Lionel Messi baru saja menjuarai Copa America bersama Argentina. Penantian panjang berakhir sudah. Salah satu pemain terbaik yang pernah ada dalam sejarah itu sering diragukan tidak total jika tampil bersama negaranya. Timbul pertanyaan, "Untuk apa hebat, jika tidak bisa menyumbangkan trofi untuk negeri sendiri?" Akhirnya, keraguan itu terjawab.
Messi memulai kiprahnya di La Liga sekitar enam belas atau tujuh belas tahun lalu. Waktu itu saya sudah mulai nonton sepakbola dan Barcelona menjadi salah satu tim favorit saya (setelah Juventus). Alasan menyukai tim sepakbola kadang memang tidak rasional, terutama jika berkaitan dengan tim asing. Mengapa saya menyukai Italia, lebih disebabkan memang tim itulah yang saya tonton pertama kali saat mulai menggemari sepakbola. Mengapa saya menyukai Barcelona, karena hal yang kurang lebih mirip. Saya menyukainya sejak Barca masih diperkuat oleh Luis Figo, Pep Guardiola, dan Miguel Angel Nadal. Namun harus diakui, hari-hari setelah adanya Messi memang membuat perbedaan dalam cara saya menyukai Barcelona. Terlebih lagi, saat Barca dilatih Guardiola, permainannya menjadi lebih menghibur dengan adanya pemain seperti Xavi dan Andres Iniesta.
Bisa dikatakan bahwa saya bertumbuh bersama Messi. Dari musim ke musim, dari Copa America ke Copa America, dari Piala Dunia ke Piala Dunia, saya menyimak kiprah Messi dan turut bahagia ataupun sedih bersamaan dengan jatuh bangunnya pencapaian sang bintang. Saat kemudian ia berhasil membawa timnya menjuarai Copa America di usia 33 tahun - bisa dikatakan, menghitung tahun-tahun menjelang pensiun -, saya ikut terharu, terutama saat melihat rekan-rekan setimnya mengerubungi Messi di peluit akhir yang menandai kemenangan Argentina 1-0 atas Brasil. Apa yang bisa dikatakan tentang perjalanan Messi dan kaitannya dengan hidup saya?
Menyaksikan Messi adalah sebentuk kebahagiaan. Jatuh bangun bersama karirnya adalah perasaan emosional yang sukar dilukiskan. Jika Messi kemudian "di-Tuhan-kan" oleh sebagian orang, sekarang mungkin saya bisa mengerti: sebagaimana pada Tuhan, pada pundak Messi juga kita bisa menyematkan harapan. Jika pada Tuhan kita menyematkan harapan sambil terus menafsir kehadiran-Nya, pada Messi kita bisa melihat sendiri bagaimana ia bergerak di lapangan dan menikmati setiap sentuhannya yang menjadi "sesuatu". Inilah yang terjadi juga pada Maradona, yang "di-Tuhan-kan" saat ia bermain untuk Napoli, hingga para pendukung menyebutnya sebagai Il Nostro Dio atau Dewa kami.
Messi tentu bukan Tuhan. Ia mempunyai terlalu banyak sisi lemah lain yang Tuhan tidak mungkin punyai. Messi bisa terjatuh, melakukan kesalahan, dan kalah. Messi juga menua, tidak selincah dulu, dan kelak akan berhenti bermain sepakbola. Namun di situlah mungkin pendukungnya menjadi cinta: jika Messi adalah Tuhan, Messi adalah Tuhan yang lemah. Dengan demikian, justru para penggemarnya bersama-sama turut memikul kelemahan-kelemahannya. Mungkin saja, Tuhan yang Maha Kuat dan Maha Sempurna adalah konsepsi yang terlalu agung bagi kita manusia. Terdengar terlalu jauh, terlalu asing. Kita semua rindu "Tuhan yang manusiawi".
Victor Hugo Morales, komentator asal Uruguay yang bertugas saat Piala Dunia 1986 antara Argentina melawan Inggris, berteriak histeris saat Diego Maradona mencetak gol kedua, "Terima kasih Tuhan, untuk sepakbola, untuk Maradona, untuk air mata ini, untuk skor Argentina 2, Inggris 0 ini." Maradona telah meninggalkan kita semua, tetapi rasa haru itu mungkin masih selalu melekat untuk sebagian orang. Tuhan yang lemah pada akhirnya akan meninggal, tetapi "keilahian"-nya bisa jadi tetap abadi. Demikian halnya nanti Messi, saat sudah tidak lagi berada di lapangan.
Comments
Post a Comment