Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

30hari30film: Midnight in Paris (2011)


1 Ramadhan 1433 H



Midnight in Paris adalah film yang digarap oleh sutradara senior Woody Allen, yang pernah dengan gemilang memenangkan empat Oscar dengan karyanya tahun 1977, Annie Hall. Film ini berkisah tentang pasangan Amerika –yang akan menikah- yang tengah berlibur ke Paris, Gil Pender (Owen Wilson) dan Inez (Rachel McAdams). Dalam kunjungan ke Paris ini, keduanya sering berselisih pendapat. Inez melihat Paris sebagai tempat berlibur yang indah dan penuh dengan sentuhan artistik sekaligus historis. Sedangkan Gil lebih sentimentil daripada itu, ia memandang Paris sebagai kota yang romantis (lebih jauh ia menyebutnya, “ketika hujan”), sumber inspirasi, dan tempat dimana seniman-seniman besar pernah tinggal. Berbeda dengan Inez, Gil yang berprofesi sebagai penulis, sedemikian terobsesi untuk tinggal di Paris.

Sentimentalitas ini membawa Gil pada situasi yang misterius di setiap waktu tengah malam: Ia dijemput oleh mobil tua, bertemu dengan para seniman besar dari masa lampau yang bernah bersentuhan dengan Paris seperti Ernest Hemingway, Cole Porter, Scott Fitzgerald, Gertrund Stein, Pablo Picasso, Salvador Dali, Man Ray, Luis Bunuel, Henry Matisse, dan banyak lagi seniman dari masa tahun 1920-an dan era La Belle Epoque (1890 – PD I). Pertemuan demi pertemuan yang amat personal itu membawa Gil untuk membulatkan tekad tinggal di Paris. Agar dekat dengan inspirasinya, dekat dengan cintanya yang datang dari masa silam: Adriana (Marion Cotillard).

Midnight in Paris adalah film yang disebut oleh Woody Allen sebagai, “Melihat dengan cara saya melihat Paris.” Film ini, meski durasinya relatif pendek (89 menit), namun ia secara intens sanggup menunjukkan sisi-sisi memikat dari kota Paris. Lewat keluguan dan kenaifan Gil Pender, Allen hendak menunjukkan suatu paradoks Amerika: Mereka menang perang namun miskin kebudayaan dan sejarah, sehingga meskipun bisa menegakkan kepala di manapun mereka berada, namun selamanya Amerika akan selalu terpesona dengan romantisme Eropa. Kenyataan bahwa Eropa pernah menjadi tempat bermukim seniman-seniman yang karyanya menjadi kiblat, membuat Amerika, lewat Gil Pender, terlihat gamang dan tidak punya pegangan.

Meski demikian, keberadaan Gil Pender yang diperankan oleh Owen Wilson ini mengandung dua sisi. Pertama, keluguannya bisa mengartikulasikan “kelabilan” Amerika secara brilian. Namun di sisi lain, akting Wilson justru terlihat jomplang dengan kualitas aktor lain seperti Marion Cotillard, Adrien Brody, dan pesona pemain lain yang memerankan karisma para seniman-seniman besar tersebut. Tanpa tampilan mempesona para raksasa golden age, barangkali film ini akan menjadi romantic comedy yang menghibur sejenak lantas dilupakan.

Satu hal yang membuat film ini agaknya menjadi tipikal Woody Allen yang filosofis, adalah pesan tersiratnya: Bahwa jangan-jangan perasaan bahwa suatu jaman disebut golden age, adalah ilusi. Karena seketika jika kita melihat ke masa lampau, kita akan selalu menganggap masa lampau itu lebih ideal dari masa kini. Bagi para seniman tahun 1920, La Belle Epoque adalah ideal. Bagi para seniman La Belle Epoque, jaman Renaisans adalah jauh lebih ideal. Bagi Gil Pender? Paris di masa silam selalu ideal.


Rekomendasi: Bintang Empat

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me