Antara tahun 2006 sampai sekitar 2014, saya aktif di sebuah toko buku, komunitas, dan ruang alternatif bernama Tobucil atau toko buku kecil. Awalnya, Tobucil berdiam di Jalan Kyai Gede Utama nomor 8 sebelum akhirnya pindah sekitar tahun 2007 ke Jalan Aceh nomor 56. Di Jalan Aceh ini, saya rajin sekali nongkrong dan aktif setidaknya di dua komunitas yaitu KlabKlassik dan Madrasah Falsafah. Tobucil, meski basisnya adalah toko buku, tetapi juga memfasilitasi berbagai komunitas. Itu sebabnya, nama resminya adalah Tobucil n' Klabs.
Mengapa saya menulis tentang Tobucil, karena dipicu oleh pertemuan dengan Mbak Elin pada tanggal 12 Juli kemarin. Mbak Elin, apa ya jabatannya, mungkin dapat dikatakan manajer di Tobucil, tiba-tiba mengontak dan mengatakan akan mengembalikan sejumlah buku yang pernah dititipkan di Tobucil. Saya kaget karena saya sendiri sudah lupa buku apa saja yang pernah dititipkan. Singkat cerita, kami bertemu dan bercerita sedikit banyak soal Tobucil yang sekarang sudah berganti manajemen sehingga semua urusan administrasi mesti diselesaikan. Sudah sekitar tujuh tahun saya tidak bertemu Mbak Elin, tetapi kami berbicang langsung akrab seperti sering jumpa. Mungkin karena saya pernah menghabiskan hari-hari saya di Tobucil selama bertahun-tahun, sehingga yah, orang-orang di dalamnya pernah menjadi bagian penting dalam hidup saya - dapat dikatakan, sudah seperti keluarga -.
Pertemuan dengan Mbak Elin tersebut memanggil kenangan tentang Tobucil. Tobucil adalah tempat pertama yang memfasilitasi saya dalam berkegiatan di komunitas. Di sana saya sekaligus belajar tentang apa itu berkomunitas dan dari berkomunitas itu, saya menjadi belajar banyak hal lainnya. Misalnya, Mbak Tarlen, pendiri dan pemilik Tobucil, mengajarkan pada saya bahwa usia sepuluh tahun dalam berkomunitas itu adalah seperti bayi masih merangkak. Mbak Tarlen hendak mengatakan, bahwa berkomunitas itu harus sabar, seperti menyirami benih dan membesarkan anak. Kuncinya adalah konsistensi dan tidak cepat puas.
Melalui berkomunitas di Tobucil juga saya belajar bagaimana bicara dan mendengar, terutama dalam konteks interpersonal. Di dalam komunitas, berbagai obrolan dan diskusi berlangsung secara intim sekaligus intens, sehingga dampaknya, juga mudah untuk timbul gesekan. Namun dari situlah saya mengambil pelajaran dari interaksi yang menimbulkan aneka benturan, bahwa dengan cara demikian kita menjadi matang dalam bersikap dan mengambil keputusan. Oh iya, di Tobucil juga pertama kali saya berjumpa Sundea, yang merekrut saya untuk mendampinginya mengisi blog Tobucil. Bisa dikatakan, Dea adalah orang pertama yang percaya pada kemampuan saya dalam menulis. Ia juga yang memberi nama pena yang masih saya gunakan hingga sekarang: syarafmaulini.
Saya kira harus diakui bahwa Tobucil adalah patron mula-mula saya dalam menjalani kehidupan yang bersentuhan dengan "publik". Meski tidak dalam jumlah besar, tetapi dari situlah memang awalnya, dari bagaimana mengatasi hubungan personal dan kelompok kecil. Pada akhirnya, berawal dari sana, apa yang dimaksud "orang banyak" itu pertama, bisa dibayangkan sebagai perluasan dari hubungan personal dan yang kedua, "orang banyak" bisa ditaklukkan lewat dialog dengan individu atau kelompok kecil yang menjadi bagiannya. Intinya, jika ingin mengatasi "orang banyak", pilihlah representasinya untuk diajak bicara. Pada penerapan semacam itu, pengalaman saya di Tobucil menjadi penting, jika tidak dapat dikatakan terpenting dalam perkembangan cara berkomunikasi saya.
Demikian, apa yang saya dengar dari Mbak Elin tentang situasi Tobucil yang sudah amat berbeda, membuat saya merenung panjang. Pernah saya tulis di masa-masa itu, bahwa kita tidak bisa mengubah dunia, tetapi kita bisa mendefinisikan kembali dunia untuk kita ubah. Dunia dalam versi saya, waktu itu, adalah Tobucil.
Comments
Post a Comment