Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Pengintip

 

Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti"). 

Itulah kisah tentang seorang pengintip (voyeur) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya karena pengakuan seorang pengintip yang diangkat ke publik, melainkan juga perkara nilai kebenaran dalam jurnalisme. Talese adalah jurnalis berpengalaman yang dalam bentangan karirnya yang panjang, kerap terjun langsung pada objek yang diinvestigasinya. Misalnya, dalam bukunya yang menghebohkan tahun 1981 berjudul Thy Neighbor's Wife, Talise meriset kehidupan seks komunitas nudis di Sandstone Retreat. Talise mengakui bahwa ia terlibat penuh dalam aktivitas komunitas tersebut. Termasuk seks dengan banyak orang. 

Dalam Voyeur's Motel, buku tentang si pengintip, Talise tampak terpesona oleh kisah hidup Foos hingga tak merasa perlu untuk kroscek ke sumber-sumber lain. Dalam prinsip jurnalisme kita tahu, kebenaran semestinya tidak bersumber dari satu pihak saja, melainkan mesti berimbang. Namun di sisi lain, Talise juga sekaligus sedang membuat karya jurnalistik yang sebisa mungkin laku di pasaran. Atas dasar itu, bumbu-bumbu cerita, entah itu benar atau tidak, bisa sangat menjual meskipun harus mengabaikan prinsip akurasi dalam jurnalisme. Kita tidak akan terlalu masuk ke sana karena akan jatuh menjadi spoiler

Hal lebih memikat untuk dibahas adalah kegiatan mengintip itu sendiri. Mengintip adalah suatu aktivitas mengobjekkan. Membuat seseorang memiliki kuasa dalam menatap gerak gerik orang lain, terkadang secara sangat mendetail, tanpa bisa ditatap balik. Kita tidak perlu mengidentikkan kegiatan mengintip secara spesifik melalui lubang kecil. Ketika kita memperhatikan retsleting celana guru saat ia sedang mengajar, kita pun sedang mengintip. Pasalnya, guru tersebut tidak sedang menampilkan celananya untuk diobjektivitasi. Dia mungkin sedang ingin murid-murid memperhatikan dia bicara, tetapi tanpa ia sadari, ada murid yang begitu mengamati hal lain dari yang diinginkan sang guru. Begitulah kira-kira apa yang dinamakan aktivitas mengintip itu. 

Mengintip juga adalah semacam perilaku seksual. Dalam kuasa tatapan, kita bisa mengobjekkan orang yang diintip untuk dibayangkan sesuai kemauan kita. Kita mendapatkan semacam kepuasaan dalam melihat objek yang "tak berdaya" dalam artian tak mampu merespons, tak mampu membalas. Kebiasaan mengintip ini dapat sekaligus menjelaskan mengapa kita sering kepo di media sosial atau menikmati kehidupan selebriti di televisi. Kita bukan hanya sekadar memperoleh informasi, tetapi mendapatkan kepuasan dari informasi yang "tak berdaya" tersebut. Contoh lainnya, kita senang melakukan pengrujakan di Twitter atau X karena seseorang yang dirujak itu berada dalam kuasa pikiran kita, yang setiap usaha korban rujakan untuk membalas, malah akan mendapat serangan tambahan bertubi-tubi. 

Maka itu kita bisa saja menghakimi Foos sebagai manusia cabul yang berbahaya, membuat siapapun menjadi was-was berada di tempat tertutup karena potensi pemilik hotel yang bisa mengintip. Namun bukan si pengintip kadang yang berusaha mencari-cari objek untuk dilihat. Objek itu sendirilah yang mengekspos dirinya untuk diintip. Dalam sebuah istilah, kita kerap menyebutnya sebagai eksibisionis. Dalam dunia hari ini, kita senang mengintip dan diintip. Kita punya semacam fetish untuk dilihat dalam ketakberdayaan. Kita menuding Foos sebagai pervert, tapi kita juga cukup pervert untuk mengundang "Foos" memuaskan hasratnya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me