Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
9 Ramadhan 1433
H
Meski tidak
sukses secara komersil, film The Boat
That Rocked punya penggemarnya sendiri terutama di kalangan penggemar musik
tahun 60-an –yang terkenal dengan generasi bunga-. Film yang disutradarai Richard
Curtis ini mendapat kritikan karena durasinya yang terlalu panjang (135 menit).
The Boat That Rocked diputar ulang di
Amerika Serikat dengan perubahan
judul menjadi Pirate Radio dan
pemotongan durasi menjadi 112 menit.
Film ini
berkisah tentang kehidupan penyiaran radio yang “ilegal”. Ilegal karena
frekuensi Radio Rock tidak terdaftar
dan diakui oleh pemerintahan Inggris. Meski demikian, radio yang disiarkan dari
kapal di tengah North Sea ini
digemari oleh mayoritas kaum muda di Inggris karena memutar lagu-lagu pop dan
rock yang tengah tren. Di pembukaan film sudah disajikan titik permasalahannya
mengapa Radio Rock mesti ada, karena:
Radio pemerintah hanya memutar musik pop 45 menit dalam sehari!
Film ini cukup
dominan dalam mengontraskan kehidupan awak Radio
Rock yang penuh kegembiraan di atas kapal dilatari musik-musik psikedelik,
dengan kehidupan jajaran pemerintah Inggris yang membosankan dan penuh
protokol. Konflik terjadi karena PM Inggris Sir Alistair Dormandy (Kenneth
Branagh) tidak suka dengan keberadaan mereka yang dicapnya sebagai, “Perusak
generasi muda.” Meski pada waktu itu tidak melanggar hukum, namun Sir Alistair
bersama dengan bawahannya, Twatt (Jack Davenport) tetap mengupayakan bagaimana
caranya agar hukum bisa disesuaikan sehingga Radio Rock masuk kategori pelanggaran.
Seisi awak Radio Rock sendiri tidak ambil pusing
dengan ketar ketir pemerintah. Mereka tetap bersiaran 24 jam dengan para DJ
yang begitu dicintai pendengarnya. Mereka adalah The Count (Philip Seymour
Hoffmann), Dave (Nick Frost), Mark (Tom Wisdom), Simon Swafford (Chris O’Dowd),
Angus “The Nut” Nutsford (Rhys Darby), John Mayford (Will Adamsdale), dan yang
paling legendaris, Gavin Kavanagh (Rhys Ifans). Kehidupan mereka begitu dinamis
dan kekeluargaan. Konflik-konflik kadang terjadi misalnya Gavin Kavanagh yang
terlalu karismatik sehingga bisa merebut istri dari Simon yang baru dinikahinya
tujuh belas jam. Namun apa yang dialami oleh para kru Radio Rock setidaknya mengartikulasikan semangat rock pada masa
itu: Asyik, santai, bergairah, cinta damai, dan penuh kebersamaan.
Film ini agaknya
bisa menjadi sangat menarik tapi juga bisa tidak. Menarik adalah bagi mereka
yang memahami sekaligus mencintai musik-musik psikedelik di era 60-an. Namun bagi yang
tidak, film ini rasanya tidak punya suatu muatan spesial di dalamnya. Meski
pesan terpentingnya bukanlah sebatas musik, melainkan suatu gerakan di luar sistem yang seringkali
diperlukan untuk membongkar kemapanan. Buktinya? Setelah Radio Rock bubar, dalam narasi
disebutkan: Pop dan rock diputar di radio
Inggris 24 jam per hari.
Rekomendasi : Bintang Tiga
Comments
Post a Comment