Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Lionel Messi dan Tuhan yang Manusiawi


Lionel Messi baru saja menjuarai Copa America bersama Argentina. Penantian panjang berakhir sudah. Salah satu pemain terbaik yang pernah ada dalam sejarah itu sering diragukan tidak total jika tampil bersama negaranya. Timbul pertanyaan, "Untuk apa hebat, jika tidak bisa menyumbangkan trofi untuk negeri sendiri?" Akhirnya, keraguan itu terjawab. 

Messi memulai kiprahnya di La Liga sekitar enam belas atau tujuh belas tahun lalu. Waktu itu saya sudah mulai nonton sepakbola dan Barcelona menjadi salah satu tim favorit saya (setelah Juventus). Alasan menyukai tim sepakbola kadang memang tidak rasional, terutama jika berkaitan dengan tim asing. Mengapa saya menyukai Italia, lebih disebabkan memang tim itulah yang saya tonton pertama kali saat mulai menggemari sepakbola. Mengapa saya menyukai Barcelona, karena hal yang kurang lebih mirip. Saya menyukainya sejak Barca masih diperkuat oleh Luis Figo, Pep Guardiola, dan Miguel Angel Nadal. Namun harus diakui, hari-hari setelah adanya Messi memang membuat perbedaan dalam cara saya menyukai Barcelona. Terlebih lagi, saat Barca dilatih Guardiola, permainannya menjadi lebih menghibur dengan adanya pemain seperti Xavi dan Andres Iniesta. 

Bisa dikatakan bahwa saya bertumbuh bersama Messi. Dari musim ke musim, dari Copa America ke Copa America, dari Piala Dunia ke Piala Dunia, saya menyimak kiprah Messi dan turut bahagia ataupun sedih bersamaan dengan jatuh bangunnya pencapaian sang bintang. Saat kemudian ia berhasil membawa timnya menjuarai Copa America di usia 33 tahun - bisa dikatakan, menghitung tahun-tahun menjelang pensiun -, saya ikut terharu, terutama saat melihat rekan-rekan setimnya mengerubungi Messi di peluit akhir yang menandai kemenangan Argentina 1-0 atas Brasil. Apa yang bisa dikatakan tentang perjalanan Messi dan kaitannya dengan hidup saya? 

Menyaksikan Messi adalah sebentuk kebahagiaan. Jatuh bangun bersama karirnya adalah perasaan emosional yang sukar dilukiskan. Jika Messi kemudian "di-Tuhan-kan" oleh sebagian orang, sekarang mungkin saya bisa mengerti: sebagaimana pada Tuhan, pada pundak Messi juga kita bisa menyematkan harapan. Jika pada Tuhan kita menyematkan harapan sambil terus menafsir kehadiran-Nya, pada Messi kita bisa melihat sendiri bagaimana ia bergerak di lapangan dan menikmati setiap sentuhannya yang menjadi "sesuatu". Inilah yang terjadi juga pada Maradona, yang "di-Tuhan-kan" saat ia bermain untuk Napoli, hingga para pendukung menyebutnya sebagai Il Nostro Dio atau Dewa kami. 

Messi tentu bukan Tuhan. Ia mempunyai terlalu banyak sisi lemah lain yang Tuhan tidak mungkin punyai. Messi bisa terjatuh, melakukan kesalahan, dan kalah. Messi juga menua, tidak selincah dulu, dan kelak akan berhenti bermain sepakbola. Namun di situlah mungkin pendukungnya menjadi cinta: jika Messi adalah Tuhan, Messi adalah Tuhan yang lemah. Dengan demikian, justru para penggemarnya bersama-sama turut memikul kelemahan-kelemahannya. Mungkin saja, Tuhan yang Maha Kuat dan Maha Sempurna adalah konsepsi yang terlalu agung bagi kita manusia. Terdengar terlalu jauh, terlalu asing. Kita semua rindu "Tuhan yang manusiawi". 

Victor Hugo Morales, komentator asal Uruguay yang bertugas saat Piala Dunia 1986 antara Argentina melawan Inggris, berteriak histeris saat Diego Maradona mencetak gol kedua, "Terima kasih Tuhan, untuk sepakbola, untuk Maradona, untuk air mata ini, untuk skor Argentina 2, Inggris 0 ini." Maradona telah meninggalkan kita semua, tetapi rasa haru itu mungkin masih selalu melekat untuk sebagian orang. Tuhan yang lemah pada akhirnya akan meninggal, tetapi "keilahian"-nya bisa jadi tetap abadi. Demikian halnya nanti Messi, saat sudah tidak lagi berada di lapangan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...