Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Lionel Messi dan Tuhan yang Manusiawi


Lionel Messi baru saja menjuarai Copa America bersama Argentina. Penantian panjang berakhir sudah. Salah satu pemain terbaik yang pernah ada dalam sejarah itu sering diragukan tidak total jika tampil bersama negaranya. Timbul pertanyaan, "Untuk apa hebat, jika tidak bisa menyumbangkan trofi untuk negeri sendiri?" Akhirnya, keraguan itu terjawab. 

Messi memulai kiprahnya di La Liga sekitar enam belas atau tujuh belas tahun lalu. Waktu itu saya sudah mulai nonton sepakbola dan Barcelona menjadi salah satu tim favorit saya (setelah Juventus). Alasan menyukai tim sepakbola kadang memang tidak rasional, terutama jika berkaitan dengan tim asing. Mengapa saya menyukai Italia, lebih disebabkan memang tim itulah yang saya tonton pertama kali saat mulai menggemari sepakbola. Mengapa saya menyukai Barcelona, karena hal yang kurang lebih mirip. Saya menyukainya sejak Barca masih diperkuat oleh Luis Figo, Pep Guardiola, dan Miguel Angel Nadal. Namun harus diakui, hari-hari setelah adanya Messi memang membuat perbedaan dalam cara saya menyukai Barcelona. Terlebih lagi, saat Barca dilatih Guardiola, permainannya menjadi lebih menghibur dengan adanya pemain seperti Xavi dan Andres Iniesta. 

Bisa dikatakan bahwa saya bertumbuh bersama Messi. Dari musim ke musim, dari Copa America ke Copa America, dari Piala Dunia ke Piala Dunia, saya menyimak kiprah Messi dan turut bahagia ataupun sedih bersamaan dengan jatuh bangunnya pencapaian sang bintang. Saat kemudian ia berhasil membawa timnya menjuarai Copa America di usia 33 tahun - bisa dikatakan, menghitung tahun-tahun menjelang pensiun -, saya ikut terharu, terutama saat melihat rekan-rekan setimnya mengerubungi Messi di peluit akhir yang menandai kemenangan Argentina 1-0 atas Brasil. Apa yang bisa dikatakan tentang perjalanan Messi dan kaitannya dengan hidup saya? 

Menyaksikan Messi adalah sebentuk kebahagiaan. Jatuh bangun bersama karirnya adalah perasaan emosional yang sukar dilukiskan. Jika Messi kemudian "di-Tuhan-kan" oleh sebagian orang, sekarang mungkin saya bisa mengerti: sebagaimana pada Tuhan, pada pundak Messi juga kita bisa menyematkan harapan. Jika pada Tuhan kita menyematkan harapan sambil terus menafsir kehadiran-Nya, pada Messi kita bisa melihat sendiri bagaimana ia bergerak di lapangan dan menikmati setiap sentuhannya yang menjadi "sesuatu". Inilah yang terjadi juga pada Maradona, yang "di-Tuhan-kan" saat ia bermain untuk Napoli, hingga para pendukung menyebutnya sebagai Il Nostro Dio atau Dewa kami. 

Messi tentu bukan Tuhan. Ia mempunyai terlalu banyak sisi lemah lain yang Tuhan tidak mungkin punyai. Messi bisa terjatuh, melakukan kesalahan, dan kalah. Messi juga menua, tidak selincah dulu, dan kelak akan berhenti bermain sepakbola. Namun di situlah mungkin pendukungnya menjadi cinta: jika Messi adalah Tuhan, Messi adalah Tuhan yang lemah. Dengan demikian, justru para penggemarnya bersama-sama turut memikul kelemahan-kelemahannya. Mungkin saja, Tuhan yang Maha Kuat dan Maha Sempurna adalah konsepsi yang terlalu agung bagi kita manusia. Terdengar terlalu jauh, terlalu asing. Kita semua rindu "Tuhan yang manusiawi". 

Victor Hugo Morales, komentator asal Uruguay yang bertugas saat Piala Dunia 1986 antara Argentina melawan Inggris, berteriak histeris saat Diego Maradona mencetak gol kedua, "Terima kasih Tuhan, untuk sepakbola, untuk Maradona, untuk air mata ini, untuk skor Argentina 2, Inggris 0 ini." Maradona telah meninggalkan kita semua, tetapi rasa haru itu mungkin masih selalu melekat untuk sebagian orang. Tuhan yang lemah pada akhirnya akan meninggal, tetapi "keilahian"-nya bisa jadi tetap abadi. Demikian halnya nanti Messi, saat sudah tidak lagi berada di lapangan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me