Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
8 Ramadhan 1433 H
The Buddha: The Story of Siddhartha adalah film dokumenter garapan
David Grubin yang dinarasikan oleh Richard Gere. Berdurasi 112 menit, film ini
berkisah tentang perjalanan hidup Siddhartha
Gautama mulai dari lahir, remaja,
menikah, pergi dari istana, mencari jatidiri, tercerahkan di pohon Boddhi, mendapatkan murid, hingga hari
kematiannya. Film ini tidak membosankan karena sutradara sanggup meramu antara narasi; pengakuan dari berbagai orang
seperti Dalai Lama, Mark Epstein, William
Stanley, Nick Offerman serta beberapa bhiksu
Buddha; latar masyarakat India
dan Nepal;
serta animasi yang menarik.
Film dimulai dengan narasi Richard Gere mengenai kelahiran Siddhartha sekitar
2500 tahun silam di perbatasan India
dan Nepal.
Sebelum melahirkan, sang ibu mendapatkan mimpi yang aneh berkaitan dengan
seekor gajah putih. Menurut juru tafsir mimpi, itu artinya sang ibu akan
mempunyai anak lelaki yang kelak menjadi seorang pemimpin besar atau ahli
spiritual. Sang ayah, yang ingin Siddhartha menjadi pemimpin besar,
“menyekapnya” di dalam istana. Ia dilarang keluar agar tidak menyaksikan
pahitnya dunia. Namun di
suatu hari, ia keluar bersama kusir kuda dan mengalami empat penglihatan yaitu:
orang tua, orang
sakit, orang mati, dan orang yang hidup bertapa. Keseluruhan
penglihatan itu membuat dirinya memutuskan untuk meninggalkan istana dan hidup
tanpa wisma.
Merujuk pada juru tafsir mimpi tadi, Siddhartha mengambil jalan menjadi ahli
spiritual.
Buddha atau sering diartikan
sebagai “Yang Terbangun”, digambarkan dalam film dokumenter ini dengan cukup
lengkap. Fakta sejarah dan mitos
tentangnya diceritakan secara komprehensif sehingga dirasa cukup objektif dan
tidak ada maksud menggurui. Yang terpenting dari film The Buddha: The Story of Siddhartha ini adalah penekanan ajaran
Buddha yang bukan terletak pada asketisme (penyiksaan tubuh sendiri secara berlebihan).
Beberapa kali dititikberatkan bahwa menjadi Buddha adalah berarti menjalani
kehidupan sebagaimana adanya, atau dalam istilah sang Buddha sendiri: Menerima
bumi, bukan menolak apalagi menguasainya. Film ini sangat direkomendasikan bagi
mereka yang mau mengenal Buddha dan ajarannya untuk kali pertama.
Rekomendasi: Bintang Empat
Comments
Post a Comment