Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Guru Spiritual

 

 

Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. 

Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dalam gelagat Bikram, ia nampak delusional, memandang dirinya sebagai orang yang dipuja-puja. Bikram mengaku jarang tidur, jarang makan, dan mengklaim diri sebagai orang "paling spiritual". Dengan demikian, terdapat bayangan bahwa dirinya berada di atas manusia lain, mungkin semacam "titisan dewa". Bikram membumbui "ke-dewa-an"-nya tersebut dengan misalnya, pernah mengajar presiden Nixon, George Harrison, dan seleb lainnya. Mungkin saja omongan Bikram ada benarnya, tetapi hal yang lebih penting adalah bagaimana Bikram memposisikan cerita-cerita tersebut untuk menunjukkan kehebatan reputasinya, seperti saat dia berkata: Bikram tak perlu memerkosa. Kalau Bikram mau, jutaan perempuan akan mengantri untuk Bikram. 

Berangkat dari pengkultusan tersebut, guru spiritual menekankan keharusan murid untuk patuh dan percaya pada sang guru. Tanpa kepercayaan, ilmu tidak akan bisa ditularkan. Hal ini juga yang menjadi masalah kala terjadi kasus kekerasan seksual seperti misalnya yang terjadi di Shiddiqiyah oleh Moch. Subchi Azal Tsani atau Bechi. Bechi mengatakan akan mentransfer ilmu "metafakta" pada beberapa santri perempuan dan disitulah manipulasi terjadi. Murid dilarang untuk mempertanyakan apalagi melawan segala langkah yang dipraktikkan oleh gurunya. Dalam yoga, bahkan persentuhan tubuh lebih dimungkinkan karena misalnya, guru mesti mengoreksi postur dari murid. 

Disinilah mengapa pandangan "Barat" terkadang ada benarnya soal sikap egaliter. Memang ada yang dinamakan guru, dosen, pengajar, atau apapun itu, tetapi posisinya menjadi lebih tinggi hanya dalam tataran pemikiran ataupun perannya dalam "teater akademik". Secara sosok, kita bisa saja mengagumi, sekurang-kurangnya sebagai opinion leader, tetapi tak perlu dikultuskan, tak perlu kemudian terdapat taklid buta sehingga apapun yang muncul dari mulutnya adalah kebenaran. 

Lagipula, sosok adalah semacam kesementaraan. Seseorang bisa mempesona, tetapi bisa lama-lama meluntur, tak lagi cemerlang, karena keterikatannya pada tubuh dan dunia. Seseorang akan mati, tak lagi bisa dikagumi kecuali pikiran dan jasa yang ditinggalkannya. Disinilah beberapa pikiran "Barat" lagi-lagi jeli dalam upayanya menghapus subjek. Subjek bukan lagi manifestasi dari "aku yang berhasil menjadi tuan atas diriku sendiri", melainkan tak lebih dari pion-pion dari struktur yang lebih besar. Subjek terhapuskan dalam jejak sejarah, subjek terhapuskan dalam kuasa jejaring yang tak bisa dilawan, kecuali melalui gedoran pemikiran demi pemikiran. "Barat", langsung tak langsung, mengajarkan kita untuk menghilangkan taklid buta, pengkultusan, dan penyembahan terhadap figur tak perlu yang keberadaannya bersifat impermanen. 

Mungkin mereka yang sinis akan berkata: "Tapi kalian juga menyembah Sokrates, Plato, dan Aristoteles!" Oh tidak, pembacaan terhadap filsuf bukanlah kultus individu. Pembacaan ini dilakukan secara kritis tanpa harus takut oleh dosa atau hukuman atas pembangkangan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me