Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
10 Ramadhan 1433 H
Indiana Jones and The Raiders of The Lost Ark adalah judul baru
bagi film Steven Spielberg yang sebelumnya berjudul Raiders of The Lost Ark ini. Film yang diproduseri George Lucas
tersebut, pada masanya meraup keuntungan yang luar biasa dan menjadi film yang
legendaris bahkan hingga hari ini. Atas dasar itu, Spielberg membuat beberapa
edisi film lagi tentang Indiana Jones mulai
dari Indiana Jones and The Temple
of Doom (1984), Indiana Jones and The Last Crusade (1989), Indiana
Jones and The Kingdom of Crystal Skull (2008) hingga serialnya yang
berjudul The Young Indiana Jones Chronicle (1992-1996).
Film
tentang Indiana
Jones selalu disajikan dengan penuh aksi dan petualangan yang menegangkan
nyaris dari menit awal film hingga akhir. Indiana
Jones and The Raiders of The Lost Ark berkisah tentang petualangan Indiana
Jones (Harrison Ford) yang berupaya menyelamatkan ark (tabut?) agar tidak jatuh ke tangan pihak Nazi. Apa yang
istimewa dari tabut? Tabut bernama Ark of The Covenant ini, jika
didapatkan, maka tentara Nazi bisa menjadi terkamuflase dan tak terlihat. Film
menjadi menarik karena keberadaan Rene Belloq (Paul Freeman) - musuh bebuyutan Indiana yang juga
arkeolog- yang tak kalah cerdas, berani, dan penuh intrik. Selain disebabkan
oleh labirin dan perangkap yang begitu rumit dihadirkan dalam rangka
menyulitkan jalan menuju tabut, film Indiana
Jones and The Raiders of The Lost Ark juga menjadi cukup segar karena
keberadaan Marion Ravenwood (Karen Allen) yang
tampil lugu, mengimbangi keseriusan Indiana.
Jalan cerita film tentang Indiana
Jones relatif monoton dan selalu tentang perburuan artefak. Namun yang
hendak ditawarkan oleh Spielberg tentu saja bukan tentang kekompleksan cerita,
melainkan sajian full-action yang
membuat penonton mengkerut di kursinya. Spielberg dengan pandai tidak
membiarkan film untuk terjebak pada adegan dialog yang terlalu lama. Dialog
seolah hanya sebatas “fase jeda” sebelum Indiana
bertarung menghadapi tantangan berikutnya. Plus
musik garapan John Williams menjadi kekuatan yang tak terbantahkan dalam
menopang pelbagai adegan.
Namun
sebagaimana umumnya film Spielberg yang “ada keharusan ditonton sebanyak
mungkin orang”, maka selalu saja ada gabungan
antara adegan jenaka
dan sadis sekaligus. Di film yang sama, kita bisa saksikan adegan dimana Indiana
secara “cerdas” menembak lawan dengan pistol dalam adegan adu pedang (yang
merupakan suatu hal yang agaknya bisa membuat penonton tertawa), tapi juga ada
adegan dimana salah seorang tentara Nazi tercincang baling-baling helikopter
hingga darahnya terhambur. Meski kerancuan tersebut cukup lumrah terjadi dalam
film-film Spielberg, namun agaknya secara keseluruhan Indiana Jones and The Raiders of The Lost Ark tetaplah film yang penting
dan fenomenal dalam sejarah perfilman Hollywood.
Aksi-aksi Indiana
–harus diakui- memang memukau.
Rekomendasi: Bintang Empat
Comments
Post a Comment