Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

30Hari30Film: Indiana Jones and The Raiders of The Lost Ark (1981)


10 Ramadhan 1433 H


Indiana Jones and The Raiders of The Lost Ark adalah judul baru bagi film Steven Spielberg yang sebelumnya berjudul Raiders of The Lost Ark ini. Film yang diproduseri George Lucas tersebut, pada masanya meraup keuntungan yang luar biasa dan menjadi film yang legendaris bahkan hingga hari ini. Atas dasar itu, Spielberg membuat beberapa edisi film lagi tentang Indiana Jones mulai dari Indiana Jones and The Temple of Doom (1984), Indiana Jones and The Last Crusade (1989), Indiana Jones and The Kingdom of Crystal Skull (2008) hingga serialnya yang berjudul The Young Indiana Jones Chronicle (1992-1996).

Film tentang Indiana Jones selalu disajikan dengan penuh aksi dan petualangan yang menegangkan nyaris dari menit awal film hingga akhir. Indiana Jones and The Raiders of The Lost Ark berkisah tentang petualangan Indiana Jones (Harrison Ford) yang berupaya menyelamatkan ark (tabut?) agar tidak jatuh ke tangan pihak Nazi. Apa yang istimewa dari tabut? Tabut bernama Ark of The Covenant ini, jika didapatkan, maka tentara Nazi bisa menjadi terkamuflase dan tak terlihat. Film menjadi menarik karena keberadaan Rene Belloq (Paul Freeman) - musuh bebuyutan Indiana yang juga arkeolog- yang tak kalah cerdas, berani, dan penuh intrik. Selain disebabkan oleh labirin dan perangkap yang begitu rumit dihadirkan dalam rangka menyulitkan jalan menuju tabut, film Indiana Jones and The Raiders of The Lost Ark juga menjadi cukup segar karena keberadaan Marion Ravenwood (Karen Allen) yang tampil lugu, mengimbangi keseriusan Indiana.

Jalan cerita film tentang Indiana Jones relatif monoton dan selalu tentang perburuan artefak. Namun yang hendak ditawarkan oleh Spielberg tentu saja bukan tentang kekompleksan cerita, melainkan sajian full-action yang membuat penonton mengkerut di kursinya. Spielberg dengan pandai tidak membiarkan film untuk terjebak pada adegan dialog yang terlalu lama. Dialog seolah hanya sebatas “fase jeda” sebelum Indiana bertarung menghadapi tantangan berikutnya. Plus musik garapan John Williams menjadi kekuatan yang tak terbantahkan dalam menopang pelbagai adegan.

Namun sebagaimana umumnya film Spielberg yang “ada keharusan ditonton sebanyak mungkin orang”, maka selalu saja ada gabungan antara adegan jenaka dan sadis sekaligus. Di film yang sama, kita bisa saksikan adegan dimana Indiana secara “cerdas” menembak lawan dengan pistol dalam adegan adu pedang (yang merupakan suatu hal yang agaknya bisa membuat penonton tertawa), tapi juga ada adegan dimana salah seorang tentara Nazi tercincang baling-baling helikopter hingga darahnya terhambur. Meski kerancuan tersebut cukup lumrah terjadi dalam film-film Spielberg, namun agaknya secara keseluruhan Indiana Jones and The Raiders of The Lost Ark tetaplah film yang penting dan fenomenal dalam sejarah perfilman Hollywood. Aksi-aksi Indiana –harus diakui- memang memukau.

Rekomendasi: Bintang Empat

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me