Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Guru Spiritual

 

 

Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. 

Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dalam gelagat Bikram, ia nampak delusional, memandang dirinya sebagai orang yang dipuja-puja. Bikram mengaku jarang tidur, jarang makan, dan mengklaim diri sebagai orang "paling spiritual". Dengan demikian, terdapat bayangan bahwa dirinya berada di atas manusia lain, mungkin semacam "titisan dewa". Bikram membumbui "ke-dewa-an"-nya tersebut dengan misalnya, pernah mengajar presiden Nixon, George Harrison, dan seleb lainnya. Mungkin saja omongan Bikram ada benarnya, tetapi hal yang lebih penting adalah bagaimana Bikram memposisikan cerita-cerita tersebut untuk menunjukkan kehebatan reputasinya, seperti saat dia berkata: Bikram tak perlu memerkosa. Kalau Bikram mau, jutaan perempuan akan mengantri untuk Bikram. 

Berangkat dari pengkultusan tersebut, guru spiritual menekankan keharusan murid untuk patuh dan percaya pada sang guru. Tanpa kepercayaan, ilmu tidak akan bisa ditularkan. Hal ini juga yang menjadi masalah kala terjadi kasus kekerasan seksual seperti misalnya yang terjadi di Shiddiqiyah oleh Moch. Subchi Azal Tsani atau Bechi. Bechi mengatakan akan mentransfer ilmu "metafakta" pada beberapa santri perempuan dan disitulah manipulasi terjadi. Murid dilarang untuk mempertanyakan apalagi melawan segala langkah yang dipraktikkan oleh gurunya. Dalam yoga, bahkan persentuhan tubuh lebih dimungkinkan karena misalnya, guru mesti mengoreksi postur dari murid. 

Disinilah mengapa pandangan "Barat" terkadang ada benarnya soal sikap egaliter. Memang ada yang dinamakan guru, dosen, pengajar, atau apapun itu, tetapi posisinya menjadi lebih tinggi hanya dalam tataran pemikiran ataupun perannya dalam "teater akademik". Secara sosok, kita bisa saja mengagumi, sekurang-kurangnya sebagai opinion leader, tetapi tak perlu dikultuskan, tak perlu kemudian terdapat taklid buta sehingga apapun yang muncul dari mulutnya adalah kebenaran. 

Lagipula, sosok adalah semacam kesementaraan. Seseorang bisa mempesona, tetapi bisa lama-lama meluntur, tak lagi cemerlang, karena keterikatannya pada tubuh dan dunia. Seseorang akan mati, tak lagi bisa dikagumi kecuali pikiran dan jasa yang ditinggalkannya. Disinilah beberapa pikiran "Barat" lagi-lagi jeli dalam upayanya menghapus subjek. Subjek bukan lagi manifestasi dari "aku yang berhasil menjadi tuan atas diriku sendiri", melainkan tak lebih dari pion-pion dari struktur yang lebih besar. Subjek terhapuskan dalam jejak sejarah, subjek terhapuskan dalam kuasa jejaring yang tak bisa dilawan, kecuali melalui gedoran pemikiran demi pemikiran. "Barat", langsung tak langsung, mengajarkan kita untuk menghilangkan taklid buta, pengkultusan, dan penyembahan terhadap figur tak perlu yang keberadaannya bersifat impermanen. 

Mungkin mereka yang sinis akan berkata: "Tapi kalian juga menyembah Sokrates, Plato, dan Aristoteles!" Oh tidak, pembacaan terhadap filsuf bukanlah kultus individu. Pembacaan ini dilakukan secara kritis tanpa harus takut oleh dosa atau hukuman atas pembangkangan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat