Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

30hari30film: La Strada (1954)


3 Ramadhan 1433 H



La Strada adalah film Italia yang dibesut oleh sutradara neo-realis Federico Fellini. Film yang diproduseri Dino de Laurentiis ini, musiknya ditata oleh komposer kenamaan yang akrab dengan musik The Godfather yaitu Nino Rota. Selain itu, musisi Bob Dylan menyebut film La Strada sebagai inspirasinya dalam lagunya yang terkenal Mr. Tambourine Man.

La Strada bercerita tentang wanita lugu bernama Gelsemina (Giulieta Masina) yang direkrut oleh penghibur keliling Zampano (Anthony Quinn). Gelsemina diambil untuk menggantikan kakaknya, Rosa, yang meninggal dalam perjalanannya yang juga bersama Zampano. Ibunya menyerahkan Gelsemina karena dua alasan: Pertama, Zampano memberi uang sepuluh ribu Lira. Kedua, sang ibu ingin agar Gelsemina jalan-jalan melihat dunia luar.

Gerak-gerik Gelsemina amat kontras dengan Zampano. Gelsemina begitu naïf, labil; kadang ia ingin pergi dari tuannya, kadang ia ingin menikah dengan Zampano. Sedang Zampano -persis seperti pertunjukannya yang selalu memamerkan kekerasan ototnya dalam memutus rantai baja- adalah orang yang keras, tidak hangat, dan praktis. Gelsemina menemukan kehangatan dalam diri seorang yang dijuluki Il Matto (Richard Basehart). Ia adalah badut sekaligus peniti tambang yang pandai bermain biola mini.

Dari Il Matto, Gelsemina belajar filosofi hidup seperti, “Batu pun diciptakan untuk manfaat tertentu.” Membuat Gelsemina, yang terus menerus di-bully oleh Zampano karena tidak punya kemampuan apa-apa, menemukan dirinya juga berharga. Il Matto sendiri beberapa kali membuat Zampano kesal. Il Matto kerapkali mengejek Zampano sebagai tidak kreatif dan, “Lihat wajahnya, berkali-kali membuat saya tertawa.” Gelsemina terus belajar hal yang baru setiap Zampano singgah memarkirkan karavannya. Ia belajar dari biarawati yang mengatakan bahwa, “Kami pindah dua tahun sekali. Jika kamu sudah nyaman di satu tempat, kamu akan melupakan tujuan semulamu: Tuhan.”

Seperti pada umumnya film-film neo-realis, La Strada mengangkat tema keseharian yang menyentuh. Meski demikian, tidak bisa dikatakan juga La Strada adalah film yang mudah dicerna seperti film neo-realis lainnya semisal Bicycle Thief karya Vittorio de Sica atau Pather Panchali karya Satyajit Ray. Bobot obrolan Gelsemina dengan Il Matto dan biarawati bisa membuat kening mengkerut. Apa yang mau dipesankan oleh Fellini agaknya ada pada sosok Zampano yang sangat menolak berpikir reflektif. Ia hidup hanya untuk mencari uang dan seks. Berbeda dengan sosok Gelsemina yang meskipun naïf, tapi ia selalu melihat berbagai hal dengan rasa kagum. 

Rekomendasi: Bintang Lima

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me