Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Tobucil


Antara tahun 2006 sampai sekitar 2014, saya aktif di sebuah toko buku, komunitas, dan ruang alternatif bernama Tobucil atau toko buku kecil. Awalnya, Tobucil berdiam di Jalan Kyai Gede Utama nomor 8 sebelum akhirnya pindah sekitar tahun 2007 ke Jalan Aceh nomor 56. Di Jalan Aceh ini, saya rajin sekali nongkrong dan aktif setidaknya di dua komunitas yaitu KlabKlassik dan Madrasah Falsafah. Tobucil, meski basisnya adalah toko buku, tetapi juga memfasilitasi berbagai komunitas. Itu sebabnya, nama resminya adalah Tobucil n' Klabs. 

Mengapa saya menulis tentang Tobucil, karena dipicu oleh pertemuan dengan Mbak Elin pada tanggal 12 Juli kemarin. Mbak Elin, apa ya jabatannya, mungkin dapat dikatakan manajer di Tobucil, tiba-tiba mengontak dan mengatakan akan mengembalikan sejumlah buku yang pernah dititipkan di Tobucil. Saya kaget karena saya sendiri sudah lupa buku apa saja yang pernah dititipkan. Singkat cerita, kami bertemu dan bercerita sedikit banyak soal Tobucil yang sekarang sudah berganti manajemen sehingga semua urusan administrasi mesti diselesaikan. Sudah sekitar tujuh tahun saya tidak bertemu Mbak Elin, tetapi kami berbicang langsung akrab seperti sering jumpa. Mungkin karena saya pernah menghabiskan hari-hari saya di Tobucil selama bertahun-tahun, sehingga yah, orang-orang di dalamnya pernah menjadi bagian penting dalam hidup saya - dapat dikatakan, sudah seperti keluarga -. 

Pertemuan dengan Mbak Elin tersebut memanggil kenangan tentang Tobucil. Tobucil adalah tempat pertama yang memfasilitasi saya dalam berkegiatan di komunitas. Di sana saya sekaligus belajar tentang apa itu berkomunitas dan dari berkomunitas itu, saya menjadi belajar banyak hal lainnya. Misalnya, Mbak Tarlen, pendiri dan pemilik Tobucil, mengajarkan pada saya bahwa usia sepuluh tahun dalam berkomunitas itu adalah seperti bayi masih merangkak. Mbak Tarlen hendak mengatakan, bahwa berkomunitas itu harus sabar, seperti menyirami benih dan membesarkan anak. Kuncinya adalah konsistensi dan tidak cepat puas. 

Melalui berkomunitas di Tobucil juga saya belajar bagaimana bicara dan mendengar, terutama dalam konteks interpersonal. Di dalam komunitas, berbagai obrolan dan diskusi berlangsung secara intim sekaligus intens, sehingga dampaknya, juga mudah untuk timbul gesekan. Namun dari situlah saya mengambil pelajaran dari interaksi yang menimbulkan aneka benturan, bahwa dengan cara demikian kita menjadi matang dalam bersikap dan mengambil keputusan. Oh iya, di Tobucil juga pertama kali saya berjumpa Sundea, yang merekrut saya untuk mendampinginya mengisi blog Tobucil. Bisa dikatakan, Dea adalah orang pertama yang percaya pada kemampuan saya dalam menulis. Ia juga yang memberi nama pena yang masih saya gunakan hingga sekarang: syarafmaulini. 

Saya kira harus diakui bahwa Tobucil adalah patron mula-mula saya dalam menjalani kehidupan yang bersentuhan dengan "publik". Meski tidak dalam jumlah besar, tetapi dari situlah memang awalnya, dari bagaimana mengatasi hubungan personal dan kelompok kecil. Pada akhirnya, berawal dari sana, apa yang dimaksud "orang banyak" itu pertama, bisa dibayangkan sebagai perluasan dari hubungan personal dan yang kedua, "orang banyak" bisa ditaklukkan lewat dialog dengan individu atau kelompok kecil yang menjadi bagiannya. Intinya, jika ingin mengatasi "orang banyak", pilihlah representasinya untuk diajak bicara. Pada penerapan semacam itu, pengalaman saya di Tobucil menjadi penting, jika tidak dapat dikatakan terpenting dalam perkembangan cara berkomunikasi saya. 

Demikian, apa yang saya dengar dari Mbak Elin tentang situasi Tobucil yang sudah amat berbeda, membuat saya merenung panjang. Pernah saya tulis di masa-masa itu, bahwa kita tidak bisa mengubah dunia, tetapi kita bisa mendefinisikan kembali dunia untuk kita ubah. Dunia dalam versi saya, waktu itu, adalah Tobucil.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1