Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Pengintip

 

Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti"). 

Itulah kisah tentang seorang pengintip (voyeur) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya karena pengakuan seorang pengintip yang diangkat ke publik, melainkan juga perkara nilai kebenaran dalam jurnalisme. Talese adalah jurnalis berpengalaman yang dalam bentangan karirnya yang panjang, kerap terjun langsung pada objek yang diinvestigasinya. Misalnya, dalam bukunya yang menghebohkan tahun 1981 berjudul Thy Neighbor's Wife, Talise meriset kehidupan seks komunitas nudis di Sandstone Retreat. Talise mengakui bahwa ia terlibat penuh dalam aktivitas komunitas tersebut. Termasuk seks dengan banyak orang. 

Dalam Voyeur's Motel, buku tentang si pengintip, Talise tampak terpesona oleh kisah hidup Foos hingga tak merasa perlu untuk kroscek ke sumber-sumber lain. Dalam prinsip jurnalisme kita tahu, kebenaran semestinya tidak bersumber dari satu pihak saja, melainkan mesti berimbang. Namun di sisi lain, Talise juga sekaligus sedang membuat karya jurnalistik yang sebisa mungkin laku di pasaran. Atas dasar itu, bumbu-bumbu cerita, entah itu benar atau tidak, bisa sangat menjual meskipun harus mengabaikan prinsip akurasi dalam jurnalisme. Kita tidak akan terlalu masuk ke sana karena akan jatuh menjadi spoiler

Hal lebih memikat untuk dibahas adalah kegiatan mengintip itu sendiri. Mengintip adalah suatu aktivitas mengobjekkan. Membuat seseorang memiliki kuasa dalam menatap gerak gerik orang lain, terkadang secara sangat mendetail, tanpa bisa ditatap balik. Kita tidak perlu mengidentikkan kegiatan mengintip secara spesifik melalui lubang kecil. Ketika kita memperhatikan retsleting celana guru saat ia sedang mengajar, kita pun sedang mengintip. Pasalnya, guru tersebut tidak sedang menampilkan celananya untuk diobjektivitasi. Dia mungkin sedang ingin murid-murid memperhatikan dia bicara, tetapi tanpa ia sadari, ada murid yang begitu mengamati hal lain dari yang diinginkan sang guru. Begitulah kira-kira apa yang dinamakan aktivitas mengintip itu. 

Mengintip juga adalah semacam perilaku seksual. Dalam kuasa tatapan, kita bisa mengobjekkan orang yang diintip untuk dibayangkan sesuai kemauan kita. Kita mendapatkan semacam kepuasaan dalam melihat objek yang "tak berdaya" dalam artian tak mampu merespons, tak mampu membalas. Kebiasaan mengintip ini dapat sekaligus menjelaskan mengapa kita sering kepo di media sosial atau menikmati kehidupan selebriti di televisi. Kita bukan hanya sekadar memperoleh informasi, tetapi mendapatkan kepuasan dari informasi yang "tak berdaya" tersebut. Contoh lainnya, kita senang melakukan pengrujakan di Twitter atau X karena seseorang yang dirujak itu berada dalam kuasa pikiran kita, yang setiap usaha korban rujakan untuk membalas, malah akan mendapat serangan tambahan bertubi-tubi. 

Maka itu kita bisa saja menghakimi Foos sebagai manusia cabul yang berbahaya, membuat siapapun menjadi was-was berada di tempat tertutup karena potensi pemilik hotel yang bisa mengintip. Namun bukan si pengintip kadang yang berusaha mencari-cari objek untuk dilihat. Objek itu sendirilah yang mengekspos dirinya untuk diintip. Dalam sebuah istilah, kita kerap menyebutnya sebagai eksibisionis. Dalam dunia hari ini, kita senang mengintip dan diintip. Kita punya semacam fetish untuk dilihat dalam ketakberdayaan. Kita menuding Foos sebagai pervert, tapi kita juga cukup pervert untuk mengundang "Foos" memuaskan hasratnya.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1