Setelah lama tidak menonton film yang durasinya panjang-panjang, akhirnya saya memutuskan untuk menonton The Irishman (2019). Mengapa saya memilih film bertema mafia tersebut? Dari dulu memang saya mengagumi karya-karya Martin Scorsese dari mulai Taxi Driver (1976), Raging Bull (1980), Goodfellas (1990) hingga Casino (1995). Selain itu, saya juga penasaran melihat bagaimana akting Al Pacino, Robert de Niro dan Joe Pesci di usia 70-an akhir.
The Irishman adalah film yang berpusat pada Frank Sheeran (Robert de Niro), pengantar daging turunan Irlandia yang menjadi eksekutor bagi kelompok mafia Russell Bufalino (Joe Pesci). Dianggap bagus dalam menjalankan tugas-tugasnya, Frank kemudian dihubungi oleh presiden serikat Teamster bernama Jimmy Hoffa (Al Pacino) untuk menyelesaikan beberapa masalahnya. Hoffa sendiri, meski mempunyai posisi legal, sering berurusan dengan mafia sehubungan dengan Teamster yang banyak membawahi buruh-buruh di bidang transportasi dan pengangkutan yang wilayah operasinya memang banyak dikuasai oleh mafia. Scorsese kemudian diangkat menjadi semacam penasihat dan pengawal pribadi Hoffa, dan sering memberitahu bosnya untuk tidak terlalu ambisius soal Teamster, karena mafia di sekelilingnya, termasuk Anthony Provenzano (Stephen Graham) mengincar Hoffa sehubungan dengan dana pensiun senilai miliaran dollar yang ada di bawah penguasaan Hoffa.
Sekitar 45 menit terakhir film ini, seperti umumnya film mafia lainnya, menunjukkan antiklimaks dari kiprah gangster itu sendiri. Dalam Godfather part III, kita bisa melihat bagaimana Michael Corleone dihantui rasa bersalah setelah membunuh kakaknya sendiri, Fredo, sebelum akhirnya meninggal dalam kesendirian. Dalam Scarface, Tony Montana mati di rumahnya setelah menghadapi berondongan tembakan seorang diri. Dalam Donnie Brasco, Lefty Ruggiero secara implisit akan dieksekusi setelah diketahui bahwa Donnie Brasco, yang ia ajak masuk ke keluarga Bonanno, ternyata adalah agen FBI. Demikian halnya pada The Irishman, ketika para gangster itu sudah begitu sepuh, maka yang tersisa adalah hidup yang kian jauh dari gemerlap uang dan perebutan kekuasaan. Mereka mulai ke gereja dan menyesali masa mudanya yang penuh darah.
Film berdurasi tiga setengah jam ini temponya memang agak lambat. Namun tidak akan terlalu terasa lambat jika sudah terbiasa nonton film-film Scorsese seperti Casino atau Goodfellas, yang memang tidak hanya menampilkan tembak-tembakan antar geng, tetapi juga segala obrolan penuh intrik yang tidak hanya dalam konteks serius, tetapi juga komedi, yang tentunya adalah komedi gelap. Pada Casino misalnya, kita bisa melihat bagaimana Nicky Santoro, yang diperankan oleh Joe Pesci, sebagai sosok yang jenaka, ternyata mampu membuat orang sekitarnya merasa ngeri. Dialog kecil yang menghadirkan paradoks itu yang seringkali diangkat oleh Scorsese, yang membuat film menjadi terasa lambat, padahal sedang membangun keseluruhan suasana dari kehidupan mafia yang membuat kita tidak bisa dengan mudah menilainya secara hitam putih. Misalnya, dalam The Irishman, selain dinginnya Sheeran dalam melakukan eksekusi, Scorsese juga menampilkan sisi lain, yaitu bagaimana sang eksekutor mengalami masalah dalam komunikasi dengan putrinya.
Memang ada hal yang "gitu-gitu aja" dalam film tentang gangster, yang membuat kurang lebih segala sesuatunya dapat ditebak, termasuk seputar intrik apa yang disajikan. Urusannya pasti soal perebutan bisnis dan jabatan dengan tambahan adanya polisi busuk di sekitar yang bekerjasama dengan para mafia. Namun memang ada hal yang berbeda dalam The Irishman ini, yaitu karena kenyataan bahwa hampir semua aktor utamanya adalah aktor berusia senja, maka dihadirkan pula problematika hidup di usia senja. 45 menit terakhir film bagi saya begitu berkesan karena tidak hanya menghadirkan masalah eksistensial dari para mafia saat menjelang kematian, tetapi mewakili manusia secara umum. Perasaan menyesal, kesepian, dan ketakutan, mewarnai batin para gangter yang masa mudanya dipenuhi kehidupan yang gemerlap dan hedonistik. The Irishman mungkin merepresentasikan kegelisahan yang nyata dari para aktor, termasuk sutradara, yang bisa jadi ada di ujung karir sinemanya.
Comments
Post a Comment