Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
30 Ramadhan 1434 H
Barangkali film Pengkhianatan G 30 S / PKI (1984) adalah film lokal yang paling banyak ditonton oleh masyarakat Indonesia. Dari sejak kemunculannya di tahun 1984 hingga berakhirnya rezim pemerintahan Orde Baru di tahun 1998, film tersebut tidak pernah absen diputar setiap tanggal 30 September. Bahkan anak-anak sekolah di masa pemerintahan Soeharto diwajibkan menonton film yang disutradarai Arifin C. Noor tersebut. Sebagai film yang belakangan diganti statusnya menjadi film propaganda -alih-alih film sejarah-, pengaruhnya pun terbilang cukup sukses. Dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Tempo pada September tahun 2000, didapatkan data bahwa 1.110 pelajar SMA di tiga kota (Surabaya, Medan, dan Jakarta) menganggap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ajaran komunisme adalah hal yang sangat berbahaya.
Film Pengkhianatan G 30 S / PKI yang berdurasi hampir empat jam ini, bercerita tentang detail penculikan dan penyiksaan para Jenderal Angkatan Darat. Tidak hanya itu, diperlihatkan pula tetek bengek persiapan para anggota PKI beberapa hari menjelang tanggal 30 September 1965. Film ini menampilkan PKI sebagai partai yang bengis dan keji, baik secara personal orang per orang, maupun secara ideologis -Contohnya ketika mereka menyiksa para Jenderal disertai sorak sorai orang-orang berpesta sambil menyanyikan lagu Genjer-Genjer-. Kontras dengan kebiadaban PKI, sosok Pak Harto ditampilkan amat heroik dan tanpa cela. Ia bahkan dipamerkan sebagai pahlawan yang mengatasi kekisruhan nasional.
Meski berbau propaganda, film Pengkhianatan G 30 S / PKI adalah film yang berkualitas secara teknis. Arifin sangat pandai menciptakan ketegangan dan kegetiran yang timbul dari visualisasi berteknik tinggi. Contohnya, ketika para petinggi PKI melakukan rapat, Arifin hanya menyoroti gelas kopi yang saling dioper diantara mereka. Ini adalah suatu keputusan pengambilan gambar yang menarik agar penonton merasakan tensi tinggi dalam rapat revolusi tersebut. Jangan lupakan juga bagaimana anak dari Brigjen D.I. Pandjaitan yang mengusapi wajahnya sendiri dengan darah ayahnya yang baru saja ditembak. Adegan tersebut termasuk fenomenal dan konon gaya pengambilan gambar semacam itu belum pernah dilakukan oleh film manapun di Indonesia. Film Pengkhianatan G 30 S / PKI adalah film dengan dana besar dan dibuat untuk tujuan besar. Arifin berhasil mengejewantahkan keinginan pemerintah untuk menciptakan trauma serius pada masyarakat Indonesia akan komunisme, yang membekas bahkan hingga hari ini.
Rekomendasi: Bintang Lima
Film Pengkhianatan G 30 S / PKI yang berdurasi hampir empat jam ini, bercerita tentang detail penculikan dan penyiksaan para Jenderal Angkatan Darat. Tidak hanya itu, diperlihatkan pula tetek bengek persiapan para anggota PKI beberapa hari menjelang tanggal 30 September 1965. Film ini menampilkan PKI sebagai partai yang bengis dan keji, baik secara personal orang per orang, maupun secara ideologis -Contohnya ketika mereka menyiksa para Jenderal disertai sorak sorai orang-orang berpesta sambil menyanyikan lagu Genjer-Genjer-. Kontras dengan kebiadaban PKI, sosok Pak Harto ditampilkan amat heroik dan tanpa cela. Ia bahkan dipamerkan sebagai pahlawan yang mengatasi kekisruhan nasional.
Meski berbau propaganda, film Pengkhianatan G 30 S / PKI adalah film yang berkualitas secara teknis. Arifin sangat pandai menciptakan ketegangan dan kegetiran yang timbul dari visualisasi berteknik tinggi. Contohnya, ketika para petinggi PKI melakukan rapat, Arifin hanya menyoroti gelas kopi yang saling dioper diantara mereka. Ini adalah suatu keputusan pengambilan gambar yang menarik agar penonton merasakan tensi tinggi dalam rapat revolusi tersebut. Jangan lupakan juga bagaimana anak dari Brigjen D.I. Pandjaitan yang mengusapi wajahnya sendiri dengan darah ayahnya yang baru saja ditembak. Adegan tersebut termasuk fenomenal dan konon gaya pengambilan gambar semacam itu belum pernah dilakukan oleh film manapun di Indonesia. Film Pengkhianatan G 30 S / PKI adalah film dengan dana besar dan dibuat untuk tujuan besar. Arifin berhasil mengejewantahkan keinginan pemerintah untuk menciptakan trauma serius pada masyarakat Indonesia akan komunisme, yang membekas bahkan hingga hari ini.
Rekomendasi: Bintang Lima
Comments
Post a Comment