Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi. Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan. Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb
(Diambil dari buku Pengantar Ilmu Politik untuk Semua Orang [Ultimus, 2024] yang ditulis bersama M. Fauzi A. Rachman)
John Rawls adalah (1921-2002) adalah pemikir Amerika Serikat yang kerap disebut-sebut sebagai filsuf politik paling berpengaruh di abad ke-20 (Williamson, 2012). Dalam bukunya yang berjudul A Theory of Justice (1971), Rawls menawarkan gagasan tentang keadilan sosial yang berangkat dari bayangan akan kondisi asali atau posisi original (original position). Posisi original ini mengandaikan bahwa semua orang tidak mempunyai informasi apapun satu sama lain tentang kedudukannya dalam masyarakat, baik posisi kelas atau status sosialnya, juga tiada satupun yang tahu perkara distribusi sumber daya pada setiap orang, dan juga tidak ada yang mengetahui kemampuan seperti kecerdasan, kekuatan, dan semacamnya (Rawls, 1971: 12). Dalam kondisi orang-orang yang berada di balik selubung ketidaktahuan (veil of ignorance) seperti ini, Rawls seolah mengajukan pertanyaan, kira-kira prinsip keadilan apa yang sebaiknya dianut?
Menurut Rawls, jika orang tidak memiliki pengetahuan tentang satu sama lain (termasuk dirinya sendiri), tidak akan dirumuskan suatu prinsip keadilan yang menguntungkan salah satu pihak saja. Sebagai ilustrasi, jika seseorang mengetahui dirinya lahir dari keluarga kaya, maka prinsip keadilan yang dirumuskan kemungkinan dibuat agar kekayaan keluarganya tetap dipertahankan. Contoh lainnya, jika suatu kelompok tahu bahwa dirinya sedang berkuasa, maka prinsip keadilan yang ditawarkan kemungkinan digagas demi melanggengkan kekuasaan kelompoknya. Untuk menghindari kecenderungan semacam itu, Rawls menawarkan prinsip keadilan yang mengacu pada prinsip yang setimpal bagi semua orang (justice as fairness).
Berangkat dari prinsip tersebut, Rawls mengajukan dua maksim teori keadilannya yaitu pertama, prinsip kebebasan dasar (basic liberties principle/ the greatest equal liberty principle). Dalam prinsip kebebasan dasar, Rawls menyerukan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas yang dapat dicocokkan dengan kebebasan-kebebasan sejenis untuk semua orang (Rawls, 1999: 266).
Untuk memahami maksim pertama tersebut, bayangkan seorang diktator yang memiliki kebebasan untuk melakukan banyak hal seperti mengeksekusi orang yang dianggap bersalah, melarang warganya untuk berkumpul, atau mengintimidasi lawan-lawan politiknya. Kebebasan semacam itu tidak dibenarkan oleh Rawls karena diperoleh dari pembatasan atas kebebasan orang lain. Kebebasan dasar, seperti kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan kebebasan dari ancaman, mestinya menjadi hak semua orang tanpa kecuali. Hanya dengan menjamin kebebasan dasar, setiap orang menjadi punya kesempatan yang sama untuk mendapat pekerjaan yang cocok bagi dirinya, menikmati layanan kesehatan, memilih partai politik yang sesuai dengan aspirasinya, atau memeluk agama.
Maksim kedua adalah prinsip perbedaan (different principle) yang menyatakan bahwa ketidaksamaan dalam hal sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga (1) menguntungkan terutama bagi orang-orang yang lebih tidak beruntung dan (2) melekat pada jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang dalam keadaan yang menjamin persamaan peluang secara setimpal (Rawls, 1999: 266).
Untuk memahami poin (1), lebih mudah jika kita membayangkan distribusi kekayaan. Bagi Rawls, suatu masyarakat disebut mengalami ketimpangan serius jika terdapat segelintir orang memiliki kekayaan berlimpah, sementara banyak orang lainnya hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka yang lebih kaya ini, sudah seharusnya mendistribusikan kekayaannya pada mereka yang lebih tidak beruntung. Kita bisa menemukan contoh penerapan prinsip Rawlsian ini salah satunya dalam bentuk kebijakan pajak progresif. Dalam sistem pajak progresif, semakin tinggi pendapatan atau kekayaan seseorang, semakin tinggi pula persentase pendapatan yang harus dibayarkan sebagai pajak. Pandangan Rawls menjadi masuk akal jika hasil pajak tersebut kemudian digunakan untuk kepentingan publik secara lebih luas seperti layanan kesehatan, transportasi umum hingga sekolah gratis.
Rawls tidak hanya membatasi gagasan distribusinya pada aspek ekonomi, melainkan pada hal lain yang lebih luas secara sosial. Itulah dasar kita dalam memahami prinsip dalam poin (2). Mereka yang lebih tidak beruntung sudah seharusnya secara terbuka mendapatkan kesempatan yang sama dalam menempati segala jabatan dan posisi. Seseorang harusnya punya kesempatan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya, tanpa misalnya, dibatasi oleh syarat minimal usia atau asal lulusan kampus tertentu secara spesifik. Siapapun dapat mewakili kelompoknya untuk duduk di parlemen selama memang representatif tanpa perlu dibatasi syarat-syarat bahwa anggota legislatif mesti berasal dari kalangan pengusaha, tentara, atau akademisi. Siapa saja, termasuk kelompok disabilitas, dapat mengakses fasilitas publik tanpa diskriminasi, termasuk berprestasi dalam bidang olahraga dan pendidikan. Setiap orang, tanpa kecuali, berhak menuntut haknya jika memang terjadi ketidakadilan, tidak peduli apakah orang tersebut berasal dari kelompok miskin.
Rawls menekankan kembali bahwa prinsip-prinsip keadilan semacam itu hanya mungkin terjadi jika membayangkan masing-masing orang saling tidak memiliki pengetahuan tentang kekayaan maupun kedudukannya. Jika seseorang tahu bahwa dirinya memiliki jabatan politik yang tinggi dan maka itu terbuka peluang untuk bisa melakukan korupsi, mungkin dia akan mengusulkan suatu prinsip keadilan yang berpihak bagi dirinya dan kelompoknya. Misalnya, dengan mengamputasi peran lembaga pemberantasan korupsi atau menolak pemberlakuan undang-undang perampasan aset.
Pemikiran Rawls menimbulkan perdebatan luas. Salah satunya berupa kritik tajam dari Robert Nozick (1938-2002) yang ditulis dalam buku berjudul Anarchy, State, and Utopia (1974). Nozick mengajak kita untuk menimbang prinsip keadilan berdasarkan hak atas properti (property rights). Hak atas properti ini, lanjut Nozick, berasal dari perolehan awal (initial acquisition) dan pemindahan hak (transfer). Nozick hendak mengatakan bahwa hak atas properti tidak bisa begitu saja dipindahkan atas nama pemerataan. Lebih lanjut, keadilan adalah soal menghormati hak milik, soal membiarkan orang bebas melakukan apa pun yang mereka kehendaki terhadap hak milik mereka.
Pada kritik berikutnya, Nozick melihat bahwa kesenjangan adalah hal yang mesti dihindari dalam prinsip keadilan Rawls. Bagi Nozick, kita tidak pernah benar-benar tahu tentang kesenjangan hanya dari data-data seperti 2% populasi menguasai 50% kekayaan dunia atau 50% populasi menguasai 2% kekayaan dunia. Nozick beranggapan bahwa angka-angka itu tidak menunjukkan adil atau tidak adilnya suatu prinsip. Pada kritik lainnya, Nozick beranggapan bahwa Rawls sedang membuat pola tertentu dalam keadilan distributif (patterned principle of justice). Untuk mewujudkan pola semacam itu, diperlukan campur tangan pemerintah yang ketat dan hal demikian malah bertentangan dengan prinsip kebebasan.
Pada pokoknya, Nozick hendak mengatakan bahwa persoalan tuntutan keadilan bukanlah terletak di tangan orang-orang yang memiliki hak milik atau bahkan negara (Nozick menolak campur tangan negara yang terlalu jauh dalam penyelenggaraan keadilan). Setiap orang, dengan hak miliknya, berhak melakukan apapun yang dirasa perlu.
Comments
Post a Comment