(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
(Tulisan suplemen diskusi Relisiensi dan Eksistensialisme: Bagaimana Berselancar dalam Kekacauan Hidup?, Jumat, 25 Oktober 2024 di Makan di Tebet, Jakarta)
“Kembali bukan sebagai penakluk badai, melainkan menari di dalam dan bersama badai.”
- Alex Aur Apelaby
Hal menarik dari hidup adalah kemampuannya untuk memberikan semacam penderitaan, keterpurukan, atau bencana - yang membuat kita tidak hanya merasakan kekecewaan, melainkan sampai pada mempertanyakan keseluruhan kehidupan. Kita bisa kecewa oleh banyak hal: tak kunjung mendapat pekerjaan, ditolak cinta, atau gagal dalam ujian. Namun menganggur terlalu lama, penolakan cinta yang tak berkesudahan, atau kegagalan dalam ujian berulangkali, bisa jadi membuat kita kemudian bertanya-tanya secara lebih mendalam: Apa sebenarnya yang salah? Apakah kehidupan ini adil? Apakah Tuhan adil?
Masalahnya, pertanyaan semacam itu tak ada jawabannya. Hidup diam di hadapan pertanyaan demikian. Itulah yang dimaksud Camus sebagai absurd. Kita bisa saja menjalani hidup penuh kebahagiaan, semua serba terencana dan berhasil dijalankan. Namun kematian bisa tiba-tiba menyetop semuanya, atau gempa besar, atau serangan rudal, yang membuat segalanya hilang seketika. Kita kemudian bertanya-tanya: mengapa semua ini mendadak hilang dari genggaman? Apakah Tuhan menghendakinya? Kalau Tuhan menghendakinya, mengapa Dia begitu kejam? Kalau Tuhan tidak menghendakinya, lantas kenapa Dia tidak berbuat apa-apa untuk mencegahnya?
Hening. Tak ada jawaban apa-apa (kecuali penghiburan-penghiburan yang datang dari diri kita sendiri).
Menariknya, kesenangan atau kebahagiaan, dalam pengertian tertentu, seringkali tak mampu memberikan permenungan semacam itu. Kesenangan menarik kita, pada sesuatu yang kadang parsial, mengurung diri dari sekitar atau kemungkinan-kemungkinan lain. Kalau saya gembira karena hari ini mendapatkan uang, saya terikat pada uang itu sebagai penyebab kebahagiaan saya, dan setidaknya untuk sesaat, saya tak terlalu peduli pada mereka-mereka yang belum menerima uang atau sedang tak punya uang. Saya bisa saja bersyukur dengan mengatakan bahwa Allah begitu baik. Namun sebenarnya hal yang saya maksud adalah: Allah begitu baik pada saya (entah jika pada orang lain, saya kurang peduli).
Sementara bencana atau penderitaan seringkali tak tertuju semata-mata pada penyebabnya saja. Melainkan membuat kita berupaya menyelidiki alasan-alasan yang lebih mendalam. Membuat kita berusaha sebisa-bisa berkunjung ke baliknya. Mencari-cari justifikasi untuk sekadar membuat kita mengerti. Agar bisa menerimanya. Meski bentuknya mungkin penghiburan-penghiburan semata. Namun sekurang-kurangnya, disitulah terjadi permenungan. Yang oleh kaum relijius mungkin disebut sebagai hikmah, cobaan, atau “ujian naik level”. Para filsuf kadang menyebutnya sebagai “pengalaman eksistensial”: pengalaman yang membuat kita mempertanyakan (secara terbuka) arti dari keberadaan, terutama perkara diri kita di dunia.
Mengatasi penderitaan bukanlah perkara sederhana. Penderitaan akibat patah hati misalnya, kadang tak cukup hanya dengan mabuk-mabukan atau curhat (meski kadang membantu). Penderitaan akibat tak punya uang lebih rumit lagi. Jika kita meyakini bahwa melalui uang itulah berbagai pelipur lara dapat dibeli, maka tak punya uang sama dengan tak ada jalan untuk mengobati penderitaan. Penderitaan bertalian sekaligus dengan kebingungan kita dalam mengatasinya. Karena bingung itulah, perjalanan memaknai dimulai sebisa-bisa. Oh, saya menerima ini mungkin karena dulunya begini, karena Tuhan maunya begitu.
Saya akan beralih ke pengalaman pribadi di sini. Pada bulan Juni 2024, saya diajak pergi ke Bogor bersama sejumlah orang yang baru dikenal. Saya ikut mereka ke sebuah pengajian tasawuf, bukan didasari alasan karena saya begitu meyakini bahwa tasawuf akan menjadi jalan keluar bagi penderitaan. Lebih karena saya bingung, tidak tahu lagi mesti berbuat apa. Akhirnya saya berangkat, menumpang mobil salah seorang dari mereka, dan di jalan saya bercerita tentang penderitaan saya.
Reaksi mereka, bagi saya, begitu mencengangkan. “Kok kami iri ya dengan apa yang dialami Kang Syarif,” ujar salah satu dari mereka, yang kebetulan namanya juga Syarif. “Iya, kami malah pengen loh mengalami penderitaan seperti itu,” ujar yang lainnya, saya lupa namanya. Nya geus hakan we ku sia, dalam batinku berkata begitu. Tapi poinnya, tingkat keimanan seseorang membuat mereka tampak tak bingung menghadapi penderitaan. Penderitaan justru mereka cari dan rindukan. Karena dalam pandangan mereka (yang saya tangkap), penderitaan sama dengan pembebasan. Penderitaan membuat kita tak akur lagi dengan dunia dan justru menjadi jalan yang lapang untuk dekat dengan Allah. Disitulah, sekritis-kritisnya saya pada agama, ada hal yang aneh tapi tak dapat dipungkiri: agama lestari karena kemampuannya dalam memeluk penderitaan sebagai sesuatu yang justru keren dan dirindukan.
Namun tak semua orang puas dengan argumen teologis semacam itu. Kaum Stoika mencoba mengabaikan penderitaan dengan kekuatan akal budi - sebisa-bisa mengondisikan pikiran untuk berhenti memikirkan apa yang tak mampu kita kendalikan. Kaum Stoika tak melibatkan Tuhan, tetapi hal demikian juga bermasalah di mata Nietzsche dan Chekhov (dalam cerpen Ruang Inap no. 6) yang menyerang Stoikisme sebagai painkiller yang justru tak tepat sasaran dalam memandang penderitaan. Justru rasa sakit itulah, bagi Nietzsche dan Chekhov, menjadi semacam inti dari penderitaan yang mesti disetubuhi. Dipeluk sebagai sebuah kenikmatan. Pada titik ini, argumen teologis dan non teologis menjadi punya persinggungan dalam menikmati penderitaan. Tampak sado-masokhis, tapi begitulah.
Maka bagaimana menghadapi penderitaan, dalam versi teologis itu sederhana saja. Karena ada Allah yang dipandang tetap dan tak berubah-ubah, maka menggantungkan diri kepada-Nya adalah pilihan tepat di tengah kehidupan yang serba fluktuatif. Beradalah di poros roda, ujar kaum Sufi, supaya kita tidak terus-terusan mengikuti putarannya yang membingungkan (kadang di atas kadang di bawah).
Namun biasalah, para filsuf selalu mencobai dirinya dengan argumen versi godless, mencari makna dengan susah payah pada kehidupan setelah Tuhan yang dibunuh. Bagi saya, Nietzsche cukup bertanggung jawab dengan menawarkan argumen metamorfosis roh. Terdapat tiga metamorfosis roh, ujar Si Gila dalam Zarathustra, yakni menjadi unta, singa, dan anak. Unta adalah si penanggung beban, singa adalah si tukang rebel, anak adalah si bodo amat, dibawa asik aja.
Menjadi anak adalah menganggap bahwa segala penderitaan adalah bagian dari permainan dalam kehidupan. Kita justru mesti hanyut bersamanya, ikut tertawa, sebagaimana hidup memang senda gurau belaka (QS Al An’am: 32). Jika kalah dalam satu arena, tinggal mundur lalu mencoba peruntungan di arena lainnya. Baik penderitaan maupun kebahagiaan, keduanya bukanlah perkara serius dalam sebuah permainan. Yang penting kita senantiasa ambil bagian dan menikmatinya.
Jadi saya setuju dengan kuot Alex Aur Apelaby sebagaimana dikutip dalam pembukaan tulisan ini. Menjadi penakluk badai itu metamorfosis roh tahap singa yang justru “belum selesai”. Seorang anak memilih bermain di dalam dan bersama badai. Ibarat lagu Badai Pasti Berlalu, seorang anak justru punya lagunya sendiri, yang berjudul Badai Jangan Berlalu.
Comments
Post a Comment