Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi. Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan. Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb
(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak)
Beberapa hari belakangan, dunia internasional kembali dikejutkan oleh memanasnya konflik Israel –
Palestina yang ditandai oleh serangan Hamas dari Jalur Gaza, langsung menuju keramaian warga sipil
dan juga lokasi militer strategis Israel. Ragam pemberitaan bermunculan, termasuk di media sosial,
yang menunjukkan bahwa serangan ini tergolong masif – menimbulkan reaksi berupa penetapan
“kondisi perang” oleh otoritas Israel. Respons warganet tentu terbelah, antara mereka yang
mendukung pembebasan Palestina versus mereka yang mendukung keberlangsungan negara Israel.
Perkara sejarah konflik antara Israel versus Palestina yang telah berlangsung sejak 1948 tidak perlu
diceritakan panjang lebar dalam tulisan ini. Hal yang hendak dibahas adalah pandangan filsuf Prancis
– Yahudi, Emmanuel Levinas (1906 – 1995), atas konflik Israel – Palestina. Mengapa pandangan Levinas
menarik untuk dibicarakan dalam konteks ini? Dari sisi latar belakang, Levinas memiliki sejarah kelam
terkait peristiwa holocaust. Separuh anggota keluarganya dibawa ke kamp konsentrasi dan tak pernah
kembali. Levinas selamat karena ditahan dalam status tahanan perang (Levinas adalah tentara Prancis
saat ditangkap oleh tentara Nazi Jerman) yang membuatnya tidak digiring ke kamp konsentrasi.
Hal yang lebih menarik adalah soal pemikiran Levinas sebagaimana dituliskan dalam buku pentingnya,
Totality and Infinity. Pemikiran Levinas tidak bisa dikatakan sederhana, tetapi secara garis besar, kira-
kira gagasannya berkaitan dengan “etika sebagai filsafat pertama”. Pernyataan tersebut adalah
sebentuk kritiknya terhadap Aristoteles yang menuliskan bahwa “metafisika sebagai filsafat pertama”.
Apa arti kata-kata Levinas yang menempatkan konsep etika seolah-olah di atas segalanya?
Bagi Levinas, tindakan kita pada orang lain tidak bisa ditempatkan dalam kerangka universal seolah-
olah setiap orang bisa diperlakukan dengan sama. Levinas mengajak kita untuk berempati pada “wajah
orang lain” sebagai individu yang unik dan otentik, melampaui segala konsep dan kategori kita tentang
manusia. Saat berhadapan dengan wajah orang lain itu, kita terpanggil untuk bertanggung jawab
sepenuhnya pada mereka.
Lantas, bagaimana Levinas menjawab kekejaman Nazi Jerman dalam holocaust? Tidakkah mereka
berhadapan dengan wajah-wajah yang memelas dan minta dikasihani? Mengapa masih juga terjadi
pembantaian? Bagi Levinas, di mata para eksekutor itu, wajah orang lain tidak dianggap sebagai
individu yang otentik, melainkan direduksi pada konsep-konsep universal yang ada dalam kepala
mereka, seolah-olah manusia di hadapannya ini tidak lebih dari sekadar musuh yang bertentangan
dengan ideologi partai atau negara.
Etika Levinas memberi kontribusi penting dalam filsafat karena menempatkan “orang lain” sebagai
prioritas utama dalam relasi. “Orang lain” bukanlah benar-benar “yang lain”, “orang lain” adalah “diri
kita yang lain”, bahkan ditarik ke wilayah transenden sebagai “wujud yang Ilahi”. “Orang lain” ini bukan
direduksi dari konsep, melainkan berangkat dari “wajah” sebagai titik tolak eksistensi. Etika Levinas
juga memperkenalkan gagasan tentang relasi asimetris, yakni hubungan yang tidak harus selalu
berbentuk transaksional alias “sama-sama menguntungkan”, melainkan berbasis tanggung jawab
terhadap orang lain.
Gagasan etika Levinas memberi angin segar bagi cara berpikir masyarakat modern yang dikritiknya
kerap mengobjekkan “yang lain” dalam konsep-konsep tertentu. Meski demikian, pemikiran Levinas,
sebagai seorang Yahudi, mendapat tantangan serius dalam konflik Israel – Palestina. Pertanyaannya,
bagaimana etika wajah orang lain ini bisa digunakan dalam perang berkepanjangan yang korban
jiwanya sudah begitu banyak?
Levinas pernah diundang wawancara, dua minggu setelah pembantaian di kamp pengungsian Sabra
dan Shatilla di Lebanon tahun 1982. Pada peristiwa tersebut, pihak Israel dianggap punya andil besar
dalam pembantaian ribuan warga sipil Palestina dan kelompok Palestine Liberation Organization (PLO)
yang dilakukan oleh kelompok Kristen Lebanon sebagai balasan atas dibunuhnya presiden yang baru
diangkat, Bachir Gemayel. Gemayel memang punya kedekatan dengan Israel dan kematiannya
menimbulkan reaksi keras dari otoritas Israel. Transkrip wawancara antara Shlomo Malka dan Levinas
bersama narasumber lainnya yakni Alain Finkielkrau tersebut dimuat dalam The Levinas Reader (1990)
bab Ethics and Politics.
Dalam wawancara ini, gagasan Levinas tentang “yang lain” diuji lewat pertanyaan tentang sikap Israel
terhadap Palestina. Levinas menjawab bahwa “yang lain” dapat diibaratkan sebagai tetangga. Jika kita
berpihak pada “yang lain”, kita sekaligus berpihak pada tetangga. Namun saat tetangga kita menyerang
tetangga lain atau memperlakukannya secara tidak adil, apa yang bisa kita lakukan? Levinas
melanjutkan, bahwa dalam pemahaman kita akan “yang lain” (Levinas menyebutnya juga sebagai
alteritas), kita bisa mengindentifikasi musuh, atau setidak-tidaknya, kita bisa mengetahui mana yang
benar dan mana yang salah, mana yang adil dan mana yang tidak adil. Memang di luar sana terdapat
pihak yang keliru (1990: 294).
Pernyataan Levinas tersebut terdengar kurang jelas karena tidak secara tegas mengutuk atau
mendukung Israel. Namun sudah terlihat dalam pernyataannya, bahwa dalam alteritas, kitab isa
menemukan “yang keliru” (apakah Levinas tengah menunjuk pada orang-orang Palestina?). Finkielkrau
kemudian memberikan pendapat bahwa orang-orang Yahudi, akibat penderitaan teramat hebat yang
muncul dari holocaust, merasa tidak perlu lagi diajari siapapun tentang tanggung jawab moral.
Finkielkrau menyebut sikap ini sebagai “godaan atas ketakbersalahan” (“the temptation of innocence”)
(1990: 290). Levinas berlainan pendapat dengan Finkielkrau, dengan menyebutkan bahwa
ketakbersalahan tidak membuat orang-orang Yahudi lepas dari tanggung jawab moral. Justru dengan
demikian, semestinya orang-orang Yahudi dapat lebih mampu merespons penderitaan orang lain
dengan kasih sayang dan empati.
Lagi-lagi kita belum menemukan posisi yang jelas dari Levinas terhadap kejadian pembantaian
tersebut. Dalam respons yang lain, Levinas membedakan antara etika dan politik, yang menurutnya
memiliki justifikasinya masing-masing. Apa yang dilakukan Israel, adalah tindakan politik, tetapi
sekaligus memiliki pembenaran etis, yang disebut Levinas sebagai “ide lama yang memerintahkan kita
untuk membela tetangga kita” (1990: 292). Apa yang dimaksud sebagai “tetangga” di sini tidak
dijelaskan secara gamblang, apakah mengacu pada orang Yahudi membela tetangganya sesama
Yahudi, atau orang Yahudi membela tetangganya yakni orang Palestina.
Dalam artikel berjudul The Faceless Palestinian: A History of an Error (2016) yang ditulis oleh Oona
Eisenstadt dan Claire Elise Katz, disebutkan bahwa Levinas memang sengaja menjawab pertanyaan-
pertanyaan dengan menariknya pada persoalan filosofis ketimbang langsung menyatakan dukungan
secara konkret. Hal ini menunjukkan semacam kehati-hatian dari Levinas atas berita yang waktu itu
masih agak simpang siur. Selain itu, meminjam pandangan Howard Caygill dalam Levinas and the
Political (2002), Levinas kelihatannya tengah membicarakan “yang lain” dalam perspektif yang lebih
transendental ketimbang empirikal. Artinya, lagi-lagi, Levinas enggan terjebak membicarakan
peristiwa yang tengah ramai secara terlalu detail.
Atas komentarnya yang kurang tegas dan malah agak condong ke Israel, Levinas menerima berbagai
kritik, diantaranya berasal dari Caygill sendiri, dan juga dalam tulisan Martin Jay (1990) dan Judith
Butler (2012) yang keseluruhannya dirangkum dalam artikel Eisenstadt dan Katz. Meski demikian,
Eisenstadt dan Katz berpandangan bahwa menjadi tidak adil bagi sang filsuf, jika pernyataan-
pernyataannya dalam sebuah wawancara, meruntuhkan seluruh proyek filsafatnya tentang “Yang
Lain”. Kita bisa menuduh Levinas sebagai hipokrit dan bahkan rasis, tetapi mestinya tidak berarti bahwa
gagasannya tentang etika menjadi tidak berarti sama sekali.
Pandangan Eisenstadt dan Katz ada benarnya, tetapi juga membuat kita harus mundur sejenak:
terhadap etika Levinasian yang pernah memberi harapan akan kemanusiaan, nyatanya, masih
menyisakan lubang yang berasal dari kerancuan dalam membedakan apa yang etis dan apa yang
politis. Levinas bisa menolak tindakan Nazi Jerman yang mengabaikan tindakan etis menjadi semata-
mata politis, tetapi mengapa tidak bisa berpandangan sama terhadap tindakan yang dilakukan oleh
Israel? Apakah karena bias latar belakang Levinas sendiri? Atau memang jangan-jangan, di lubuk
hatinya, Levinas beranggapan bahwa orang-orang Palestina adalah orang-orang “tanpa wajah”?
Comments
Post a Comment