Ilustrasi dihasilkan oleh AI Ada macam-macam pengandaian untuk manusia tertentu yang dianggap tak-lagi-seperti-manusia. Dalam sebuah pertarungan UFC (contoh ini dipilih karena saya sering menontonnya di Youtube), misalnya, seorang petarung yang begitu ganas dalam melancarkan pukulan dan bantingan bisa diibaratkan oleh komentator "seperti hewan". Mungkin karena petarung tersebut begitu "kehilangan akal", memanfaatkan hanya nalurinya untuk menerkam, memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk menghabisi mangsa. Ada juga perandaian lain yang non-manusia, yaitu mesin. Menyebut manusia sebagai mesin sama-sama memperlihatkan "kehilangan akal", tetapi lebih menunjuk pada suatu gerakan otomat, kadang repetitif, yang kelihatannya bisa dilakukan berulang-ulang tanpa mengenal rasa lelah. Mungkin bisa dibayangkan pada Cristiano Ronaldo muda yang larinya begitu kencang atau petinju yang bisa menghujamkan pukulan terus menerus seolah-olah dia diprogram demikian. Tubuh adalah ...
Di foodcourt, seluruh kompleksitas tersedia. Ada bos tenant halu yang mengklaim dirinya punya kekayaan 35 milyar, ada ibu pemilik sebuah dagangan yang mengaku tak cinta pada suaminya dan memilih untuk memadu kasih bersama pria dari masa lalunya, ada ibu solehah yang tekun membaca Herodotus, ada pasangan pedagang yang tak kunjung menikah karena beda agama, ada pekerja yang memiliki kekhasan orientasi seksual yang dalam desakan hari-hari kerja memaksa untuk libur satu hari saja demi meluapkan hasrat seksualnya, dan ada saya, yang oleh sebagian dari mereka dipanggil "si dosen", yang mengalami suatu pencerahan, karena akhirnya bergulat penuh dengan pengalaman manusia, setelah sekian lama berada di menara gading, berkutat dengan konsep bernama Kemanusiaan.
Saya sekarang paham bahwa ada interseksi antara kata-kata Dostoevsky yang kurang lebih berisi "Semakin saya cinta kemanusiaan secara umum, semakin sulit saya untuk cinta pada orang per orang," dan gagasan Levinas tentang orang lain, yang dengan wajahnya tampil ke hadapan kita, senantiasa mengusik kita, membuat kita terdesak untuk bersikap etis, mendahului segala hal yang bersifat metafisis.
Dalam pertemuan demi pertemuan yang melibatkan kompleksitas itu, seringkali konsep-konsep tentang etika buyar seketika. Tak mudah mengatakan si ini salah, si itu dosa, karena tak semua manusia punya cukup privilese untuk berkehendak menentukan nasibnya sendiri.
Selama ini saya berlindung di balik tembok intelektualitas, yang dengan arogan berbicara tentang Kemanusiaan dari ketinggian, tanpa benar-benar bertemu wajah dalam-dalam, yang di sana dapat ditemukan: Tuhan hadir sekaligus tidak. Hadir dalam artian, Tuhan konon menyayangi kita semua, dengan cara-cara yang tak selalu kita mengerti, termasuk lewat nasib-nasib yang dari sudut pandang manusia kadang begitu tragis.
Sekaligus tidak hadir dalam artian, bahwa tak selalu ada moral adiluhung yang dapat dijadikan sandaran, ketika hidup begitu sulit dijalani, sehingga terasa bahwa apapun boleh. Kompas moral hanyalah bagaimana caranya supaya bisa tetap hidup, meski tak ada lagi alasan yang bagus.
Dalam wajah-wajah yang ditemui setiap hari, yang di dalamnya, secara konseptual, tak punya jalan keluar, aku berharap dengan penuh lirih, supaya tak ada keinginan dalam diriku untuk menjadi penyelamat yang arogan itu. "Si dosen" justru tengah diselamatkan, dari godaan mewartakan Kemanusiaan, untuk sekarang berada di tengah manusia, tenggelam bersama manusia.
Comments
Post a Comment