Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

30Hari30Film: Indiana Jones and The Raiders of The Lost Ark (1981)


10 Ramadhan 1433 H


Indiana Jones and The Raiders of The Lost Ark adalah judul baru bagi film Steven Spielberg yang sebelumnya berjudul Raiders of The Lost Ark ini. Film yang diproduseri George Lucas tersebut, pada masanya meraup keuntungan yang luar biasa dan menjadi film yang legendaris bahkan hingga hari ini. Atas dasar itu, Spielberg membuat beberapa edisi film lagi tentang Indiana Jones mulai dari Indiana Jones and The Temple of Doom (1984), Indiana Jones and The Last Crusade (1989), Indiana Jones and The Kingdom of Crystal Skull (2008) hingga serialnya yang berjudul The Young Indiana Jones Chronicle (1992-1996).

Film tentang Indiana Jones selalu disajikan dengan penuh aksi dan petualangan yang menegangkan nyaris dari menit awal film hingga akhir. Indiana Jones and The Raiders of The Lost Ark berkisah tentang petualangan Indiana Jones (Harrison Ford) yang berupaya menyelamatkan ark (tabut?) agar tidak jatuh ke tangan pihak Nazi. Apa yang istimewa dari tabut? Tabut bernama Ark of The Covenant ini, jika didapatkan, maka tentara Nazi bisa menjadi terkamuflase dan tak terlihat. Film menjadi menarik karena keberadaan Rene Belloq (Paul Freeman) - musuh bebuyutan Indiana yang juga arkeolog- yang tak kalah cerdas, berani, dan penuh intrik. Selain disebabkan oleh labirin dan perangkap yang begitu rumit dihadirkan dalam rangka menyulitkan jalan menuju tabut, film Indiana Jones and The Raiders of The Lost Ark juga menjadi cukup segar karena keberadaan Marion Ravenwood (Karen Allen) yang tampil lugu, mengimbangi keseriusan Indiana.

Jalan cerita film tentang Indiana Jones relatif monoton dan selalu tentang perburuan artefak. Namun yang hendak ditawarkan oleh Spielberg tentu saja bukan tentang kekompleksan cerita, melainkan sajian full-action yang membuat penonton mengkerut di kursinya. Spielberg dengan pandai tidak membiarkan film untuk terjebak pada adegan dialog yang terlalu lama. Dialog seolah hanya sebatas “fase jeda” sebelum Indiana bertarung menghadapi tantangan berikutnya. Plus musik garapan John Williams menjadi kekuatan yang tak terbantahkan dalam menopang pelbagai adegan.

Namun sebagaimana umumnya film Spielberg yang “ada keharusan ditonton sebanyak mungkin orang”, maka selalu saja ada gabungan antara adegan jenaka dan sadis sekaligus. Di film yang sama, kita bisa saksikan adegan dimana Indiana secara “cerdas” menembak lawan dengan pistol dalam adegan adu pedang (yang merupakan suatu hal yang agaknya bisa membuat penonton tertawa), tapi juga ada adegan dimana salah seorang tentara Nazi tercincang baling-baling helikopter hingga darahnya terhambur. Meski kerancuan tersebut cukup lumrah terjadi dalam film-film Spielberg, namun agaknya secara keseluruhan Indiana Jones and The Raiders of The Lost Ark tetaplah film yang penting dan fenomenal dalam sejarah perfilman Hollywood. Aksi-aksi Indiana –harus diakui- memang memukau.

Rekomendasi: Bintang Empat

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1