Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

30hari30film: Pengkhianatan G 30 S / PKI (1984)

30 Ramadhan 1434 H


Barangkali film Pengkhianatan G 30 S / PKI (1984) adalah film lokal yang paling banyak ditonton oleh masyarakat Indonesia. Dari sejak kemunculannya di tahun 1984 hingga berakhirnya rezim pemerintahan Orde Baru di tahun 1998, film tersebut tidak pernah absen diputar setiap tanggal 30 September. Bahkan anak-anak sekolah di masa pemerintahan Soeharto diwajibkan menonton film yang disutradarai Arifin C. Noor tersebut. Sebagai film yang belakangan diganti statusnya menjadi film propaganda -alih-alih film sejarah-, pengaruhnya pun terbilang cukup sukses. Dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Tempo pada September tahun 2000, didapatkan data bahwa 1.110 pelajar SMA di tiga kota (Surabaya, Medan, dan Jakarta) menganggap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ajaran komunisme adalah hal yang sangat berbahaya.

Film Pengkhianatan G 30 S / PKI yang berdurasi hampir empat jam ini, bercerita tentang detail penculikan dan penyiksaan para Jenderal Angkatan Darat. Tidak hanya itu, diperlihatkan pula tetek bengek persiapan para anggota PKI beberapa hari menjelang tanggal 30 September 1965. Film ini menampilkan PKI sebagai partai yang bengis dan keji, baik secara personal orang per orang, maupun secara ideologis -Contohnya ketika mereka menyiksa para Jenderal disertai sorak sorai orang-orang berpesta sambil menyanyikan lagu Genjer-Genjer-. Kontras dengan kebiadaban PKI, sosok Pak Harto ditampilkan amat heroik dan tanpa cela. Ia bahkan dipamerkan sebagai pahlawan yang mengatasi kekisruhan nasional.

Meski berbau propaganda, film Pengkhianatan G 30 S / PKI adalah film yang berkualitas secara teknis. Arifin sangat pandai menciptakan ketegangan dan kegetiran yang timbul dari visualisasi berteknik tinggi. Contohnya, ketika para petinggi PKI melakukan rapat, Arifin hanya menyoroti gelas kopi yang saling dioper diantara mereka. Ini adalah suatu keputusan pengambilan gambar yang menarik agar penonton merasakan tensi tinggi dalam rapat revolusi tersebut. Jangan lupakan juga bagaimana anak dari Brigjen D.I. Pandjaitan yang mengusapi wajahnya sendiri dengan darah ayahnya yang baru saja ditembak. Adegan tersebut termasuk fenomenal dan konon gaya pengambilan gambar semacam itu belum pernah dilakukan oleh film manapun di Indonesia. Film Pengkhianatan G 30 S / PKI adalah film dengan dana besar dan dibuat untuk tujuan besar. Arifin berhasil mengejewantahkan keinginan pemerintah untuk menciptakan trauma serius pada masyarakat Indonesia akan komunisme, yang membekas bahkan hingga hari ini.

Rekomendasi: Bintang Lima

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1