Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

30hari30film: Superman: The Movie (1978)

26 Ramadhan 1434 H


Superman: The Movie (1978) adalah film tentang Superman, tokoh ciptaan Jerry Siegel dan Joe Shuster yang terlebih dahulu terkenal lewat komik. Tokoh Superman sudah malang melintang sejak tahun 1938. Meski demikian, ia baru mampu diwujudkan di layar kaca lima puluh tahun kemudian dengan Christopher Reeves berperan sebagai Superman -tentunya penantian lima puluh tahun ini terkait dengan pertimbangan teknologi-. Superman: The Movie disutradarai oleh Richard Donner dan skenarionya ditulis oleh Mario Puzo, David dan Leslie Newman, Robert Beriton, dan Tom Mankiewicz. Selain Christopher Reeve, Marlon Brando dan Gene Hackman ikut berperan sebagai Jor-El dan Lex Luthor.

Superman: The Movie diawali dari keadaan Planet Krypton yang berada di ujung kehancuran. Salah seorang penghuninya, Jor El (Marlon Brando), sempat menyelamatkan anaknya yang masih kecil, Kal El, dengan mengirimkannya ke Planet Bumi sebelum Planet Krypton akhirnya musnah. Di Bumi, Kal El mempunyai nama Clark Kent dan dibesarkan oleh pasangan yang kebetulan menemukannya, Jonathan dan Martha Kent. Karena mempunyai kekuatan super melebihi manusia lainnya, ia menjadi penyelamat bagi segala persoalan besar yang menimpa kota tempat tinggalnya, Metropolis. Meski mempunyai kekuatan amat kuat, Superman mendapat kesulitan ketika harus berhadapan dengan seorang ilmuwan bernama Lex Luthor (Gene Hackman).

Superman: The Movie adalah film dengan efek visual yang canggih -tidak hanya untuk jamannya, tapi juga dalam kacamata hari ini-. Adegan Superman terbang bersama dengan Lois Lane, wanita yang disukainya, di atas Kota Metropolis, masih adegan yang spektakuler. Hanya saja film ini terlalu sempurna untuk Superman. Ia begitu berkuasa penuh dan segalanya mudah di tangannya. Hal ini mungkin tidak masalah bagi mereka yang datang menyaksikan Superman: The Movie untuk menemukan hal-hal yang menyenangkan dari awal hingga akhir. Tapi bagi mereka yang ingin sedikit bumbu konflik dan teka-teki, Superman: The Movie tidak sanggup menyuguhkan itu. 

Rekomendasi: Bintang Tiga

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me