(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
Tentang Paris: Invisible City
Paris Ville Invisible terbit tahun 1998 dan merupakan karya kolaboratif Bruno Latour dan fotografer Emilie Hermant. Paris Ville Invisible kemudian diterjemahkan oleh Liz Carey-
Libbrecht pada tahun 2006 dengan judul Paris: Invisible City. Terdapatnya banyak foto dalam buku tersebut (ditambah format cetakannya yang eksklusif dan berwarna) membuat Paris:
Invisible City dalam versi original sekilas terkesan seperti katalog pariwisata ketimbang sebuah karya filsafat. Gerard de Vries menyebut karya Latour tersebut sebagai karya yang
“un-philosophical”, tetapi penting untuk dibaca dalam rangka memahami cara kerja Latour dalam merumuskan gagasan-gagasan filsafatnya (De Vries, 2016: 5).
Hal apa yang dibahas Latour dalam Paris: Invisible City? Pada karyanya ini, Latour mencoba menjawab pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan “menangkap Paris dalam sekali
pandang” (capture all of Paris in a single glance). Latour kemudian mengawali teksnya ini dengan deskripsinya tentang Samaritaine, pusat perbelanjaan raksasa di Paris yang
mengklaim bahwa setiap pendatang, jika pergi ke atas gedung, dapat melihat seluruh Paris. Latour tidak memungkiri bahwa sebagian panorama Paris terlingkupi dari atas Samaritaine,
tetapi tetap saja ada bagian-bagian tertentu yang tak terlihat (Latour & Hermant, 2006: 2).
Latour tidak puas dengan kunjungannya ke Samaritaine, ia kemudian beralih pada permainan
virtual berjudul Second World. Pada gim tersebut, kita bisa menemukan berbagai macam objek di kota Paris dan semuanya tampak cukup realistis. Namun Second World adalah ruang
virtual yang tidak menggambarkan seluruh realitas kota Paris beserta warga di dalamnya. Orang-orang di kota Paris terbuat dari darah dan daging, dengan segala dinamika sosialnya.
Lagi-lagi Latour merasa bahwa Second World juga tidak mampu “menangkap Paris dalam sekali pandang”.
Bagaimana dengan foto satelit? Bukankah kita bisa melihat seisi kota dari mata satelit? Jalan-jalannya, sungai Seine, gedung bersejarah, halaman yang teduh, taman-taman pribadi, jalan raya yang memotong petak-petak di perkotaan, lokasi-lokasi pembangunan. Itukah seluruh Paris? Tentu saja bukan, kita tidak bisa melihat apa-apa tentang Paris dalam peta tersebut, tidak dalam bentuk yang detail (Latour & Hermant, 2006: 8). Setelah berkunjung ke tempat lainnya seperti stasiun metro Abesses, perusahaan suplai air SAGEP, Ecole de Mines, The Ordinance Survey Department,
dan beberapa lainnya, pertanyaan Latour tetap tidak terjawab. Realitas kota Paris tidak dapat
ditangkap dalam sekali pandang kecuali lewat usaha untuk membuatnya terlihat dari para
kartografer, teknisi, dan pegawai sipil (De Vries, 2016: 7).
Untuk mempertajam analisisnya, Latour kemudian masuk lebih dalam dengan mengunjungi
departemen biologi di École de Physique et Chimie de Paris. Di tempat tersebut, Latour
meneliti bagaimana para saintis mengkaji tentang saraf tikus. Latour menemukan bahwa hal
tentang saraf tikus (anatomi, potensi elektris, dan biokimia molekuler dari saraf) memang
dapat ditemukan dalam “sekali pandang” di laboratorium, tetapi Latour juga sekaligus
mengajak kita untuk mengamati prosesnya: untuk menghasilkan simpulan tentang saraf tikus,
kepala tikus harus dipenggal, otaknya diambil, dipotong di bagian tertentu, ditempatkannya
dalam mikroskop, dan berbagai tahapan lainnya. Latour hendak mengatakan bahwa dalam
usaha mengobservasi fenomena dan menjabarkan fakta, realitas itu sendiri harus dibuat
sedemikian rupa supaya “tampak” (De Vries, 2016: 36).
Apa yang Hendak Dikatakan Latour?
“Aktivitas saraf yang menyerupai saraf, tidak lebih dari lembar tagihan di Café de Flore yang menyerupai secangkir kopi ...” (Latour & Hermant, 2006: 22)
Hal pertama yang bisa kita bicarakan tentang Paris: Invisible City adalah metode Latour dalam merumuskan gagasan filosofis yang bermula dari riset etnografis. Latour tidak berfilsafat “dari balik meja sambil bertopang dagu”, melainkan turun ke lapangan, mewawancarai orang-orang, mengamati setiap peristiwa dengan sungguh-sungguh dan mencatatnya (De Vries, 2016: 8). Pada titik inilah kita menyebut Latour sebagai filsuf empiris karena cara berpikirnya yang kerap berangkat dari hal-hal yang teramati.
Berangkat dari studi lapangannya ke sejumlah tempat di kota Paris, Latour mula-mula mengajukan persoalan filosofis: Dari sudut pandang mana kita dapat melihat struktur sejati dari realitas? Namun pertanyaan tersebut ternyata keliru, karena dari sudut pandang manapun, struktur dari realitas tidak pernah tampak dalam wujudnya yang sejati, melainkan senantiasa berupa penampakan-penampakan yang sifatnya parsial. Struktur dari realitas kota Paris tidak ditemukan secara sempurna dari atas Samaritaine, pun dari foto citra satelit atau permainan Second World.
Berangkat dari bagaimana Latour mengamati proses penelitian atas saraf tikus École de Physique et Chimie de Paris, maka pertanyaan filosofinya diubah: Bagaimana struktur realitas dibuat tampak dan apakah penampakannya tersebut berkorespondensi dengan realitas? Apakah saraf tikus yang telah diteliti sedemikian rupa kemudian dimuat di jurnal ilmiah adalah benar-benar saraf tikus yang sebenarnya? Apakah tagihan secangkir kopi di Café de Flore adalah berkorespondensi dengan secangkir kopi yang sebenarnya? Apakah panorama Paris dari atas gedung Samaritaine adalah benar-benar Kota Paris yang sejati?
Di sinilah Latour hadir dengan gagasannya tentang “realitas yang dibuat tampak”. Realitas tidak pernah hadir dalam penampakannya yang sejati, melainkan mesti dibuat tampak. Paris dibuat tampak oleh tidak hanya orang-orang yang berkepentingan dengannya, tapi juga orang yang menjalani kehidupan dengan apa-adanya dan juga hal-hal yang “bukan orang” atau “non-manusia”. Paris adalah sekumpulan orang-orang Paris, beserta air, telepon, gedung-gedungnya, dan banyak lagi. Pertanyaannya, mengapa Latour mempermasalahkan hal demikian? Apa yang “aneh” dari sebuah kota yang di dalamnya berisi warga dan juga fasilitas serta infrastruktur? Bukankah memang demikian isi dari sebuah kota, di manapun itu?
Latour bergerak lebih jauh dengan menunjukkan jejaring dari keseluruhan unsur-unsur itu (manusia dan non-manusia) yang bersifat sejajar. Paris berisi tempat yang di dalamnya memuat unsur historis, tempat orang-orang besar pernah hidup, tetapi di manakah mereka sekarang? Tentu saja, orang-orang tersebut telah tiada: Pascal, Saint Geneviève, Laplace Hugo, Péguy, Foucault, dan lainnya. Mereka tidak lagi dapat bersuara. Bagi Latour, mereka tetap hadir dalam nafas kota, dalam berbagai peninggalan yang tersurat maupun tersirat pada bangunan-bangunan (Latour & Hermant, 2006: 97).
Namun hal demikian, bagi Latour, masih merupakan pandangan tentang kota sebagai “sekumpulan suksesi” (series of successions) dalam artian rentang waktu. Kota dalam arti “sekumpulan suksesi” dianggap Latour sebagai proyek modern yang mengukur suksesi dari hal-hal baru yang menggantikan hal-hal yang lama. Latour kemudian menawarkan kota juga sebagai ruang yang isinya adalah “sekumpulan koeksistensi” (series of coexistences). Dalam sesuatu yang disebut sebagai “opera sosiologis” (sociological opera), Latour dan Hermant, lewat tampilan teks dan foto, berusaha menyajikan peran “perantara” (intermediares) yang tak terhitung, yang ambil bagian dalam koeksistensi jutaan warga Paris (Latour & Hermant, 2006: 101).
Lantas, apa “perantara” yang dimaksud oleh Latour? “Perantara” adalah keseluruhan dari mulai ekonomi, sosiologi, air, listrik, telepon, pemilik yang mempunyai hak pilih, geografi, iklim, selokan, rumor-rumor, metro, hingga pengawasan polisi, dan banyak lagi (Latour & Hermant, 2006: 101). Seluruh “perantara” tersebut bersirkulasi di Kota Paris, membentuk keseluruhan Kota Paris yang tidak bisa dipandang sebagai suksesi yang saling menggantikan.
Di sinilah sekaligus letak kritik Latour terhadap modernisme, yang menurutnya kerap dipandang sebagai sebuah suksesi: saat satu gagasan dianggap menggantikan gagasan lainnya, saat yang satu menjadi tampak lebih baru, sementara yang sebelumnya menjadi terasa ketinggalan.
Melalui penerimaannya terhadap “perantara” itu juga, Latour mengajak untuk tidak memandang struktur sejati realitas dari satu kerangka berpikir, melainkan memahami keseluruhan jejaringnya, yang tidak hanya melibatkan manusia, tapi juga non-manusia. Struktur sejati realitas, jikapun ada, tidak bisa terlihat dengan sendirinya, tanpa ada sesuatu yang membuatnya terlihat. Jadi, pertanyaan tentang dapatkah kita melihat Paris dalam sekali pandang? Mungkin jawaban Latour: tergantung apa yang kita maksud sebagai “Paris”. Saat kita memahaminya sebagai suksesi, kita akan selalu gagal, tetapi saat kita menerima sebagai kumpulan koeksistensi, kita akan selalu melihat keseluruhan Paris.
Daftar Pustaka
- De Vries, Gerard. (2016). Key Contemporary Thinkers: Bruno Latour. Cambridge: Polity Press.
- Latour, Bruno & Hermant, Emilie. (2006). Paris: The Invisible City (terj. Libbrecht, Liz-Carey). Bruno Latour.
Comments
Post a Comment