Pada tanggal 21 Agustus 2024, seorang perempuan, mantan mahasiswi, menjangkau saya via DM Instagram untuk mengucapkan simpati atas hal yang menimpa saya. Singkat cerita, kami berbincang di Whatsapp dan janjian untuk berjumpa tanggal 6 September 2024 di Jalan Braga. Tidak ada hal yang istimewa. Dia sudah punya pacar dan juga memiliki mungkin belasan teman kencan hasil bermain dating apps . NK baru saja bercerai dengan membawa satu anak lelaki. Dia adalah mahasiswi yang saya ajar pada sekitar tahun 2016 di sebuah kampus swasta. Dulu saya tidak punya perhatian khusus pada NK karena ya saya anggap seperti mahasiswa yang lainnya saja. Namun belakangan memang dia tampak lebih bersinar karena perawatan diri yang sepertinya intensif. Selain itu, bubarnya pernikahan selama sebelas tahun membuatnya lebih bebas dan bahagia. Sejak pertemuan di Jalan Braga itu, saya tertarik pada NK. Tentu saja NK tidak tertarik pada saya, yang di bulan-bulan itu masih tampak berantakan dan tak stabil (fisik, ...
(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak)
Salah satu kenyataan yang sukar ditolak dalam kehidupan bernegara adalah fenomena
multikulturalisme. Secara sederhana, suatu negara dapat dikatakan memiliki aspek multikultural jika
penduduknya memiliki latar belakang kebudayaan berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat
melingkupi suku bangsa, ras, etnis, agama, adat istiadat, dan ragam lainnya. Perbedaan semacam itu,
jika tidak dikelola dengan baik, akan menjadi sumber konflik yang serius dan berkepanjangan.
Pertanyaannya, bagaimana cara mengelola multikulturalisme dalam suatu negara?
Will Kymlicka (lahir tahun 1962) adalah pemikir asal Kanada yang memfokuskan gagasannya pada
multikulturalisme, terutama hak-hak minoritas. Kymlicka menuliskan dalam bukunya yang judulnya
Multicultural Citizenship (1995) bahwa demokrasi liberal berupaya membela hak dan kemerdekaan
individu, dengan harapan bahwa usaha tersebut dengan sendirinya bisa sekaligus menyelesaikan
problem multikulturalisme dan persoalan hak pada minoritas.
Namun menurut Kymlicka, demokrasi liberal tidak mampu mengatasi tantangan tersebut. Kebebasan
individu ternyata tidak bisa begitu saja kompatibel dengan kepentingan kelompok. Bahkan
kepentingan kelompok dipandang sebagai penghalang bagi kemerdekaan orang per orang. Jadi,
bagaimana kemudian tawaran Kymlicka?
Kymlicka berpandangan bahwa negara atau otoritas jangan ragu untuk memberikan hak istimewa bagi
kelompok minoritas. Hak tersebut mencakup:
- Hak otonomi (self-government rights) yakni kebebasan politik dalam menentukan nasib sendiri. Dalam hal ini, hak otonomi dapat berupa pengelolaan suatu wilayah yang ditujukan salah satunya untuk mempertahankan budaya dari kelompok di dalamnya. Kymlicka mencontohkan hak otonomi bagi provinsi Quebec di Kanada yang 80 persen penduduknya berbicara dalam bahasa Perancis dan mempraktikkan kebudayaan Perancis (francophone).
- Hak polietnis (polyethnic rights) adalah hak yang diberikan pada kelompok tertentu untuk mengekspresikan kulturnya tanpa perlu dipertentangkan dengan budaya dominan atau hukum negara. Contoh di Indonesia adalah kebijakan tahun 2000 yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid untuk membebaskan kelompok masyarakat Tionghoa dalam menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya seperti merayakan Imlek dan Cap Go Meh.
- Hak representasi istimewa (special representation rights) adalah hak yang diberikan pada kelompok terpinggirkan supaya dapat terlibat pada pengambilan keputusan politik.
Tanpa intervensi otoritas dalam memberikan hak-hak tersebut, persaingan individu seterusnya
menjadi tidak adil terutama bagi kelompok minoritas. Meski demikian, Kymlicka juga menekankan
syarat lainnya dalam penerapan hak Istimewa bagi kelompok minoritas ini. Jangan sampai
pengistimewaan kelompok minoritas malah menyebabkan dominasi yang lebih besar seperti yang
terjadi pada politik Apartheid di Afrika Selatan antara tahun 1948 hingga 1990. Politik Apartheid
diterapkan sebagai usaha perlindungan bagi kelompok minoritas kulit putih terhadap kelompok
mayoritas Afrika yang sebenarnya merupakan penduduk asli wilayah tersebut.
Kymlicka kemudian mengajukan syarat bahwa hak-hak terhadap kelompok minoritas tersebut mesti
disertai perlindungan eksternal atau usaha suatu kelompok demi melindungi grupnya dari kelompok
lain salah satunya dengan cara menegaskan perbedaan. Hak otonomi beserta perlindungan eksternal
akan memberikan kekuasaan kepada unit politik yang lebih kecil, sehingga minoritas nasional atau
etnis tidak dapat diungguli oleh kelompok mayoritas dalam keputusan penting bagi budaya mereka,
seperti perkara pendidikan, imigrasi, pengembangan sumber daya, bahasa, dan hukum adat.
Hak polietnis beserta perlindungan eksternal melindungi praktik keagamaan dan budaya tertentu yang
mungkin tidak cukup didukung oleh pasar (misalnya, lewat pendanaan program bahasa imigran atau
kelompok seni) atau oleh peraturan (misalnya, pengecualian dari peraturan penutupan toko pada hari
Minggu atau aturan berpakaian yang bertentangan dengan keyakinan keagamaan).
Terakhir, hak representasi khusus beserta perlindungan eksternal akan membuat lebih sedikit
kemungkinan suatu minoritas nasional atau etnis diabaikan dalam keputusan yang dibuat secara
nasional (Kymlicka, 1995: 37 - 38).
Dalam kondisi ini, terang Kymlicka, tidak ada konflik berarti antara perlindungan eksternal dan hak-
hak individu di dalam kelompok minoritas. Dengan demikian, demokrasi liberal tidak perlu
berseberangan dengan kepentingan kelompok sepanjang mampu menjaga agar satu kelompok untuk
tidak mendominasi kelompok-kelompok lainnya, dan kelompok tersebut tidak diperkenan untuk
mengabaikan hak-hak dalam anggotanya sendiri.
Secara singkat, kaum liberal harus menjamin tercapainya kesetaraan di antara berbagai kelompok,
termasuk kebebasan dan kesetaraan di dalam kelompok tersebut (Kymlicka, 1995: 194). Dengan cara
ini, pembelaan terhadap minoritas dapat justru memajukan cakupan pemikiran dalam demokrasi
liberal itu sendiri. Kymlicka menawarkan solusi ini sebagai upaya mengatasi konflik multikulturalisme
dalam negara yang memiliki beragam suku bangsa maupun etnis.
Referensi:
Kymlicka, W. (1995). Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights. Oxford University
Press.
Comments
Post a Comment