Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

30hari30film: The Tree of Life (2011)


11 Ramadhan 1433 H



The Tree of Life adalah film eksperimental yang digarap oleh Terrence Malick. Film ini, meski berkisah tentang konflik keluarga, namun Malick tidak melihatnya dalam kacamata sempit keluarga itu sendiri. Ia mengajak penonton untuk melihat konflik tersebut dengan cara pandang mahaluas: Dari sudut pandang penciptaan alam semesta dan evolusi. Sudut-sudut pengambilan gambarnya pun menarik dan tak biasa.

The Tree of Life dimulai dengan flashback masa kecil Jack (Sean Penn) ketika ia masih bersama orangtuanya di Texas. Jack mempunyai dua orang adik dan orangtua yang mempunyai karakter ayah dan ibu pada umumnya. Sang ayah, Mr. O’Brien (Brad Pitt) adalah tipikal ayah yang keras, yang melihat dunia si anak kelak akan menjadi dunia yang korup dan menyedihkan. Sehingga Mr. O’Brien lebih membiasakan anak-anaknya untuk mandiri dan disiplin. Sedangkan sang ibu, Mrs. O’Brien (Jessica Chastain) melihat anak-anaknya sebagai berkah, yang harus dijaga, yang mesti mendapat perhatian karena dunia kelak bisa dihidupi dengan cinta dan kasih sayang.

Namun Mr. O’Brien lama kelamaan tidak terlihat sebagai orangtua yang menyenangkan bagi Jack. Ia lebih terasa sebagai pria yang gila hormat, yang Mr. O’Brien akui sendiri sebagai, “I’m a Big Man”. Mr. O’Brien tidak mau dipanggil dad, ia hanya mau dipanggil father. Ia juga mewajibkan anak-anaknya untuk mengakhiri setiap ucapan bagi dirinya dengan akhiran sir. Hal tersebut lambat laun mengubah perilaku Jack dari yang tadinya tunduk selalu, menjadi berontak. Ia pun mulai berani melawan dan mengatakan, “Aku mau melakukan apa yang kulakukan.”

Namun bukan pertentangan itu yang membuat film Malick ini disebut eksperimental. Melainkan bagaimana ia menghadirkan efek penciptaan alam semesta dan evolusi dengan sensasional (mengingatkan pada stargate sequence-nya 2001: A Space Odyssey). Ia seolah mau menunjukkan posisi manusia dalam mikrokosmos maupun makrokosmos. Di sela-sela adegan penciptaan itu selalu ada voiceover berupa doa dari masing-masing anggota keluarga . Menunjukkan bahwa manusia bisa melampaui dirinya, masuk ke jagat makrokosmos lewat kesadaran akan alam semesta. The Tree of Life adalah film menarik, eksperimentasi yang mengasyikkan dari Malick.

Rekomendasi: Bintang Lima

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me