Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Thoreau di Walden


Henry David Thoreau merupakan pemikir Amerika yang menjadi bagian dari gerakan “Pemikiran Baru” (New Thought) bernama transendentalisme yang dimulai awal abad ke-19 sebagai usaha pencarian spiritual yang lepas dari agama-agama yang sudah “mapan”. William James menyebutnya sebagai “the religion of healthy-mindedness”. Prinsip dasar transendentalisme adalah mandiri dan independen. Kebaikan dan kemurnian ada secara inheren di dalam diri setiap orang yang sejalan dengan alam, tidak boleh ditekan oleh masyarakat atau institusi manapun. Terkait keselarasan dengan alam, Ralph Waldo Emerson sebagai salah satu pendiri transendentalisme menegaskannya dalam Nature:

In the woods, we return to reason and faith. There I feel that nothing can befall me in life, — no disgrace, no calamity, (leaving me my eyes,) which nature cannot repair. Standing on the bare ground, — my head bathed by the blithe air, and uplifted into infinite space, — all mean egotism vanishes. I become a transparent eye-ball; I am nothing; I see all; the currents of the Universal Being circulate through me; I am part or particle of God.”

Thoreau lahir tahun 1817 dan meninggal tahun 1862 di Massachusetts, Amerika Serikat. Selain dikenal sebagai esais, penyair dan filsuf, Thoreau juga adalah seorang aktivis anti perbudakan (abolitionist) dan terutama melalui karyanya yang berjudul Civil Disobedience, Thoreau sering disebut-sebut sebagai anarkis. Thoreau punya pandangan berkenaan konsep Tuhan yang panteistik, yang dipengaruhi pembacaannya terhadap teks spiritual India. Tulisan-tulisannya dalam Civil Disobedience dan juga Walden mempengaruhi pandangan hidup tokoh besar seperti Leo Tolstoy, Martin Luther King Jr. dan Mahatma Gandhi. 

 Pada bulan Juli 1845, didasari oleh keinginannya untuk lebih fokus pada penulisan, Thoreau tinggal di rumah yang dibangunnya sendiri di atas tanah milik Emerson di pinggir Danau Walden. Thoreau tinggal di pinggir Danau Walden selama dua tahun dua bulan dan mempraktikkan apa yang disebut sebagai “simple living”. Tahun 1854, buku Walden; or, Life in the Woods terbit sebagai hasil refleksinya selama hidup di Danau Walden. Steven Fink, pengkaji pemikiran Thoreau menyebut Thoreau sebagai penulis yang “lambat”. 

Dalam tulisannya di Walden, Thoreau menyinggung tentang filsuf yang menurutnya bukan tentang orang yang memiliki pemikiran mendalam saja, melainkan tentang orang yang mencintai kebijaksanaan dan hidup berdasar pada kebersehajaan dan independensi (hlm 15). Dengan mengacu pada hidup yang bebas dan tanpa komitmen, bagi Thoreau, menjadi tidak ada perbedaan antara hidup di desa dan di penjara (hlm 70). Wujud dari hidup bebas dan tanpa komitmen ini ditunjukkan salah satunya melalui sikap tenang dan tidak rakus. Thoreau mempertanyakan: “Why should we live with such hurry and waste of life? We are determined to be starved before we are hungry.” (hlm 77) 

Orientasinya pada individu ini membuat Thoreau punya pandangan kurang baik terhadap masyarakat. Menurut Thoreau, masyarakat menuntut kita untuk bertemu secara singkat sehingga tidak punya waktu cukup untuk saling menggali nilai satu sama lain (hlm 113). Secara umum, prinsip transendentalisme ini bertentangan dengan konsep masyarakat yang menurutnya mengganggu keotentikan individu. Lebih jauh lagi, Thoreau menolak konsep negara yang menurutnya memfasilitasi otoritas yang memaksa sehingga kembali lagi, bertentangan dengan prinsip-prinsip individualisme yang menjadi dasar transendentalisme. Melalui kesendiriannya di Walden, Thoreau semakin menghayati individualisme tersebut. 

Melalui Walden, kita dapat lebih dalam memandang konsep kemandirian (self reliance) baik secara ekonomi maupun spiritual. Di Walden, Thoreau memang kerap didatangi oleh orang lain dan dia menikmati keberadaan orang lain tersebut. Namun ia tidak mengatakan bahwa ia "memerlukannya". Selain itu, Thoreau juga mengajak kita untuk menjalani kehidupan yang sederhana, yang ditunjukkan melalui perilaku konsumsi yang minimal dan fokus pada waktu luang. Thoreau, dalam tulisannya, mengritik konsep kemajuan (progress) yang menurutnya bertentangan dengan kedamaian diri. Ia ingin agar manusia lebih fokus pada pencerahan spiritual yang terkait dengan prinsip manusia sebagai bagian dari alam, alam sebagai refleksi perasaan manusia serta negara sebagai konsep yang korup dan tidak adil. 

Meski demikian, kita juga bisa mengajukan kritik pada gagasan Thoreau yang menunjukkan sikap khas yang dibangun di atas kehidupan materialistik orang-orang Amerika (menyepi, mengasingkan diri, seolah-olah “kabur” dari persoalan). Hal ini disinggung oleh Georg Simmel dalam Philosophy of Money: sikap penolakan terhadap dunia yang serba materialistik hanya dimungkinkan akibat keberadaan uang. Selain itu, ada paradoks menarik, yaitu kenyataan bahwa ketenangan yang diperoleh Thoreau hanya dimungkinkan akibat kepemilikan Emerson atas wilayah tersebut (ujung-ujungnya menjadi sikap kekayaan yang justru dibangun di atas kekayaan). Kemudian kita bisa mengajukan pertanyaan: Bisakah hidup di alam "tanpa dikenal"? Karena jika hidup di alam kemudian dipublikasikan (seperti juga terjadi hingga hari ini melalui media sosial dan program-program televisi), tidakkah malah berpotensi merusak alam itu sendiri, karena orang-orang kemudian berbondong-bondong untuk hidup di alam? Terakhir, kita juga bisa pertanyakan soal sisi kebaruan dari Walden. Bukankah "Timur" sudah lebih "duluan" dalam menghayati alam dan spiritualitasnya, tanpa harus berangkat dari kemuakan atas industrialisasi dan sikap materialistik? Maka itu, ketimbang belajar pada Walden, kita bisa menggali kembali kearifan lokal kita sendiri.

Comments

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me