Jika dihitung-hitung, saya lebih sering menjadi moderator ketimbang pembicara di dunia perdiskusian. Peran moderator ini sebenarnya sudah saya lakoni sejak mengurus komunitas Madrasah Falsafah yang berdiri sekitar tahun 2007. Waktu itu, sebelum saya dipercaya sepenuhnya untuk menjadi koordinator Madrasah Falsafah, saya terlebih dahulu mengamati peran moderator yang dijalankan oleh Rosihan Fahmi yang menurut saya justru lebih sentral dari peran pembicara. Di Madrasah Falsafah yang memegang prinsip dialog Sokrates, tidak ada yang benar-benar dinamakan narasumber secara khusus karena semua peserta diskusi diplot sekaligus sebagai pembicara. Moderator justru bertugas memancing para peserta agar bisa memberikan pandangan terhadap suatu topik yang bisa jadi sangat sederhana seperti misalnya tentang "sahabat" atau tentang "pagar". Kalaupun ada yang dinamakan "narasumber", maka istilah yang disematkannya adalah "pemasalah" karena tugasnya bukan menerangkan suatu informasi, tetapi lebih pada mengajukan masalah filosofis.
Moderator, dalam prinsip Madrasah Falsafah, adalah seperti Sokrates, ia berupaya menggali "pengetahuan dari dalam" yang ada pada diri masing-masing peserta. Pendapat para peserta, yang sebagian besar bukan berlatar belakang studi akademis filsafat, mungkin bisa sangat acak dan hanya berupa letupan-letupan pengalaman seperti misalnya, "Sahabat ya bagi saya merupakan orang-orang di sekitar yang justru bisa menerima kekurangan-kekurangan saya." Moderator, mendengar pendapat tersebut, mesti mampu menariknya menjadi pernyataan filosofis seperti misalnya, "Jadi, menurut kamu, sahabat artinya adalah orang-orang yang mampu menerima hubungan yang asimetris ya?" Asimetris, yang dipinjam dari istilah Emmanuel Levinas, artinya adalah hubungan yang tidak harus saling menguntungkan secara "adil", melainkan bisa juga "berat sebelah". Kemudian, moderator juga bisa melemparkan pernyataan barusan pada forum untuk kemudian ditanggapi kembali, "Apakah benar-benar ada hubungan yang asimetris itu? Atau setiap orang pasti berharap ganjaran yang 'simetris', meski misalnya, dari surga?" Dengan demikian, forum menjadi hidup justru karena aktifnya moderator dalam "melangitkan" sekaligus "membumikan" setiap pernyataan. Maka itu, dulu kami punya semboyan: "Semua orang adalah filsuf."
Kebiasaan menjalani peran moderator semacam itu membuat saya meyakini bahwa tugas moderator bukanlah sekadar "mengatur lalu lintas diskusi" atau bahkan lebih buruknya, hanya mempersilakan pembicara presentasi atau membuka sesi tanya jawab. Moderator, lebih dari itu, punya peran penting dalam menggali materi dari narasumber dan juga menajamkan pertanyaan atau tanggapan dari peserta. Narasumber bisa saja memaparkan materi yang kurang relevan dengan tema atau memaparkan materi dengan cara yang membosankan, tetapi hal tersebut harus segera diatasi oleh moderator untuk misalnya, memancing narasumber dengan pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya membuat diskusi menjadi lebih menarik dan hidup. Moderator juga, bagi saya, mesti mampu merasakan apakah forum ini tampak terlalu lesu atau malah terlalu bersemangat sehingga perannya juga adalah untuk mengimbangi. Misalnya, jika forum terlalu "sepi" dari respons, maka moderator bisa melontarkan satu dua humor agar suasana lebih segar atau membuat "pertanyaan awam" yang membuat peserta merasa terhubung dengan materi yang mungkin dirasa terlalu rumit.
Itu sebabnya, di Kelas Isolasi, istilah moderator, yang kami anggap terlalu "netral", akhirnya diputuskan untuk diubah menjadi "pengegas". Ia bukan hanya memoderasi diskusi, tetapi juga membuat diskusi menjadi lebih hangat dan bahkan bisa jadi provokatif.
Comments
Post a Comment