Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi. Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan. Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb
1 Ramadhan 1433 H
Midnight in Paris adalah film yang digarap oleh sutradara senior
Woody Allen, yang pernah dengan gemilang memenangkan empat Oscar dengan
karyanya tahun 1977, Annie Hall. Film
ini berkisah tentang pasangan Amerika –yang akan menikah- yang tengah berlibur
ke Paris, Gil
Pender (Owen Wilson) dan Inez (Rachel McAdams). Dalam kunjungan ke Paris ini, keduanya
sering berselisih pendapat. Inez melihat Paris
sebagai tempat berlibur yang indah dan penuh dengan sentuhan artistik sekaligus
historis. Sedangkan Gil lebih sentimentil daripada itu, ia memandang Paris sebagai kota
yang romantis (lebih jauh ia menyebutnya, “ketika hujan”), sumber inspirasi,
dan tempat dimana seniman-seniman besar pernah tinggal. Berbeda dengan Inez,
Gil yang berprofesi sebagai penulis, sedemikian terobsesi untuk tinggal di
Paris.
Sentimentalitas ini membawa Gil
pada situasi yang misterius di setiap waktu tengah malam: Ia dijemput oleh
mobil tua, bertemu dengan para seniman besar dari masa lampau yang bernah
bersentuhan dengan Paris seperti Ernest Hemingway, Cole Porter, Scott
Fitzgerald, Gertrund Stein, Pablo Picasso, Salvador Dali, Man Ray, Luis Bunuel,
Henry Matisse, dan banyak lagi seniman dari masa tahun 1920-an dan era La Belle Epoque (1890 – PD I). Pertemuan
demi pertemuan yang amat personal itu membawa Gil untuk membulatkan tekad
tinggal di Paris. Agar dekat dengan inspirasinya, dekat dengan cintanya yang
datang dari masa silam: Adriana (Marion Cotillard).
Midnight in Paris adalah film yang disebut oleh Woody Allen
sebagai, “Melihat dengan cara saya melihat Paris.” Film ini, meski durasinya relatif
pendek (89 menit), namun ia secara intens sanggup menunjukkan sisi-sisi memikat
dari kota Paris.
Lewat keluguan dan kenaifan Gil Pender, Allen hendak menunjukkan suatu paradoks
Amerika: Mereka menang perang namun miskin kebudayaan dan sejarah, sehingga
meskipun bisa menegakkan kepala di manapun mereka berada, namun selamanya
Amerika akan selalu terpesona dengan romantisme Eropa. Kenyataan bahwa Eropa
pernah menjadi tempat bermukim seniman-seniman yang karyanya menjadi kiblat,
membuat Amerika, lewat Gil Pender, terlihat gamang dan tidak punya pegangan.
Meski demikian, keberadaan Gil
Pender yang diperankan oleh Owen Wilson ini mengandung dua sisi. Pertama,
keluguannya bisa mengartikulasikan “kelabilan” Amerika secara brilian. Namun di
sisi lain, akting Wilson
justru terlihat jomplang dengan kualitas aktor lain seperti Marion Cotillard,
Adrien Brody, dan pesona pemain lain yang memerankan karisma para
seniman-seniman besar tersebut. Tanpa tampilan mempesona para raksasa golden age, barangkali film ini akan
menjadi romantic comedy yang
menghibur sejenak lantas dilupakan.
Satu hal yang membuat film ini
agaknya menjadi tipikal Woody Allen yang filosofis, adalah pesan tersiratnya:
Bahwa jangan-jangan perasaan bahwa suatu jaman disebut golden age, adalah ilusi. Karena seketika jika kita melihat ke masa
lampau, kita akan selalu menganggap masa lampau itu lebih ideal dari masa kini.
Bagi para seniman tahun 1920, La Belle
Epoque adalah ideal. Bagi para seniman La
Belle Epoque, jaman Renaisans adalah jauh lebih ideal. Bagi Gil Pender? Paris di masa silam selalu
ideal.
Rekomendasi: Bintang Empat
Comments
Post a Comment