Pada tanggal 21 Agustus 2024, seorang perempuan, mantan mahasiswi, menjangkau saya via DM Instagram untuk mengucapkan simpati atas hal yang menimpa saya. Singkat cerita, kami berbincang di Whatsapp dan janjian untuk berjumpa tanggal 6 September 2024 di Jalan Braga. Tidak ada hal yang istimewa. Dia sudah punya pacar dan juga memiliki mungkin belasan teman kencan hasil bermain dating apps . NK baru saja bercerai dengan membawa satu anak lelaki. Dia adalah mahasiswi yang saya ajar pada sekitar tahun 2016 di sebuah kampus swasta. Dulu saya tidak punya perhatian khusus pada NK karena ya saya anggap seperti mahasiswa yang lainnya saja. Namun belakangan memang dia tampak lebih bersinar karena perawatan diri yang sepertinya intensif. Selain itu, bubarnya pernikahan selama sebelas tahun membuatnya lebih bebas dan bahagia. Sejak pertemuan di Jalan Braga itu, saya tertarik pada NK. Tentu saja NK tidak tertarik pada saya, yang di bulan-bulan itu masih tampak berantakan dan tak stabil (fisik, ...
Paparan yang diambil dari teks Crick tersebut memperlihatkan evolusi pengertian demokrasi berdasarkan pembabakan sejarah. Dalam buku berjudul Vital Democracy: A Theory of Democracy in Action (2010), Frank Hendriks mengurai pengertian demokrasi dengan cara lain, yakni dengan terlebih dahulu menjernihkan empat model yakni langsung (direct), tidak langsung (indirect), agregatif (aggregative), dan integratif (integrative) (Hendriks, 2010).
Untuk memudahkan kita memahami model demokrasi ini, Hendriks mengajukan pertanyaan: Bagaimana keputusan demokratis diambil? Apakah berdasarkan suara mayoritas? Atau dilakukan berdasarkan diskusi yang menghasilkan semacam kesepakatan? Apakah pemenang akan “mengambil semua” atau terdapat usaha membangun konsensus? Jika keputusan demokratis diambil berdasarkan suara mayoritas dan pemenang “mengambil semua”, maka demokrasi tersebut masuk ke dalam model agregatif. Sedangkan jika keputusan demokratis diambil berdasarkan diskusi untuk menghasilkan konsensus, maka model ini disebut sebagai model integratif.
Selanjutnya, dapat diajukan pertanyaan sebagai berikut: Siapakah yang mengambil putusan? Apakah keputusan warga negara diwakili oleh orang-orang yang merepresentasikan mereka? Atau masing-masing individu mengambil keputusannya sendiri tanpa diwakili? Apakah keputusan demokratis diambil oleh “semua yang terlibat” atau “atas nama orang lain”? Apakah ini demokrasi “penonton yang mengamati” (lookers-on)? atau pemerintahan rakyat yang “melakukannya sendiri” (do-it-yourselfers)? Jika warga negara mengambil keputusan atas nama dirinya sendiri tanpa diwakili dan turut serta sepenuhnya dalam pemerintah rakyat bersama “semua yang terlibat”, maka model demikian disebut sebagai demokrasi langsung. Sementara itu, jika warga negara dalam hal ini hanya mengamati dan menyerahkan putusan pada perwakilan, maka model demokrasi tersebut disebut dengan tidak langsung.
Hendriks kemudian menggabungkannya dalam kombinasi sebagai berikut:
Demokrasi pendulum merujuk pada model demokrasi yang persaingan menuju kekuasaan politiknya merupakan persaingan antara dua kubu, baik berupa partai politik, formasi politik, maupun tokoh-tokoh politik yang dapat “bergerak dari satu sisi ke sisi yang lain” seperti pendulum jam. Warga negara, dalam periode tertentu, memberikan suara mereka dalam rangka menyerahkan wewenang pengambilan keputusan kepada perwakilan yang akan duduk menjadi anggota dewan. Pengambilan keputusan pada umumnya bersifat “mayoritarian” atau berbasis pada suara terbanyak. Dalam sistem ini, umumnya “pemenang mengambil semuanya”, sehingga kekuasaan eksekutif diisi oleh partai pemenang dan jajaran pimpinannya, sekalipun selisih antara mayoritas dan minoritas tipis.
Dalam demokrasi langsung, warga negara berpartisipasi dengan cara memberikan suara secara langsung (plebiscite), baik dalam skala kecil, misalnya dalam wujud rapat warga (town meeting), maupun dalam skala besar, misalnya dalam wujud referendum. Salah satu contoh yang pas dari demokrasi langsung adalah rapat warga di New England yang meminta para penduduk untuk turut membuat keputusan terkait kepentingan publik (dengan mengangkat tangan, menghitung jumlah “ya” dan “tidak” dengan pemenang berbasis mayoritas). Pada skala yang lebih besar, negara bagian California, Amerika Serikat, lumrah mengadakan jajak pendapat untuk suatu kebijakan lewat suara mayoritas yang memilih berdasarkan pilihan ganda (misalnya, “setuju” atau “tidak setuju” atau “ya” atau “tidak”).
Dalam demokrasi partisipatoris, suara kelompok minoritas selalu dipertimbangkan dan tidak langsung dikalahkan oleh kelompok mayoritas yang jumlahnya lebih besar. Proses pengambilan keputusan lebih menekankan pada keterlibatan semua pihak dan sering melalui diskusi yang panjang untuk mencapai kesepakatan.
Terakhir, dalam demokrasi konsensus, perwakilan dari elemen-elemen dalam masyarakat adalah pembuat keputusan yang utama. Para wakil tersebut melakukan pengambilan keputusan lewat perundingan dan berupaya mencapai mufakat, biasanya dalam suatu ruangan konferensi atau diskusi meja bundar.
(bersambung)
Comments
Post a Comment