Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

30hari30film: The Buddha: The Story of Siddhartha (2010)


8 Ramadhan 1433 H




The Buddha: The Story of Siddhartha adalah film dokumenter garapan David Grubin yang dinarasikan oleh Richard Gere. Berdurasi 112 menit, film ini berkisah tentang perjalanan hidup Siddhartha Gautama mulai dari lahir, remaja, menikah, pergi dari istana, mencari jatidiri, tercerahkan di pohon Boddhi, mendapatkan murid, hingga hari kematiannya. Film ini tidak membosankan karena sutradara sanggup meramu antara narasi; pengakuan dari berbagai orang seperti Dalai Lama, Mark Epstein, William Stanley, Nick Offerman serta beberapa bhiksu Buddha; latar masyarakat India dan Nepal; serta animasi yang menarik.

Film dimulai dengan narasi Richard Gere mengenai kelahiran Siddhartha sekitar 2500 tahun silam di perbatasan India dan Nepal. Sebelum melahirkan, sang ibu mendapatkan mimpi yang aneh berkaitan dengan seekor gajah putih. Menurut juru tafsir mimpi, itu artinya sang ibu akan mempunyai anak lelaki yang kelak menjadi seorang pemimpin besar atau ahli spiritual. Sang ayah, yang ingin Siddhartha menjadi pemimpin besar, “menyekapnya” di dalam istana. Ia dilarang keluar agar tidak menyaksikan pahitnya dunia. Namun di suatu hari, ia keluar bersama kusir kuda dan mengalami empat penglihatan yaitu: orang tua, orang sakit, orang mati, dan orang yang hidup bertapa. Keseluruhan penglihatan itu membuat dirinya memutuskan untuk meninggalkan istana dan hidup tanpa wisma. Merujuk pada juru tafsir mimpi tadi, Siddhartha mengambil jalan menjadi ahli spiritual.

Buddha atau sering diartikan sebagai “Yang Terbangun”, digambarkan dalam film dokumenter ini dengan cukup lengkap. Fakta sejarah dan mitos tentangnya diceritakan secara komprehensif sehingga dirasa cukup objektif dan tidak ada maksud menggurui. Yang terpenting dari film The Buddha: The Story of Siddhartha ini adalah penekanan ajaran Buddha yang bukan terletak pada asketisme (penyiksaan tubuh sendiri secara berlebihan). Beberapa kali dititikberatkan bahwa menjadi Buddha adalah berarti menjalani kehidupan sebagaimana adanya, atau dalam istilah sang Buddha sendiri: Menerima bumi, bukan menolak apalagi menguasainya. Film ini sangat direkomendasikan bagi mereka yang mau mengenal Buddha dan ajarannya untuk kali pertama.

Rekomendasi: Bintang Empat

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me