Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
23 Ramadhan 1434 H
Wedding Dress (2009) adalah film Korea (Selatan) lainnya yang bertema tragedi. Disutradarai oleh Kwon Hyeong-Jin, film ini bercerita tentang seorang anak bernama So-ra (Kim Hyang Gi) yang menghabiskan waktu bersama ibunya, Go-eun (Song Yun Ah), di hari-hari terakhir hidupnya. Sejak sang ibu divonis kanker rahim, hubungan keduanya berubah menjadi jauh lebih erat. Tadinya, Go-eun lebih banyak menghabiskan waktu di pekerjaannya sebagai perancang gaun sedangkan So-ra lebih sering diurus oleh bibinya.
Wedding Dress adalah film yang menarik karena kita dimanjakan oleh akting Kim Hyang Gi yang sanggup menampilkan sisi jenaka dan memilukan sekaligus. Meski pemicu konflik sebenarnya terletak pada penyakit yang diderita oleh sang ibu, namun yang menjadi sentral film adalah bagaimana dinamika perasaan So-ra ditampilkan. Kita bisa jadi merasa sedih bukan disebabkan oleh kepergian Go-eun, melainkan bagaimana seorang So-ra, yang lugu, menyikapi tragedi ini dengan ketegaran.
Film ini sedikit banyak mengingatkan pada Life is Beautiful karya sutradara Roberto Benigni. Keduanya punya kesamaan, yaitu sama-sama mempunyai tema "ketegangan" antara bagaimana seorang dewasa mengatasi ketragisan hidupnya, dengan kenyataan bahwa dalam waktu bersamaan ia harus menjelaskan problem tersebut pada anaknya dengan bahasa yang bijaksana. Ketegangan semacam ini bisa jadi merupakan "formula kesedihan" yang laku dijual.
Rekomendasi: Bintang Tiga Setengah
Comments
Post a Comment