Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Surat dari Surakarta (Bagian Dua): Ketika Berjalan di Trotoar Tidak Lagi untuk Melihat Merk Dagang

9 Agustus 2018

Setidaknya di Bandung, tempat saya tinggal, berjalan di trotoar adalah hal yang sangat asing. Pertama, trotoar seringkali kurang nyaman bagi pejalan kaki, oleh sebab kurang luas dan banyak diserobot oleh pedagang kaki lima (meski hal-hal demikian sudah banyak diperbaiki di masa pemerintahan Ridwan Kamil). Kedua, berjalan di trotoar adalah identik juga dengan menyempitkan pandangan kita, hanya pada toko-toko dan merk dagang yang ada di sisi jalan. Dalam arti kata lain, memilih jalur trotoar berarti juga siap dibujuk secara halus untuk membeli dan membeli. 

Namun trotoar di Surakarta kala soft opening International Gamelan Festival (IGF) 2018 kemarin, membuat saya merasa sedih dengan keadaan di Bandung. Pada acara yang dimulai sekitar jam setengah empat tersebut, tidak ada toko (yang buka) dan merk dagang (yang terpampang terang-terangan) di sepanjang trotoar di Jalan Slamet Riyadi, karena “disingkirkan” oleh 73 set gamelan. 

Foto oleh Riedo Andi Kurniawan

Setelah pembukaan melalui seremoni singkat di Taman Sriwedari oleh Walikota Surakarta, Pak F.X. Hadi Rudyatmo bersama Direktur Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia, Pak Hilmar Farid, mulailah satu per satu gamelan dibunyikan. Para penonton langsung berjalan mengikuti sumber bunyi, dan menemukan berbagai macam kelompok gamelan dari anak-anak sekolah hingga berbagai komunitas. Kelompok yang banyak itu bukannya tanpa koordinasi. Mereka didirijeni oleh para panitia yang rata-rata merupakan mahasiswa seni dari ISI - Surakarta. Pendirijenan tersebut dilakukan salah satunya demi menjaga agar suara satu kelompok tetap harmonis atau tidak menabrak dengan kelompok lainnya - yang secara jarak cukup dekat -. 

Jalan Slamet Riyadi bukanlah jalan yang dapat dikatakan pendek. Lebih dari satu kilometer saya susuri untuk menyaksikan seluruh kelompok gamelan yang bermain di trotoar. Semakin lama, didasari oleh ketertarikan, warga kian merapat sehingga menciptakan kerumunan yang membuat saya susah mendapatkan ruang gerak dalam berjalan kaki. Namun sekali lagi, berjalan jauh dan berdesakan tidak terlalu menjadi soal, ketika trotoar kali ini tidak sedang untuk menjajakan merk dagang, melainkan menampilkan nilai-nilai luhur dari kesenian. 

Apa yang ditampilkan pada soft opening IGF 2018, kemungkinan mengacu pada konsep meleburnya jarak antara pemain dan apresiator. Para pemain duduk di trotoar dan para apresiator bisa siapa saja, tidak selalu orang-orang yang awalnya punya intensi untuk menyaksikan pertunjukkan. Konsep semacam ini menempatkan seni sebagai sesuatu yang inklusif dan mau turun dari menara gading untuk bersentuhan dengan masyarakat. 

Foto oleh Riedo Andi Kurniawan

Penampilan semacam ini bukannya tanpa risiko. Apa yang ditampilkan secara tiba-tiba di ruang publik (kesenian apapun, tidak hanya gamelan, tapi bisa juga musik jazz atau musik klasik, misalnya), harus berhadapan dengan reaksi yang beragam. Tidak menjadi masalah jika reaksi tersebut berupa atensi yang positif. Namun bisa juga terjadi ketika penampilan yang mengejutkan semacam itu, malah ditanggapi secara dingin dan malah sinis. Bisa disebabkan oleh kepentingannya yang terganggu (jalan menjadi macet, trotoar menjadi sempit), atau sesederhana memang tidak suka terhadap musiknya. 

Namun upaya flash mob (penampilan kejutan di tengah kerumunan) tetap merupakan satu percobaan yang berani, terutama dalam konteks kesenian. Kendatipun upaya tersebut menemui caci maki, misalnya, tetap saja publik menjadi mengenalnya. Bukan tidak mungkin, lama-lama orang-orang menjadi terbiasa, dan pelan-pelan mulai menyukai. 

Penampilan 73 kelompok gamelan tersebut berlangsung selama kurang lebih satu jam. Pada jam lima, bebunyian mulai surut. Penonton pun berangsur-angsur mulai mengurai diri dari kerumunan. Tidak semua penonton ini segera pulang ke tempatnya masing-masing. Mereka bisa jadi bersiap, untuk pembukaan akbar (grand opening) di Benteng Vastenburg, malam harinya. 

Sementara itu, romantisme saya akan selalu tinggal, tentang bagaimana trotoar, untuk sekejap saja, tidak bermuatan merk dagang.

Foto oleh Riedo Andi Kurniawan

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1