Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

Apa itu Demokrasi? (Bagian 1 dari 4)



Istilah “demokrasi” berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu dÄ“mos yang artinya rakyat dan kratos yang artinya pemerintahan atau kekuasaan. Karl Popper, pemikir asal Austria, menyebutkan demokrasi sebagai kekuasaan oleh rakyat, dan maka itu rakyat memiliki hak untuk berkuasa (Popper, 1988). Dalam situs resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa, demokrasi diartikan sebagai “penyediaan lingkungan yang berisi penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasariah, yang di dalamnya kehendak bebas dari rakyat mampu diungkapkan dan dapat diwujudkan” (United Nations, 2015). Meski dapat diartikan secara sederhana sebagai “pemerintahan rakyat”, tapi dalam praktiknya, demokrasi adalah konsep yang amat luas. Bahkan sebuah riset dari Jean-Paul Gagnon menyebutkan bahwa terdapat 2.234 kata sifat dalam bahasa Inggris untuk mendefinisikan demokrasi (Gagnon, 2018). 

Bernard Crick dalam bukunya yang berjudul Democracy: A Very Short Introduction (2003) menyadari bahwa istilah demokrasi, dalam praktiknya, kerap diartikan secara beragam. Crick kemudian membagi penggunaan istilah demokrasi ke dalam empat pembabakan sejarah yang uraiannya adalah sebagai berikut (Crick, 2003): 

  • Penggunaan pertama dipraktikkan di masa Yunani Kuno. Platon berpandangan bahwa demokrasi merupakan kekuasaan orang-orang tidak terdidik yang sekaligus mengabaikan kemampuan mereka yang terdidik dan berpengetahuan. Sejalan dengan Platon, Aristoteles menganggap bahwa tipe pemerintahan yang baik adalah kekuasaan oleh beberapa orang yang memiliki keutamaan (arete) yang disebutnya sebagai aristokrasi. Meski menggolongkan demokrasi sebagai tipe pemerintahan yang menyimpang (deviant), Aristoteles memiliki poin menarik dalam buku III Politics bab 11 yang menyebutkan bahwa orang banyak bisa jadi lebih baik daripada orang sedikit jika orang banyak tersebut bersatu dan tampil bersama-sama. Orang banyak ini, meski secara individu kemampuannya lebih inferior ketimbang mereka yang sedikit, berpeluang untuk menghasilkan “kebijaksanaan dari banyak orang” (the wisdom of the multitude). 
  • Penggunaan kedua tentang konsep demokrasi dilakukan pada republik Romawi, pada teks Niccolo Machiavelli yang berjudul Discourses on Livy (1531), Republik Inggris dan Belanda pada abad ke-17, dan Republik Amerika Serikat awal-awal. Demokrasi yang dirumuskan pada beraneka gagasan tersebut bermuara pada sebuah pengertian bahwa pendapat orang banyak pada akhirnya bertujuan untuk memberi kekuatan besar bagi negara. Dalam konsep demokrasi semacam ini, terdapat kepercayaan besar terhadap warga negara sebagai subjek aktif yang berkehendak dan memberi pendapat, tetapi di sisi lain, berkembang pandangan bahwa negara yang kuat adalah negara yang mendapat kepercayaan dari rakyatnya. Di sinilah bibit patriotisme muncul, yang melihat bahwa tentara yang berasal dari rakyat sendiri akan lebih mati-matian membela negerinya ketimbang tentara bayaran yang direkrut secara profesional. 
  • Penggunaan ketiga dapat dilacak pada masa Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18 dan teks-teks yang ditulis oleh Jean-Jacques Rousseau. Demokrasi dalam hal ini merupakan gagasan yang menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menyatakan pendapat dan mengungkapkan kehendak, selama berkaitan dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan kepentingan umum dan kesejahteraan bersama. Landasan dari demokrasi ini bukanlah intelektualitas, melainkan nurani yang jernih, yang mengabaikan keegoisan individu dalam memikirkan kepentingannya sendiri. Dengan demikian, demokrasi menjadi berkaitan dengan pembebasan suatu kelas atau bangsa, tetapi tidak selalu kompatibel dengan kebebasan individu. 
  • Penggunaan keempat konsep demokrasi dapat dilacak pada konstitusi Amerika Serikat, sejumlah konstitusi Eropa pada abad ke-19, konstitusi Jerman Barat dan Jepang pasca Perang Dunia II, dan juga dalam teks-teks yang ditulis oleh John Stuart Mill dan Alexis de Tocqueville. Dalam pandangan ini, setiap orang dapat berpartisipasi dalam demokrasi, tetapi harus saling menghormati hak-hak dari sesama warga negara dalam sebuah aturan yang mengatur, melindungi, dan membatasi hak-hak tersebut. Artinya, demokrasi semacam ini, yang kerap disebut juga sebagai demokrasi modern, adalah usaha penggabungan antara gagasan tentang kekuasaan rakyat dan gagasan tentang hak-hak individu yang dijamin oleh hukum.
(bersambung)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat