Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

30hari30film: Vanilla Sky (2001)



4 Ramadhan 1433 H
 
 

Vanilla Sky adalah film garapan Cameron Crowe yang merupakan remake dari film berbahasa Spanyol berjudul Abre los Ojos. Film ini diawali dengan kisah tentang eksekutif muda bernama David Aames (Tom Cruise) yang kehidupannya diwarnai kesuksesan baik dari segi uang maupun wanita. Hal ini berjalan lancar hingga akhirnya rasa cinta David terhadap Sarah Serrano (Penelope Cruz) berujung pada cemburu luar biasa dari Julie Gianni (Cameron Diaz). Kecemburuan itu berujung pada aksi nekat Julie yang menabrakan mobilnya ke pagar pembatas jalan hingga terlempar ke bawah jembatan. Dikisahkan di sana, Julie meninggal sedangkan David selamat namun mengalami kehancuran wajah dan lengan.

Cerita berikutnya menjadi mozaik yang membuat kita terheran-heran. Kadang wajah David digambarkan rusak, kadang utuh. Kadang kita melihat Sofia, lalu ia berubah menjadi Julie yang mengaku sebagai Sofia. Perubahan-perubahan cepat ini terjawab di akhir film, bahwa sebenarnya David tengah menjalani suatu program “perpanjangan usia” bernama Life Extension. Salah satu dari subprogram tersebut mempunyai sisi hiburan yaitu lucid dream. Apa gerangan lucid dream? Yaitu mimpi dimana kita dapat berkehendak, memutuskan apa yang mau diperbuat dan memeroleh konsekuensinya. Jadi apa yang dialami David, segala keanehan tersebut, adalah bagian dari keinginan-keinginan yang tersembunyi dalam alam bawah sadarnya. Seperti halnya menurut Freud, hasrat yang tak tercapai di alam bawah sadar, akan terekplisitkan kemudian dalam mimpi.

Sedari awal, film ini memang sudah menunjukkan gejala-gejala kejanggalan. Misalnya, film bermula dengan adegan David menyadari dirinya sendirian di tengah kota New York tanpa ada satupun manusia di sekitarnya. Meski di akhir cerita, pihak dari Life Extension sudah menceritakan apa yang terjadi pada David (Ingat bagaimana seorang psikiater menjelaskan keseluruhan misteri pada film Psycho-nya Alfred Hitchcock?), namun sutradara Cameron Crowe agaknya tetap mau membiarkan ada sedikit keheranan pada masing-masing benak penonton. Tetap saja menjadi misteri tentang dimana batas lucid dream yang dialami David: Apakah sejak 150 tahun lalu (Seperti terekplisitkan dalam suatu dialog)? Atau sejak David mengalami kecelakaan dengan Julie Gianni? Atau sejak awal keseluruhan film ini sudah tidak nyata?

Apapun itu, Vanilla Sky tetap merupakan sebuah film yang agaknya membuat kita punya kesan seperti menonton Truman Show: Ada sisi terhibur tapi sekaligus termenung-menung. Keduanya punya tema mirip-mirip, tentang bagaimana kecanggihan teknologi di suatu hari bisa membuat kita ketakutan. Tentu saja Life Extension bukan suatu proyek utopis karena gejala medis sudah semakin ke arah sana. Namun efek samping berupa lucid dream, yang isinya utopia tentang kehendak bawah sadar masyarakat modern yang idealismenya hanya seputar uang dan wanita, sungguh menciptakan alienasi yang berlapis. Vanilla Sky cukup sukses menyampaikan pesan ini.

Rekomendasi: Bintang Tiga Setengah

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat