Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
6 Ramadhan 1433 H
Tidak salah jika The Bridge on The River Kwai meraih tujuh Oscar. Film yang disutradarai oleh David Lean ini, meski berdurasi relatif panjang (161 menit), namun betah ditonton dari awal hingga akhir. Hal ini tidak lepas dari penampilan aktor-aktornya yang menawan, mulai dari Alec Guinness, William Holden, Jack Hawkins, hingga aktor Jepang, Sessue Hakayama.
The Bridge on The River Kwai berkisah tentang proyek pembangunan
jembatan yang digagas oleh Jepang dibawah pimpinan Kolonel Saito (Sessue
Hakayama). Meski demikian, pembangunan ini tidak dilaksanakan oleh
pekerja-pekerja Jepang, melainkan tentara-tentara Inggris yang menjadi tawanan.
Jembatan yang harus cukup kuat untuk dilampaui kereta api tersebut rencananya
menjadi penghubung antara Thailand
dan Burma.
Cara memerintah Jepang yang keras dan otoriter tidak disukai oleh pimpinan dari
tentara Inggris yaitu Letnan Kolonel Nicholson. Ia memilih untuk mogok dan
dihukum, ketimbang ikut serta dalam aturan Saito: Semua tentara Inggris tanpa
terkecuali bekerja membangun jembatan, termasuk para officers. Bagi Nicholson, atasan tentara semestinya bertugas
mengomando dan menjaga moral anak buahnya, bukan ikut serta dalam pekerjaan
kasar yang berarti juga dikomandoi oleh tentara Jepang.
Yang menarik adalah kenyataan
bahwa Saito juga bekerja di bawah tekanan. Jembatan harus jadi tepat pada
tanggal 12 Mei (berarti waktu pengerjaan adalah sekitar dua bulan), jika tidak
maka ia harus menjalankan seppuku
alias ritual bunuh diri. Ketertekanan Saito ini membuat ia mesti berdamai dengan
Nicholson dan melunakkan caranya dalam memerintah. Walhasil, proyek jembatan
pun menjadi lancar karena kedua pihak punya bargaining
position yang setara. Namun di seberang sana, ada misi yang juga dilancarkan oleh
tentara Inggris dengan Mayor Shears (William Holden) di dalamnya. Ada pihak yang ingin
menghancurkan jembatan dengan bom. Disinilah dilema sesungguhnya terjadi.
Cerita dalam The Bridge on The River Kwai –yang fiktif ini- terbilang
sederhana. Ditambah lagi dalam film ini tidak banyak aksi-aksi menawan ataupun
adegan-adegan dramatis. Kekuatan film ini terletak pada bagaimana David Lean
meramu alur cerita sehingga tidak terasa membosankan. Ditambah lagi,
aktor-aktor yang terlibat di dalamnya sangat memberikan kekuatan dan
menampilkan satu karakteristik yang khas. Misalnya Saito, bisa berubah dari
yang awalnya penonton benci dibuatnya, menjadi simpatik di kala akhir.
Rekomendasi: Bintang Lima
Comments
Post a Comment