Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Moderator


Jika dihitung-hitung, saya lebih sering menjadi moderator ketimbang pembicara di dunia perdiskusian. Peran moderator ini sebenarnya sudah saya lakoni sejak mengurus komunitas Madrasah Falsafah yang berdiri sekitar tahun 2007. Waktu itu, sebelum saya dipercaya sepenuhnya untuk menjadi koordinator Madrasah Falsafah, saya terlebih dahulu mengamati peran moderator yang dijalankan oleh Rosihan Fahmi yang menurut saya justru lebih sentral dari peran pembicara. Di Madrasah Falsafah yang memegang prinsip dialog Sokrates, tidak ada yang benar-benar dinamakan narasumber secara khusus karena semua peserta diskusi diplot sekaligus sebagai pembicara. Moderator justru bertugas memancing para peserta agar bisa memberikan pandangan terhadap suatu topik yang bisa jadi sangat sederhana seperti misalnya tentang "sahabat" atau tentang "pagar". Kalaupun ada yang dinamakan "narasumber", maka istilah yang disematkannya adalah "pemasalah" karena tugasnya bukan menerangkan suatu informasi, tetapi lebih pada mengajukan masalah filosofis. 

Moderator, dalam prinsip Madrasah Falsafah, adalah seperti Sokrates, ia berupaya menggali "pengetahuan dari dalam" yang ada pada diri masing-masing peserta. Pendapat para peserta, yang sebagian besar bukan berlatar belakang studi akademis filsafat, mungkin bisa sangat acak dan hanya berupa letupan-letupan pengalaman seperti misalnya, "Sahabat ya bagi saya merupakan orang-orang di sekitar yang justru bisa menerima kekurangan-kekurangan saya." Moderator, mendengar pendapat tersebut, mesti mampu menariknya menjadi pernyataan filosofis seperti misalnya, "Jadi, menurut kamu, sahabat artinya adalah orang-orang yang mampu menerima hubungan yang asimetris ya?" Asimetris, yang dipinjam dari istilah Emmanuel Levinas, artinya adalah hubungan yang tidak harus saling menguntungkan secara "adil", melainkan bisa juga "berat sebelah". Kemudian, moderator juga bisa melemparkan pernyataan barusan pada forum untuk kemudian ditanggapi kembali, "Apakah benar-benar ada hubungan yang asimetris itu? Atau setiap orang pasti berharap ganjaran yang 'simetris', meski misalnya, dari surga?" Dengan demikian, forum menjadi hidup justru karena aktifnya moderator dalam "melangitkan" sekaligus "membumikan" setiap pernyataan. Maka itu, dulu kami punya semboyan: "Semua orang adalah filsuf." 

Kebiasaan menjalani peran moderator semacam itu membuat saya meyakini bahwa tugas moderator bukanlah sekadar "mengatur lalu lintas diskusi" atau bahkan lebih buruknya, hanya mempersilakan pembicara presentasi atau membuka sesi tanya jawab. Moderator, lebih dari itu, punya peran penting dalam menggali materi dari narasumber dan juga menajamkan pertanyaan atau tanggapan dari peserta. Narasumber bisa saja memaparkan materi yang kurang relevan dengan tema atau memaparkan materi dengan cara yang membosankan, tetapi hal tersebut harus segera diatasi oleh moderator untuk misalnya, memancing narasumber dengan pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya membuat diskusi menjadi lebih menarik dan hidup. Moderator juga, bagi saya, mesti mampu merasakan apakah forum ini tampak terlalu lesu atau malah terlalu bersemangat sehingga perannya juga adalah untuk mengimbangi. Misalnya, jika forum terlalu "sepi" dari respons, maka moderator bisa melontarkan satu dua humor agar suasana lebih segar atau membuat "pertanyaan awam" yang membuat peserta merasa terhubung dengan materi yang mungkin dirasa terlalu rumit. 

Itu sebabnya, di Kelas Isolasi, istilah moderator, yang kami anggap terlalu "netral", akhirnya diputuskan untuk diubah menjadi "pengegas". Ia bukan hanya memoderasi diskusi, tetapi juga membuat diskusi menjadi lebih hangat dan bahkan bisa jadi provokatif.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me