Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

30hari30film: Kite Runner (2007)


5 Ramadhan 1433 H




Kite Runner adalah film garapan Marc Forster yang diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Khaled Hosseini. Film berdurasi 128 menit ini berkisah tentang dua orang anak bernama Amir (Zekkeria Ebrahimi) dan Hassan (Ahmad Khan Mahmizada). Yang menarik tidak hanya mengenai persahabatan mereka yang sangat mengharukan, melainkan latar belakang kehidupan mereka yaitu perubahan politik di Afghanistan mulai dari moderat, lalu diinvasi oleh Uni Soviet, hingga berada di bawah konservatisme Taliban.

Amir dan Hassan secara latar belakang sosial tidaklah setara. Amir adalah anak majikan, sedang Hassan adalah anak dari pesuruh. Amir adalah seorang Pashtun, sedangkan Hassan beretnik Hazara. Seorang Pashtun, sering disebut-sebut sebagai “orang Afghanistan sejati”. Hal tersebut yang membuat persahabatan Amir dan Hassan seringkali diejek oleh Assef dan kawan-kawannya. Amir yang penakut, tidaklah sama dengan Hassan yang berani. Hassan tidak hanya sahabat baik bagi Amir, tapi pesuruh yang sedemikian taat pada sang majikan. Hassan pernah berani menodongkan katapel pada Assef yang terus menerus mengganggu mereka berdua.

Namun Amir dan Hassan menjadi partner yang setara ketika mereka bermain layangan. Amir pandai dalam beradu layangan, sedangkan Hassan selalu bisa menebak dimana layangan lawan jatuh untuk kemudian dipungut. Kelebihan Hassan ini tak pernah dilupakan oleh Amir bahkan hingga keduanya berpisah dan menjalani kehidupan dewasa. Singkat cerita, Hassan diketahui sudah meninggal dunia dieksekusi serdadu Taliban. Hassan meninggalkan seorang anak, yang amat ingin diadopsi oleh Amir. Amir (Yang sudah dewasa, diperankan oleh Khalid Abdalla) meninggalkan Amerika tempat tinggalnya, untuk kembali ke kampung halamannya, Afghanistan. Menembus barikade konservatisme Taliban, ia ingin menyelamatkan masa depan anak bernama Sohrab itu, sekaligus –lewat anak itu, Hassan ingin- mengabadikan masa kecilnya yang indah bersama Hassan.

Sebagaimana pada umumnya film-film yang diadaptasi dari novel, tentu saja banyak adegan yang dirasa sangat rancu dan terlihat dipadatkan. Misalnya, proses percintaan Amir dan Soraya (Atossa Leoni) yang begitu singkat. Namun hal ini bisa dipahami karena keterbatasan durasi film itu sendiri. Tentu saja, edisi film kerapkali mengecewakan bagi mereka yang pernah membaca novelnya. Namun bagi yang menonton Kite Runner tanpa pernah membaca novelnya, mungkin akan terpesona tidak hanya oleh jalan ceritanya yang brilian, tapi juga situasi Afghanistan yang akrab dengan dinamika politik yang amat kontras. Melihat politik dari sudut pandang anak kecil memang selalu menarik karena kita melihat dua wilayah yang sangat kontradiktif (seolah-olah kedua wilayah, baik dunia politik dan dunia anak-anak, tidak pernah sanggup memahami satu sama lain). Ini terlihat dari film-film serupa seperti Persepolis (latar belakang politik Iran) dan Blue Kite (latar belakang politik Cina).

Rekomendasi: Bintang Empat

Comments

  1. one of my favorite...watched this again and again...

    ReplyDelete
  2. makasih reviewnya Kang, jadi pengen namatin novelnya lagi nih :) salam.

    ReplyDelete
  3. terima kasih apresiasinya.. selamat menonton, membaca dan mengapresiasi :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat