Ilustrasi dihasilkan oleh AI Ada macam-macam pengandaian untuk manusia tertentu yang dianggap tak-lagi-seperti-manusia. Dalam sebuah pertarungan UFC (contoh ini dipilih karena saya sering menontonnya di Youtube), misalnya, seorang petarung yang begitu ganas dalam melancarkan pukulan dan bantingan bisa diibaratkan oleh komentator "seperti hewan". Mungkin karena petarung tersebut begitu "kehilangan akal", memanfaatkan hanya nalurinya untuk menerkam, memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk menghabisi mangsa. Ada juga perandaian lain yang non-manusia, yaitu mesin. Menyebut manusia sebagai mesin sama-sama memperlihatkan "kehilangan akal", tetapi lebih menunjuk pada suatu gerakan otomat, kadang repetitif, yang kelihatannya bisa dilakukan berulang-ulang tanpa mengenal rasa lelah. Mungkin bisa dibayangkan pada Cristiano Ronaldo muda yang larinya begitu kencang atau petinju yang bisa menghujamkan pukulan terus menerus seolah-olah dia diprogram demikian. Tubuh adalah ...
(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak)
Michel Foucault (1926 – 1984) adalah pemikir asal Prancis yang memfokuskan kajiannya pada konsep
power atau kuasa. Saat kita membicarakan kuasa, apa yang kita bayangkan? Kemungkinan kita
membayangkan sosok seperti bos, penguasa, atau pemimpin militer yang memberi instruksi bagi
bawahannya.
Tipe kuasa semacam itu memang jelas adanya, tetapi hanya salah satu jenis saja dari bermacam-
macam jenis kuasa. Kuasa seperti demikian digolongkan Foucault sebagai kuasa berdaulat (sovereign
power). Dalam artikel ini, kita akan membicarakan analisis Foucault terhadap jenis kuasa yang lain
yakni kuasa pendisiplinan (disciplinary power). Tidak seperti kuasa berdaulat yang dibayangkan berasal
“dari atas ke bawah”, kuasa pendisiplinan bisa juga muncul “dari bawah ke atas” dan bahkan berlaku
secara horizontal.
Kuasa pendisiplinan pertama-tama mesti dipahami sebagai kuasa yang bekerja pada level individu
(Foucault, 2006: 75), lebih persisnya, pada tubuh individu (Foucault, 2006: 14). Foucault menekankan
bahwa kuasa pendisiplinan ini bekerja dengan cermat, menyeluruh, dan terus menerus dalam rangka
menjadikan tubuh lebih patuh dan berguna (Hoffman, 2010: 28).
Kerja kuasa pendisiplinan ini salah satunya dilakukan dengan cara mengelompokkan individu-individu
lewat apa yang disebut sebagai “seni penyebaran” (“the art of distributions”). Seni penyebaran
dipraktikkan misalnya dengan keberadaan sekat atau dinding pemisah pada pabrik atau barak
(Foucault, 1979: 141 - 143). Pemisah ini difungsikan untuk menghindari aktivitas beramai-ramai yang
bisa membawa pada kegiatan yang merugikan seperti mogok atau keluyuran.
Kuasa pendisiplinan tentu harus berlangsung secara kontinyu agar tubuh terjaga kepatuhannya.
Pertanyaannya, bagaimana agar membuat tubuh terus-terusan menjadi taat? Foucault kemudian
menganalisis tiga teknik yaitu observasi hierarkis (hierarchical observation), penilaian penormalan
(normalizing judgement), dan pemeriksaan (the examination).
Tentang observasi hierarkis, Foucault memberi contoh bagaimana pengawasan terhadap pasien rumah
sakit jiwa pada awal abad ke-19 tidak hanya dilakukan oleh dokter, tapi juga oleh para pengawas dan
pelayan yang sekaligus bertugas mengumpulkan informasi tentang pasien untuk dilaporkan pada
dokter (Foucault, 2006: 4 - 6).
Contoh tersebut tidak serta merta menunjukkan bahwa pengawasan hanya berlangsung “dari atas ke
bawah” (dokter pada pasien melalui pengawas dan pelayan). Foucault mengingatkan bahwa kuasa
bekerja dari berbagai arah, termasuk dari pasien pada pengawas dan pelayan, pengawas dan pelayan
pada dokter, atau diantara para pengawas dan pelayan itu sendiri. Inilah yang dimaksud hierarki dalam
versi Foucault, yakni tingkatan yang ditentukan bukan dari pekerjaan atau status sosial, melainkan
tentang siapa yang diawasi dan siapa yang mengawasi.
Teknik berikutnya adalah penilaian penormalan. Tubuh tidak hanya harus bisa diawasi, tapi juga
memungkinkan untuk dinilai. Penilaian ini dapat memutuskan tentang tubuh mana yang berlaku sesuai
“norma” dan mana yang menyimpang sehingga perlu didisiplinkan. Penting untuk diingat bahwa
“norma” dalam pengertian Foucault ini mengacu pada standar pemberlakuan mana yang dipandang
“normal” dan mana yang dianggap “abnormal”. Perumusan yang “normal” dilakukan terlebih dahulu
demi memberikan penilaian sekaligus dasar pengoreksian bagi mereka yang “abnormal” (Hoffman,
2010: 32).
Teknik selanjutnya, yakni pemeriksaan, adalah ujung dari penerapan teknik observasi hierarkis dan
penilaian kenormalan (Foucault, 1979: 184). Dalam pemeriksaan, segala bentuk pendisiplinan harus
bisa dilihat keseluruhan hasilnya, seperti ribuan tentara yang berbaris rapi di lapangan dan dipandang
dari kejauhan oleh pemimpin negara atau transkrip akademik mahasiswa yang dipelajari oleh dosen
wali. Barisan tentara dan transkrip akademik adalah buah penerapan kuasa pendisiplinan yang pada
akhirnya dapat dimonitor dan diukur.
Penting untuk diketahui bahwa argumen Foucault tentang kuasa tidak diarahkan pada penilaian bahwa
kuasa itu sesuatu yang positif atau negatif. Foucault hanya mengurai tentang bagaimana kekuasaan
bekerja. Bahkan Foucault tidak menawarkan solusi atau cara-cara dalam melawan kekuasaan itu.
Pandangan demikian berbeda dengan pemikir seperti misalnya Antonio Gramsci yang menawarkan
semacam metode untuk melakukan kontra hegemoni.
Referensi:
- Foucault, M. (1979). Discipline and Punish: The Birth of the Prison (A. Sheridan, Trans.). New York: Vintage.
- Foucault, M. (2006). Psychiatric Power: Lectures at the Collège de France 1973-1974 (J. Lagrange, Ed., G. Burchell, Trans.). Basingstoke: Palgrave Macmillan.
- Hoffman, M. (2010). Disciplinary power. In D. Taylor (Ed.), Michel Foucault: Key Concepts (pp. 27–40). chapter, Acumen Publishing.
Comments
Post a Comment