Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

The Irishman (2019): Kegelisahan Gangster di Usia Senja


The Irishman
(2019)

Setelah lama tidak menonton film yang durasinya panjang-panjang, akhirnya saya memutuskan untuk menonton The Irishman (2019). Mengapa saya memilih film bertema mafia tersebut? Dari dulu memang saya mengagumi karya-karya Martin Scorsese dari mulai Taxi Driver (1976), Raging Bull (1980), Goodfellas (1990) hingga Casino (1995). Selain itu, saya juga penasaran melihat bagaimana akting Al Pacino, Robert de Niro dan Joe Pesci di usia 70-an akhir.  

The Irishman adalah film yang berpusat pada Frank Sheeran (Robert de Niro), pengantar daging turunan Irlandia yang menjadi eksekutor bagi kelompok mafia Russell Bufalino (Joe Pesci). Dianggap bagus dalam menjalankan tugas-tugasnya, Frank kemudian dihubungi oleh presiden serikat Teamster bernama Jimmy Hoffa (Al Pacino) untuk menyelesaikan beberapa masalahnya. Hoffa sendiri, meski mempunyai posisi legal, sering berurusan dengan mafia sehubungan dengan Teamster yang banyak membawahi buruh-buruh di bidang transportasi dan pengangkutan yang wilayah operasinya memang banyak dikuasai oleh mafia. Scorsese kemudian diangkat menjadi semacam penasihat dan pengawal pribadi Hoffa, dan sering memberitahu bosnya untuk tidak terlalu ambisius soal Teamster, karena mafia di sekelilingnya, termasuk Anthony Provenzano (Stephen Graham) mengincar Hoffa sehubungan dengan dana pensiun senilai miliaran dollar yang ada di bawah penguasaan Hoffa. 

Sekitar 45 menit terakhir film ini, seperti umumnya film mafia lainnya, menunjukkan antiklimaks dari kiprah gangster itu sendiri. Dalam Godfather part III, kita bisa melihat bagaimana Michael Corleone dihantui rasa bersalah setelah membunuh kakaknya sendiri, Fredo, sebelum akhirnya meninggal dalam kesendirian. Dalam Scarface, Tony Montana mati di rumahnya setelah menghadapi berondongan tembakan seorang diri. Dalam Donnie Brasco, Lefty Ruggiero secara implisit akan dieksekusi setelah diketahui bahwa Donnie Brasco, yang ia ajak masuk ke keluarga Bonanno, ternyata adalah agen FBI. Demikian halnya pada The Irishman, ketika para gangster itu sudah begitu sepuh, maka yang tersisa adalah hidup yang kian jauh dari gemerlap uang dan perebutan kekuasaan. Mereka mulai ke gereja dan menyesali masa mudanya yang penuh darah. 

Film berdurasi tiga setengah jam ini temponya memang agak lambat. Namun tidak akan terlalu terasa lambat jika sudah terbiasa nonton film-film Scorsese seperti Casino atau Goodfellas, yang memang tidak hanya menampilkan tembak-tembakan antar geng, tetapi juga segala obrolan penuh intrik yang tidak hanya dalam konteks serius, tetapi juga komedi, yang tentunya adalah komedi gelap. Pada Casino misalnya, kita bisa melihat bagaimana Nicky Santoro, yang diperankan oleh Joe Pesci, sebagai sosok yang jenaka, ternyata mampu membuat orang sekitarnya merasa ngeri. Dialog kecil yang menghadirkan paradoks itu yang seringkali diangkat oleh Scorsese, yang membuat film menjadi terasa lambat, padahal sedang membangun keseluruhan suasana dari kehidupan mafia yang membuat kita tidak bisa dengan mudah menilainya secara hitam putih. Misalnya, dalam The Irishman, selain dinginnya Sheeran dalam melakukan eksekusi, Scorsese juga menampilkan sisi lain, yaitu bagaimana sang eksekutor mengalami masalah dalam komunikasi dengan putrinya. 

Memang ada hal yang "gitu-gitu aja" dalam film tentang gangster, yang membuat kurang lebih segala sesuatunya dapat ditebak, termasuk seputar intrik apa yang disajikan. Urusannya pasti soal perebutan bisnis dan jabatan dengan tambahan adanya polisi busuk di sekitar yang bekerjasama dengan para mafia. Namun memang ada hal yang berbeda dalam The Irishman ini, yaitu karena kenyataan bahwa hampir semua aktor utamanya adalah aktor berusia senja, maka dihadirkan pula problematika hidup di usia senja. 45 menit terakhir film bagi saya begitu berkesan karena tidak hanya menghadirkan masalah eksistensial dari para mafia saat menjelang kematian, tetapi mewakili manusia secara umum. Perasaan menyesal, kesepian, dan ketakutan, mewarnai batin para gangter yang masa mudanya dipenuhi kehidupan yang gemerlap dan hedonistik. The Irishman mungkin merepresentasikan kegelisahan yang nyata dari para aktor, termasuk sutradara, yang bisa jadi ada di ujung karir sinemanya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me