Skip to main content

Kesendirian

Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat.    Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit

Surat Cinta dari korea (8)

Sayangku, setelah seminggu lebih aku di sini, adakah yang berubah terhadap caraku berpikir? Ada. Terlebih tentang teknologi. Di sini, teknologi sangatlah canggih. Semua serba terprediksi, serba komputerisasi, serba cepat dan akurat. Segala aktifitas manusia betul-betul difasilitasi. Aku juga meralat ketika mengatakan sign system di sini jelek. Setelah bimbingan Rony dan akhirnya aku mencobanya sendiri, ternyata lama kelamaan aku sadar kalau sign system di sini sangatlah jelas! Dalam subway sekalipun, peta ditempelkan hampir di setiap kita mau menaiki tangga ke jalan raya. Ketika aku menuliskan ini aku baru saja pulang jalan-jalan sendiri untuk pertama kalinya, tidak ikut rombongan, dan sukses meskipun sempat nyasar-nyasar hingga kaki pegal-pegal.
Justify Full

Kembali ke teknologi. Apa sesungguhnya hakikat teknologi? Teknologi adalah sesuatu yang mempermudah kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan yang aku sebutkan adalah kebutuhan fisik. Dulu orang makan dengan berburu, tapi karena berburu berbahaya, mereka menemukan teknologi pertanian. Dulu orang kesana kemari menggunakan kuda, sekarang menggunakan mobil. Tapi apalah artinya semua itu kecuali berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan tubuh manusia. Tapi teknologi sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan spiritual manusia. Kebutuhan spiritual diraih bisa dengan vertikal maupun horizontal, bisa lewat Tuhan maupun manusia. Teknologi memudahkan segala, membuat semuanya bisa dilakukan sendiri, maka itu kadang-kadang hubungan dengan yang lain tak seberapa diperlukan.

Inilah yang kemudian aku bisa syukuri dari Indonesia. Kemanapun dimanapun, orang kita kerap senang berkumpul, ngobrol, nongkrong, yang mana segala itu merupakan suatu cara tersendiri untuk memenuhi kebutuhan batin. Orang kita (meskipun ini tentu saja generalisasi, karena sudah banyak diantara kita yang individualistis) begitu percaya bahwa kemiskinan tiada masalah selama jalinan tali persaudaraan masih kuat dengan sesama. Paling gampang adalah supir angkot di Bandung. Mereka jelas, dengan tetap menjadi supir angkot, kemungkinan memang tiada peningkatan signifikan dalam hidupnya. Tapi mereka merasa aman dan tenteram, berbagi rokok dan penumpang jika yang lain berkekurangan. Mereka percaya dengan memberi, akan menerima juga. Aku pernah lihat supir angkot yang digebuki karena ia ogah bersosialisasi. Ingin jadi individual, ingin berdikari.

Di sini, tempat yang aku sering kunjungi tentu saja subway. Orang-orang di subway, mungkin mirip dengan Trans Jakarta, hanya sibuk sendiri. Untungnya, di sini mereka sibuk sendiri menonton televisi dari HP, sedang di TJ mungkin orang sibuk sendiri merenungi nasib. Tidak ada tegur sapa, tidak ada saling memandang, tidak ada senyuman, dan hening tiada obrolan. Yang berisik cuma bunyi rel dan suara komputer digital yang bersahut-sahutan dengan pengumuman pemberhentian.


Inilah potret modernitas yang barangkali "sesungguhnya", ketika semua rapi jali, teratur, mekanik, dan manusia pun ikut mekanis. Ketika orang-orang merokok dalam waktu yang akurat (disini orang merokok seperti kepanasan oleh rokok itu sendiri sehingga dua menit sudah habis), ketika semua orang memakai standar waktu yang sama, ketika kehidupan bergantung pada ketepatan tibanya subway dan metro.

Jika nanti kita sudah bersama, jangan pernah lupa waktu untuk bercengkrama. Pada situasi itulah manusia bisa kembali mengenali dirinya. Dalam bercengkrama itu juga, jadilah manusia sebenarnya: marah, gembira, sedih, menangis, romantis. Jangan berbicara tentang fenomena apa adanya, jangan juga bercinta tanpa rasa, seolah memenuhi kebutuhan badan semata. Kita ini manusia, punya hasrat, gairah, dan cita-cita. Raih itu seolah-olah kita akan hidup seribu tahun lagi. Memikirkan berapa harga cabe jelas harus, tapi tetap letakkan impian di sudut hatimu. Terangi ia selalu, agar Tuhan akhirnya melirik jua.

Comments

  1. Siaaapp!!! Impian sudah kusebar,sinarilah bak lentera. :-)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1