Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat. Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit
Sayangku, setelah seminggu lebih aku di sini, adakah yang berubah terhadap caraku berpikir? Ada. Terlebih tentang teknologi. Di sini, teknologi sangatlah canggih. Semua serba terprediksi, serba komputerisasi, serba cepat dan akurat. Segala aktifitas manusia betul-betul difasilitasi. Aku juga meralat ketika mengatakan sign system di sini jelek. Setelah bimbingan Rony dan akhirnya aku mencobanya sendiri, ternyata lama kelamaan aku sadar kalau sign system di sini sangatlah jelas! Dalam subway sekalipun, peta ditempelkan hampir di setiap kita mau menaiki tangga ke jalan raya. Ketika aku menuliskan ini aku baru saja pulang jalan-jalan sendiri untuk pertama kalinya, tidak ikut rombongan, dan sukses meskipun sempat nyasar-nyasar hingga kaki pegal-pegal.
Kembali ke teknologi. Apa sesungguhnya hakikat teknologi? Teknologi adalah sesuatu yang mempermudah kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan yang aku sebutkan adalah kebutuhan fisik. Dulu orang makan dengan berburu, tapi karena berburu berbahaya, mereka menemukan teknologi pertanian. Dulu orang kesana kemari menggunakan kuda, sekarang menggunakan mobil. Tapi apalah artinya semua itu kecuali berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan tubuh manusia. Tapi teknologi sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan spiritual manusia. Kebutuhan spiritual diraih bisa dengan vertikal maupun horizontal, bisa lewat Tuhan maupun manusia. Teknologi memudahkan segala, membuat semuanya bisa dilakukan sendiri, maka itu kadang-kadang hubungan dengan yang lain tak seberapa diperlukan.
Inilah yang kemudian aku bisa syukuri dari Indonesia. Kemanapun dimanapun, orang kita kerap senang berkumpul, ngobrol, nongkrong, yang mana segala itu merupakan suatu cara tersendiri untuk memenuhi kebutuhan batin. Orang kita (meskipun ini tentu saja generalisasi, karena sudah banyak diantara kita yang individualistis) begitu percaya bahwa kemiskinan tiada masalah selama jalinan tali persaudaraan masih kuat dengan sesama. Paling gampang adalah supir angkot di Bandung. Mereka jelas, dengan tetap menjadi supir angkot, kemungkinan memang tiada peningkatan signifikan dalam hidupnya. Tapi mereka merasa aman dan tenteram, berbagi rokok dan penumpang jika yang lain berkekurangan. Mereka percaya dengan memberi, akan menerima juga. Aku pernah lihat supir angkot yang digebuki karena ia ogah bersosialisasi. Ingin jadi individual, ingin berdikari.
Di sini, tempat yang aku sering kunjungi tentu saja subway. Orang-orang di subway, mungkin mirip dengan Trans Jakarta, hanya sibuk sendiri. Untungnya, di sini mereka sibuk sendiri menonton televisi dari HP, sedang di TJ mungkin orang sibuk sendiri merenungi nasib. Tidak ada tegur sapa, tidak ada saling memandang, tidak ada senyuman, dan hening tiada obrolan. Yang berisik cuma bunyi rel dan suara komputer digital yang bersahut-sahutan dengan pengumuman pemberhentian.
Inilah potret modernitas yang barangkali "sesungguhnya", ketika semua rapi jali, teratur, mekanik, dan manusia pun ikut mekanis. Ketika orang-orang merokok dalam waktu yang akurat (disini orang merokok seperti kepanasan oleh rokok itu sendiri sehingga dua menit sudah habis), ketika semua orang memakai standar waktu yang sama, ketika kehidupan bergantung pada ketepatan tibanya subway dan metro.
Jika nanti kita sudah bersama, jangan pernah lupa waktu untuk bercengkrama. Pada situasi itulah manusia bisa kembali mengenali dirinya. Dalam bercengkrama itu juga, jadilah manusia sebenarnya: marah, gembira, sedih, menangis, romantis. Jangan berbicara tentang fenomena apa adanya, jangan juga bercinta tanpa rasa, seolah memenuhi kebutuhan badan semata. Kita ini manusia, punya hasrat, gairah, dan cita-cita. Raih itu seolah-olah kita akan hidup seribu tahun lagi. Memikirkan berapa harga cabe jelas harus, tapi tetap letakkan impian di sudut hatimu. Terangi ia selalu, agar Tuhan akhirnya melirik jua.
Siaaapp!!! Impian sudah kusebar,sinarilah bak lentera. :-)
ReplyDelete