Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Menjadi Pendukung Italia adalah Pilihan Berani

Keputusan memilih Italia sebagai tim favorit sejak Euro 96 bukanlah keputusan menyenangkan. Italia adalah tim bertahan dan tidak menyukai penguasaan bola. Menonton mereka bermain berarti juga stres sepanjang pertandingan karena senantiasa dalam tekanan tim lawan. Bahkan sepakbola Italia pernah bangga dengan taktik catenaccio atau "pertahanan grendel". Mereka menumpuk lima bek dan satu di antaranya adalah libero yang bermain di belakang dua stopper agar pertahanannya berlapis. Saya kadang iri pada pendukung Jerman, Spanyol, Brasil atau Belanda. Meski tidak selalu menang, setidaknya mereka tampil menyerang dan itu jauh lebih menenangkan. 

Italia di Euro 2020 adalah Italia yang sudah beradaptasi dengan tren sepakbola menyerang. Meski tetap mampu bertahan dengan indah, mereka juga tidak alergi dengan penguasaan bola. Italia sekarang mau dengan sabar membangun serangan dari belakang ke depan, tanpa terburu-buru melambungkan bola seperti biasanya. Menonton Italia di era Roberto Mancini jauh lebih menenangkan daripada di masa Cesare Maldini atau Marcelo Lippi. 

Italia juara Euro 2020. Artinya, dua kali dalam hidup, saya menyaksikan Italia angkat trofi selain Piala Dunia 2006. Semuanya jadi kenangan yang indah. Termasuk bagaimana saya dulu sampai solat tahajud menjelang pertandingan Italia (solat wajibnya malah enggak), tentang bagaimana saya menangis tersedu-sedu saat gol Ahn Jung Hwan menyingkirkan Azzurri di Korsel, dan bagaimana hingga sekarang, saya masih menonton ulangan gol Fabio Grosso di perpanjangan waktu melawan Jerman di tahun 2006. Orang bisa pindah agama, tetapi tidak mungkin pindah tim sepakbola kesayangan. 

Orang bisa pindah dari Islam ke Kristen dan sebaliknya, tetapi mustahil orang pindah dari tadinya suka Persib menjadi Persija, atau Italia menjadi Inggris. Hidup Italia! Hidup Persib!


 

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me