(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
Paparan yang diambil dari teks Crick tersebut memperlihatkan evolusi pengertian demokrasi berdasarkan pembabakan sejarah. Dalam buku berjudul Vital Democracy: A Theory of Democracy in Action (2010), Frank Hendriks mengurai pengertian demokrasi dengan cara lain, yakni dengan terlebih dahulu menjernihkan empat model yakni langsung (direct), tidak langsung (indirect), agregatif (aggregative), dan integratif (integrative) (Hendriks, 2010).
Untuk memudahkan kita memahami model demokrasi ini, Hendriks mengajukan pertanyaan: Bagaimana keputusan demokratis diambil? Apakah berdasarkan suara mayoritas? Atau dilakukan berdasarkan diskusi yang menghasilkan semacam kesepakatan? Apakah pemenang akan “mengambil semua” atau terdapat usaha membangun konsensus? Jika keputusan demokratis diambil berdasarkan suara mayoritas dan pemenang “mengambil semua”, maka demokrasi tersebut masuk ke dalam model agregatif. Sedangkan jika keputusan demokratis diambil berdasarkan diskusi untuk menghasilkan konsensus, maka model ini disebut sebagai model integratif.
Selanjutnya, dapat diajukan pertanyaan sebagai berikut: Siapakah yang mengambil putusan? Apakah keputusan warga negara diwakili oleh orang-orang yang merepresentasikan mereka? Atau masing-masing individu mengambil keputusannya sendiri tanpa diwakili? Apakah keputusan demokratis diambil oleh “semua yang terlibat” atau “atas nama orang lain”? Apakah ini demokrasi “penonton yang mengamati” (lookers-on)? atau pemerintahan rakyat yang “melakukannya sendiri” (do-it-yourselfers)? Jika warga negara mengambil keputusan atas nama dirinya sendiri tanpa diwakili dan turut serta sepenuhnya dalam pemerintah rakyat bersama “semua yang terlibat”, maka model demikian disebut sebagai demokrasi langsung. Sementara itu, jika warga negara dalam hal ini hanya mengamati dan menyerahkan putusan pada perwakilan, maka model demokrasi tersebut disebut dengan tidak langsung.
Hendriks kemudian menggabungkannya dalam kombinasi sebagai berikut:
Demokrasi pendulum merujuk pada model demokrasi yang persaingan menuju kekuasaan politiknya merupakan persaingan antara dua kubu, baik berupa partai politik, formasi politik, maupun tokoh-tokoh politik yang dapat “bergerak dari satu sisi ke sisi yang lain” seperti pendulum jam. Warga negara, dalam periode tertentu, memberikan suara mereka dalam rangka menyerahkan wewenang pengambilan keputusan kepada perwakilan yang akan duduk menjadi anggota dewan. Pengambilan keputusan pada umumnya bersifat “mayoritarian” atau berbasis pada suara terbanyak. Dalam sistem ini, umumnya “pemenang mengambil semuanya”, sehingga kekuasaan eksekutif diisi oleh partai pemenang dan jajaran pimpinannya, sekalipun selisih antara mayoritas dan minoritas tipis.
Dalam demokrasi langsung, warga negara berpartisipasi dengan cara memberikan suara secara langsung (plebiscite), baik dalam skala kecil, misalnya dalam wujud rapat warga (town meeting), maupun dalam skala besar, misalnya dalam wujud referendum. Salah satu contoh yang pas dari demokrasi langsung adalah rapat warga di New England yang meminta para penduduk untuk turut membuat keputusan terkait kepentingan publik (dengan mengangkat tangan, menghitung jumlah “ya” dan “tidak” dengan pemenang berbasis mayoritas). Pada skala yang lebih besar, negara bagian California, Amerika Serikat, lumrah mengadakan jajak pendapat untuk suatu kebijakan lewat suara mayoritas yang memilih berdasarkan pilihan ganda (misalnya, “setuju” atau “tidak setuju” atau “ya” atau “tidak”).
Dalam demokrasi partisipatoris, suara kelompok minoritas selalu dipertimbangkan dan tidak langsung dikalahkan oleh kelompok mayoritas yang jumlahnya lebih besar. Proses pengambilan keputusan lebih menekankan pada keterlibatan semua pihak dan sering melalui diskusi yang panjang untuk mencapai kesepakatan.
Terakhir, dalam demokrasi konsensus, perwakilan dari elemen-elemen dalam masyarakat adalah pembuat keputusan yang utama. Para wakil tersebut melakukan pengambilan keputusan lewat perundingan dan berupaya mencapai mufakat, biasanya dalam suatu ruangan konferensi atau diskusi meja bundar.
(bersambung)
Comments
Post a Comment