Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

30hari30film: The Bridge on The River Kwai (1957)


6 Ramadhan 1433 H

 


Tidak salah jika The Bridge on The River Kwai meraih tujuh Oscar. Film yang disutradarai oleh David Lean ini, meski berdurasi relatif panjang (161 menit), namun betah ditonton dari awal hingga akhir. Hal ini tidak lepas dari penampilan aktor-aktornya yang menawan, mulai dari Alec Guinness, William Holden, Jack Hawkins, hingga aktor Jepang, Sessue Hakayama.

The Bridge on The River Kwai berkisah tentang proyek pembangunan jembatan yang digagas oleh Jepang dibawah pimpinan Kolonel Saito (Sessue Hakayama). Meski demikian, pembangunan ini tidak dilaksanakan oleh pekerja-pekerja Jepang, melainkan tentara-tentara Inggris yang menjadi tawanan. Jembatan yang harus cukup kuat untuk dilampaui kereta api tersebut rencananya menjadi penghubung antara Thailand dan Burma. Cara memerintah Jepang yang keras dan otoriter tidak disukai oleh pimpinan dari tentara Inggris yaitu Letnan Kolonel Nicholson. Ia memilih untuk mogok dan dihukum, ketimbang ikut serta dalam aturan Saito: Semua tentara Inggris tanpa terkecuali bekerja membangun jembatan, termasuk para officers. Bagi Nicholson, atasan tentara semestinya bertugas mengomando dan menjaga moral anak buahnya, bukan ikut serta dalam pekerjaan kasar yang berarti juga dikomandoi oleh tentara Jepang.

Yang menarik adalah kenyataan bahwa Saito juga bekerja di bawah tekanan. Jembatan harus jadi tepat pada tanggal 12 Mei (berarti waktu pengerjaan adalah sekitar dua bulan), jika tidak maka ia harus menjalankan seppuku alias ritual bunuh diri. Ketertekanan Saito ini membuat ia mesti berdamai dengan Nicholson dan melunakkan caranya dalam memerintah. Walhasil, proyek jembatan pun menjadi lancar karena kedua pihak punya bargaining position yang setara. Namun di seberang sana, ada misi yang juga dilancarkan oleh tentara Inggris dengan Mayor Shears (William Holden) di dalamnya. Ada pihak yang ingin menghancurkan jembatan dengan bom. Disinilah dilema sesungguhnya terjadi.

Cerita dalam The Bridge on The River Kwai –yang fiktif ini- terbilang sederhana. Ditambah lagi dalam film ini tidak banyak aksi-aksi menawan ataupun adegan-adegan dramatis. Kekuatan film ini terletak pada bagaimana David Lean meramu alur cerita sehingga tidak terasa membosankan. Ditambah lagi, aktor-aktor yang terlibat di dalamnya sangat memberikan kekuatan dan menampilkan satu karakteristik yang khas. Misalnya Saito, bisa berubah dari yang awalnya penonton benci dibuatnya, menjadi simpatik di kala akhir.

Rekomendasi: Bintang Lima

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat