Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

30hari30film: The Boat That Rocked (2009)


9 Ramadhan 1433 H


Meski tidak sukses secara komersil, film The Boat That Rocked punya penggemarnya sendiri terutama di kalangan penggemar musik tahun 60-an –yang terkenal dengan generasi bunga-. Film yang disutradarai Richard Curtis ini mendapat kritikan karena durasinya yang terlalu panjang (135 menit). The Boat That Rocked diputar ulang di Amerika Serikat dengan perubahan judul menjadi Pirate Radio dan pemotongan durasi menjadi 112 menit.

Film ini berkisah tentang kehidupan penyiaran radio yang “ilegal”. Ilegal karena frekuensi Radio Rock tidak terdaftar dan diakui oleh pemerintahan Inggris. Meski demikian, radio yang disiarkan dari kapal di tengah North Sea ini digemari oleh mayoritas kaum muda di Inggris karena memutar lagu-lagu pop dan rock yang tengah tren. Di pembukaan film sudah disajikan titik permasalahannya mengapa Radio Rock mesti ada, karena: Radio pemerintah hanya memutar musik pop 45 menit dalam sehari!

Film ini cukup dominan dalam mengontraskan kehidupan awak Radio Rock yang penuh kegembiraan di atas kapal dilatari musik-musik psikedelik, dengan kehidupan jajaran pemerintah Inggris yang membosankan dan penuh protokol. Konflik terjadi karena PM Inggris Sir Alistair Dormandy (Kenneth Branagh) tidak suka dengan keberadaan mereka yang dicapnya sebagai, “Perusak generasi muda.” Meski pada waktu itu tidak melanggar hukum, namun Sir Alistair bersama dengan bawahannya, Twatt (Jack Davenport) tetap mengupayakan bagaimana caranya agar hukum bisa disesuaikan sehingga Radio Rock masuk kategori pelanggaran.

Seisi awak Radio Rock sendiri tidak ambil pusing dengan ketar ketir pemerintah. Mereka tetap bersiaran 24 jam dengan para DJ yang begitu dicintai pendengarnya. Mereka adalah The Count (Philip Seymour Hoffmann), Dave (Nick Frost), Mark (Tom Wisdom), Simon Swafford (Chris O’Dowd), Angus “The Nut” Nutsford (Rhys Darby), John Mayford (Will Adamsdale), dan yang paling legendaris, Gavin Kavanagh (Rhys Ifans). Kehidupan mereka begitu dinamis dan kekeluargaan. Konflik-konflik kadang terjadi misalnya Gavin Kavanagh yang terlalu karismatik sehingga bisa merebut istri dari Simon yang baru dinikahinya tujuh belas jam. Namun apa yang dialami oleh para kru Radio Rock setidaknya mengartikulasikan semangat rock pada masa itu: Asyik, santai, bergairah, cinta damai, dan penuh kebersamaan.

Film ini agaknya bisa menjadi sangat menarik tapi juga bisa tidak. Menarik adalah bagi mereka yang memahami sekaligus mencintai musik-musik psikedelik di era 60-an. Namun bagi yang tidak, film ini rasanya tidak punya suatu muatan spesial di dalamnya. Meski pesan terpentingnya bukanlah sebatas musik, melainkan suatu gerakan di luar sistem yang seringkali diperlukan untuk membongkar kemapanan. Buktinya? Setelah Radio Rock bubar, dalam narasi disebutkan: Pop dan rock diputar di radio Inggris 24 jam per hari.

Rekomendasi : Bintang Tiga

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me