Ada hal menarik dari kehidupan di Foodcourt Batununggal tempat saya menjajakan dagangan roti bakar dan roti kukus. Kehidupan, begitu saya menyebutnya, karena di tempat ini tidak hanya lalu lalang orang beli makanan untuk dibawa pulang atau disantap di tempat. Di Foodcourt ini juga, kami, antar pedagang dan pekerja, sering membuat momen untuk duduk bersama sejenak, berbicara tentang apa saja, keluh kesah tentang omzet, pengunjung yang tak kunjung mampir di kedainya, pengalaman berdagang sebelumnya, atau apa saja, termasuk soal hutang yang melilit hingga kehidupan asmara pribadi.
Di malam harinya, setelah pujasera tutup pukul delapan, beberapa dari kami meneruskan nongkrong di sebuah tempat di pinggiran komplek Batununggal. Terkadang kami beli minum supaya suasana lebih hangat, untuk kemudian menyanyi bersama, sebelum ditutup dengan curhat sambil diselipi candaan yang lumayan vulgar. Hal-hal semacam itu dilakukan nyaris setiap hari, menjadi rutinitas untuk melepas penat akibat menjajakan dagangan seharian.
Saya semakin menyadari, bahwa dalam tempat berniaga, beragam jenis manusia hadir dipersatukan tujuan untuk mencari cuan, sebagai ekspresi hasrat dasar untuk memenuhi kepentingan diri. Memang sama-sama saja terjadi juga dalam komunitas akademik, intelektual, ataupun literasi, tetapi pencarian cuan kadang dipandang sebagai "nafsu rendahan" yang mesti tampak senantiasa berada di bawah ideologi atau keluhuran pikiran. Ekspresi "nafsu rendahan", dalam komunitas semacam itu, hanya diungkapkan pada momen-momen sangat intim dan tertutup. Di permukaan, yang layak tampil hanyalah gestur idealisme.
Saya juga semakin paham, kenapa Sokrates berfilsafat di Agora. Dalam berniaga, tempat orang mengekspresikan "hasrat dasar" dalam memenuhi kebutuhan diri, lebih beragam jenis manusia yang tampil lalu lalang (tanpa tampakan idealismenya). Dalam tampakan yang lebih banal dalam kehidupan berniaga, kita bisa menemukan banyak kompleksitas jika masing-masing individu kemudian digali: ada yang mungkin diantaranya ternyata seorang intelektual, ada yang mungkin diantaranya ternyata seorang pembaca fiksi serius, ada yang mungkin diantaranya ternyata seorang pemain teater, ada yang mungkin diantaranya ternyata memiliki kegelisahan gender dalam dirinya, ada yang mungkin diantaranya ternyata seorang penjudi, dan banyak lagi. Saat digali lagi perkara prinsip-prinsip tertentu, bahkan kita bisa menemukan spektrum kiri, kanan, tengah, dan diantara-diantaranya. Hal-hal semacam itu, tak tampak di permukaan, karena terbenam oleh "hasrat dasar" yang membuat segala manusia tampak lebih homogen.
Maka itu, sekaligus saya menemukan, bahwa tak heran jika banyak filsuf, terutama di masa sebelum abad ke-20, hanya bergumul di tempat yang itu-itu saja, tanpa perlu banyak-banyak melihat dunia dengan secara fisik melanglangbuana. Mereka cukup menghayati tempat-tempat di mana segala jenis orang berkumpul, lalu menghayati apa-apa di balik penampakannya. Dengan penghayatan yang mendalam, pada kelompok manusia yang kecil sekalipun, kita bisa mendapati: miniatur dunia.
Comments
Post a Comment