis, yang penting berpihak pada kehormatan bangsa Prancis. 

Geoffroy adalah tipe kritikus yang belum pernah ada di masa-masa sebelumnya, yaitu kritikus yang tidak mengerti musik, tapi diterima publik karena selalu membela publiknya sendiri (Prancis)! Namun ada hal penting yang membuat Geoffroy menjadi terkenal, yakni bahwa hampir seluruh tulisan pentingnya dimuat di surat kabar Journal des débats selama empat belas tahun antara tahun 1800 sampai 1814 (Pottinger, 2019: 131). Journal des débats adalah surat kabar mingguan yang terbit tidak lama setelah Revolusi Prancis dan termasuk salah satu media yang paling banyak dibaca publik Prancis sepanjang abad ke-19 selain La Presse, Le Siècle, dan Le Petit Journal

Apa artinya? Aris benar bahwa dalam sejarah, kritikus musik memang tidak bisa lepas dari keberadaan media massa. Namun klaim Aris juga menimbulkan problem lain: apakah tulisan kritikus itu bagus sehingga dimuat media massa? Atau karena dimuat media massa maka itu menjadi bagus? Tulisan Geoffroy jangan-jangan tidak bisa dinilai sebagai suatu tulisan kritik yang memadai jika ditinjau dari aspek formal seperti pembahasan tentang melodi, harmoni, instrumentasi, tempo, dan sebagainya, tapi menjadi terus dimuat karena membela harkat dan martabat bangsa Prancis! 

Namun kita bisa sekaligus membela Geoffroy dengan melihat kemungkinan bahwa bisa saja ia disukai karena mewakili selera publik awam yang tidak paham musik secara teoritis tapi berhak untuk menikmatinya dengan cara-cara yang lebih ringan dan santai. Kemunculan gaya kritik Geoffroy adalah dampak dari media massa yang mesti terus menyesuaikan dengan selera publik ketimbang bertengger menjadi gatekeeper bagi kekuasaan seperti yang dilakukan para kritikus Abad Pertengahan. 

Meski demikian, Geoffroy sendirian tidak mewakili bentuk kritik musik abad ke-19 di Prancis. Théophile Gautier (1811– 1872) adalah kritikus yang sama-sama tidak paham soal musik, tapi kemampuannya di bidang sastra membuat analisisnya atas beraneka karya seni menjadi tajam. Gautier menulis di media massa seperti La Presse, Le Moniteur universel, dan Revue et Gazette musicale de Paris (Pottinger, 2019: 133). 

Di sisi lain, bermunculan juga kritikus yang “paham musik” seperi François-Henri Joseph Blaze (1784–1857) atau dikenal dengan sebutan Castil-Blaze. Castil-Blaze adalah musisi yang belajar di konservatorium Paris dan menulis kritik musik dengan harapan dapat mengedukasi publik dalam melakukan penilaian khususnya terhadap musik-musik serius. Kelebihan Castil-Blaze sebagai seorang pemusik membuatnya mampu menganalisis unsur-unsur formal dalam partitur musik – hal yang tidak bisa dilakukan Geoffroy dan Gautier. Pada titik tertentu, Castil-Blaze mengembalikan gaya kritik formal Abad Pertengahan, tetapi dalam versi yang lebih aksesibel terhadap publik. 

Kritikus musik lain yang tak kalah penting di masa itu adalah Hector Berlioz (1803 – 1869) yang juga dikenal sebagai komposer. Berlioz menyerang para jurnalis yang membicarakan musik tanpa pengetahuan yang memadai (Pottinger, 2019: 143). Namun kritik Berlioz tersebut berdampak pada nuansa kritik musik yang tidak lagi populis, melainkan menjadi semacam promotor bagi karya-karya para komposer. 

Dengan penjabaran tentang kritik musik di abad ke-19 Prancis tersebut, setidaknya dapat dilihat bagaimana tegangan antara kritik musik tanpa-pengetahuan-musik dan kritik musik dengan-pengetahuan-musik. Keduanya sama-sama mengandalkan media massa, tetapi pada akhirnya bersitegang dalam hal kecenderungan membela selera publik atau “menjaga kemurnian” gagasan-gagasan musikal yang berisiko dipandang terlalu berat bagi masyarakat awam.

 

Lanskap kritik musik abad ke-19 Prancis yang begitu beragam akibat media massa menjadi pengantar untuk memasuki fenomena kritik musik abad ke-20 yang sudah dirasuki oleh industri. Beberapa majalah musik awal-awal 1900-an seperti Melody Maker (didirikan di Inggris tahun 1926), Downbeat (didirikan di AS tahun 1934), dan Jazz Hot (didirikan di Prancis tahun 1935) banyak memuat tulisan musik populer, yang pada masa itu lebih berfokus pada musik jazz (iya, jazz digolongkan sebagai musik populer). 

Tulisan kritik musik jazz umumnya berkaitan dengan problem seputar: bagaimana jazz bisa dibedakan dari bentuk musik lain seperti musik dansa dan hiburan? Bagaimana jazz dapat berkembang sebagai seni ketimbang barang dagangan? Nuansa tulisan kritik musik dalam majalah-majalah di masa itu masih tergolong serius. Barulah perubahan besar terjadi pada tahun 1950-an, saat gerai rekaman musik bermunculan untuk menjual album dan singel dalam bentuk vinyl. 

Dengan banyaknya konsumen dari generasi muda, majalah-majalah di masa itu mulai memuat gambar dan cerita tentang bintang-bintang pop remaja (Frith, 2019: 505). Tema-tema tersebut menciptakan cara penulisan baru tentang musik yang berfokus pada kehidupan para bintang pop untuk menciptakan semacam keintiman dengan para pembaca. 

Pada perkembangannya, majalah-majalah musik menjadi identik dengan apa yang kita sebut sekarang sebagai “skena”. Sebagai contoh, majalah Mersey Beat yang berdiri tahun 1961 dikhususkan untuk mempromosikan musisi-musisi baru di Liverpool, Beat Instrumental (berdiri tahun 1963) menyoroti musisi di skena beat Inggris dengan lebih banyak membahas tentang aspek instrumentasi dan teknologi, dan Blues and Soul (diluncurkan tahun 1966) ditujukan untuk memasarkan musik blues dan soul di Inggris (Frith, 2019: 506). 

Kemunculan musisi seperti The Beatles, The Rolling Stones, dan Bob Dylan menimbulkan cara pandang lain dalam dunia penulisan musik, yang tidak hanya menjadikan musik populer sebagai kesenangan semata. Maureen Cleave (1934 – 2021), jurnalis Evening Standard, dikenal publik karena wawancara eksklusif dan mendalam terhadap para musisi terkenal. Perlakuan terhadap musik populer secara lebih serius ini juga muncul dari kalangan intelektual seperti Colin MacInnes, George Melly and Ray Gosling yang menulis untuk New Society (berdiri tahun 1962). 

Berkembangnya musik rock terutama sejak tahun 1970-an melahirkan banyak kritikus – jurnalis yang menulis rutin bagi media-media baik di Inggris maupun Amerika Serikat seperti Rolling Stone, Village Voice, NME, Sounds, dan Melody Maker. Kritikus rock yang ideal adalah mereka yang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai genre, menunjukkan dirinya sebagai penggemar yang antusias namun tetap kritis, serta memberikan pengetahuan kepada pembaca sekaligus memvalidasi keabsahan selera publik (Frith, 2019: 514). Dengan demikian, lagi-lagi pernyataan Aris (yang mengutip Idhar Resmadi) benar bahwa dalam sejarahnya, kritikus memang tidak bisa dilepaskan dari jurnalis yang bekerja di media-media mapan. 

Pertanyaannya, mengapa rock? Pada masa itu, musik “rock” dan “pop” tidak bisa dibedakan dengan jernih sebagai genre. Namun jika ingin didefinisikan, maka musik rock adalah “musik yang diulas oleh para kritikus rock” (Frith, 2019: 517). Pertanyaannya, siapa itu kritikus rock? Kritikus rock adalah mereka yang memperlakukan musik pop secara lebih serius dan intelektual, tetapi basisnya bukan pada aspek musikalitas dan hal-hal teoritis, tetapi lebih pada otentisitas pengalaman sebagai pendengar. Kritikus rock bukan menulis untuk para penggemar, tapi menulis sebagai penggemar (Frith, 2019: 508). 

Hal ini yang kemudian menjadi ciri penting tulisan para kritikus rock yang mungkin tidak mengerti proses bermusik dari para musisi secara teknis, tetapi mereka lebih menyoroti bagaimana proses bermusik tersebut didengarkan dan dipahami. Musik, dalam hal ini, tidak perlu dideskripsikan dengan bahasa-bahasa musikal. Kritikus rock dari New York Times, Sasha Frere-Jones, menyebut kritik rock sebagai “tidak disupervisi” dan maka itu “apapun boleh” (Frere-Jones, 2003: 144 – 145). 

 

Dengan demikian, berdasarkan uraian tentang sejarah kritik musik dari Abad Pertengahan, pasca Revolusi Prancis, dan era industri Abad ke-20, bisa disimpulkan hal-hal berikut sebagai respons terhadap tulisan Aris: 

  1. Sebagian warganet menganggap Aris berlebihan pada pernyataan “mereka-mereka (kritikus media sosial - pen) ini sebenarnya tidak punya intensi memajukan ekosistem musik di Indonesia”. Bagi sebagian warganet itu, kritik ya kritik saja, mengapa harus bertujuan memajukan ekosistem musik di Indonesia? Namun sejarah menunjukkan bahwa kritik untuk memajukan bangsa dan negara ternyata dilakukan salah satunya oleh Geoffroy yang menulis kritik untuk kepentingan harkat dan martabat bangsa Prancis. 
  2. Benar bahwa kritikus adalah “badan legislatif” jika mengacu pada pemahaman kritikus yang umumnya punya kemampuan teoritis seperti para kritikus di Abad Pertengahan atau orang-orang di Prancis seperti Castil-Blaze dan Berlioz. 
  3. “Celotehan” non argumentatif sebenarnya sah-sah saja dalam wilayah kritik musik, sebagaimana dilakukan oleh John dan Geoffroy, yang lebih mengedepankan kesan-kesan langsung ketimbang analisis formal. 
  4. Kritik musik dalam konteks industri abad ke-20, terutama kritik musik rock, adalah sekaligus perayaan bagi penilaian atas dasar otentisitas pendengar dan bukan lagi tentang pemahaman musikal. 
  5. Tesis Aris tentang kaitan antara media massa dan “kritik musik” memang kuat, tetapi lebih persisnya kaitan antara media massa dan “kritik musik yang bagus” perlu diperiksa ulang karena dalam sejarah, terlihat bahwa media massa itu sendiri tidak pernah tanpa kepentingan. Geoffroy rajin dimuat mungkin bukan karena tulisannya bagus, tapi karena tulisannya sejalan dengan ideologi Journal des débats. Selain itu, sejarah musik populer abad ke-20 menunjukkan bahwa sejumlah majalah yang terbit di era 60-an ditujukan lebih pada kepentingan memajukan skena ketimbang penilaian estetik menyeluruh.
Poin nomor 3, 4, dan 5 setidaknya menunjukkan bahwa argumen-argumen Aris dalam tulisannya secara historis bisa diperdebatkan.

 

Referensi 

  • Pottinger, M. A. (2019). French Music Criticism in the Nineteenth Century, 1789–1870. In The Cambridge History of Music Criticism (The Cambridge History of Music). Cambridge: Cambridge University Press. 
  • Carruthers, M. (2013). The Experience of Beauty in the Middle Ages. Oxford: Oxford University Press. 
  • Dingle, C. (Ed.). (2019). The Cambridge History of Music Criticism (The Cambridge History of Music). Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/9781139795425 
  • Frith, S. (2019). Writing Popular Music. In The Cambridge History of Music Criticism (The Cambridge History of Music). Cambridge: Cambridge University Press. 
  • Frere-Jones, S. (2003). Subject/Object. Firsthand Knowledge in Criticism. In A. Szanto (Ed.), Reporting the Arts II (pp. 144-145). New York: National Arts Journalism Program. 
  • Geoffroy, J. L. (1805, September 19). Review of Don Giovanni. Journal des débats [i.e. Journal de l’Empire], 2. 
  • Page, C. (2019). Speaking of Plainsong in the Middle Ages. In The Cambridge History of Music Criticism (The Cambridge History of Music). Cambridge: Cambridge University Press.
  • Mengozzi, S. (2019). Music Criticism in the Late-Medieval and Renaissance Era. In The Cambridge History of Music Criticism (The Cambridge History of Music). Cambridge: Cambridge University Press. 
  • Mongrédien, J. (1986). La Musique en France, des lumières au romantisme, 1789–1830. Paris: Flammarion. 
  • Setyawan, A. (2023). Ketika Kritik Musik Merambah Media Sosial. Retrieved August 2, 2023, from https://pophariini.com/ketika-kritik-musik-merambah-media-sosial/

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat