Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
27 Ramadhan 1434 H
Malcolm X (1992) adalah film yang menceritakan tentang biografi pejuang orang-orang kulit hitam di Amerika Serikat bernama Malcolm X. Film yang disutradarai oleh Spike Lee tersebut menampilkan akting Denzel Washington yang sangat baik dalam memerankan tokoh yang lahir di tahun 1925 ini. Film Malcolm X, yang berdurasi lebih dari tiga jam, cukup lengkap dalam menceritakan kejadian-kejadian penting dalam kehidupan orang yang bernama asli Malcolm Little tersebut.
Film dimulai dari bagaimana Malcolm Little digambarkan mempunyai masa kecil yang traumatik karena keluarganya yang berkulit hitam kerapkali diteror oleh kelompok rasialis bernama Ku Klux Klan. Ayah Malcolm digambarkan sebagai pendeta yang mengajak jemaatnya untuk kembali ke tanah kelahirannya di Afrika. Katanya, Amerika Serikat bukanlah tempat yang aman bagi kita semua. Rupanya rasialisme yang diterima Malcolm sejak kecil ini membentuk kepribadiannya ketika beranjak dewasa. Ia berkarir di Nation of Islam dan bersama Elijah Muhammad, ia menjadi orator ulung dalam menyebarkan keyakinan bahwa seyogianya orang kulit hitam dipisahkan dari orang kulit putih -alih-alih dileburkan-. Malcolm Little kemudian mengganti namanya menjadi Malcolm X. Katanya, "X" menggantikan nama budak kami sebelumnya. Nanti suatu saat ketika kami sudah merdeka dan hidup di tanah Afrika, "X" akan kami ganti dengan nama baru yang menunjukkan kemerdekaan kami.
Rupanya tidak mudah untuk menggambarkan potret seorang Malcolm X di tengah kehidupannya yang cukup kontroversial. Ketika dirilis filmnya, Spike dan Denzel konon sudah mengantongi paspor untuk bersiap jika suatu hari mereka harus keluar dari Amerika Serikat karena mendapat tekanan dari film tersebut. Film Malcolm X tentu saja harus dilengkapi pengetahuan sejarah yang lebih komprehensif agar bisa dinikmati secara menyeluruh. Namun kita bisa melupakan itu semua ketika melihat bagaimana akting Denzel yang sempurna, seolah-olah menjadi Malcolm yang sebenarnya.
Rekomendasi: Bintang Empat
Comments
Post a Comment