Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Heidegger, Ammy, dan Abaji

Hari Kamis tanggal 5 Juli kemarin, secara ajaib saya berjumpa dengan tiga orang yang berbicara hal yang sama. Mereka bertiga tidak saling kenal, dan perjumpaan kami pun dilakukan di tempat yang berbeda-beda.

Martin Heidegger

Perjumpaan pertama adalah dengan Martin Heidegger. Saya menemui ia lewat tulisannya yang sudah ditafsir ulang oleh Frans Budi Hardiman dalam bukunya: Heidegger dan Mistik Keseharian Filsuf yang lahir tahun 1889 ini bicara tentang manusia yang kerapkali lupa mempertanyakan Ada. Kita seolah yakin bahwa matahari ada di atas kepala kita, kita seolah yakin bahwa arisan pasti ujung-ujungnya bergosip, kita seolah yakin bahwa Alfamart adalah tempat dimana kapitalisme membuka cabangnya. Tapi semuanya adalah asumsi-asumsi yang dijejalkan pada kita, yang membuat kita enggan untuk melihatnya lebih jernih: Memerhatikan hingga Ada itu menceritakan siapa dirinya sesungguhnya. 

Ammy Kurniawan
Terlalu sulit memahami Heidegger? Itulah guna kehadiran Ammy yang saya temui setelahnya di Jalan Progo. Musisi asal Bandung ini mengajarkan saya hakikat improvisasi dalam musik: Biarkan musik itu bernyanyi di kepala kita untuk lalu kita tuangkan dalam instrumen. Bagaimana dengan tangga nada atau scale semacam blues, mixolydian, broken chord, dan tetek bengek syarat improvisasi lainnya? Ammy tidak mengatakan itu keliru, tapi segera setelah mengetahuinya: Tinggalkan. Seolah Ammy mau meneruskan Heidegger bahwa asumsi-asumsi scale itu membuat kita tidak sanggup melihat Ada dengan jernih. Padahal Ada itu kerapkali ingin menceritakan siapa dirinya sesungguhnya. 

Abaji

Saya merasa paham maksud Heidegger setelah jumpa Ammy. Tapi saya cukup diberi rejeki untuk bertemu Abaji, seorang musisi berdarah Armenia-Lebanon-Turki yang tampil di Auditorium IFI-Bandung sesudahnya. Abaji, sesudah ia konser dengan menyajikan permainan memikat dari instrumen-instrumen yang rata-rata dari Timur Tengah, ia menggelar diskusi dengan beberapa gelintir penonton. Ada yang bertanya, "Bagaimana bisa memainkan instrumen sedemikian banyaknya?" Abaji tidak menjawab dengan klise, misalnya dengan "belajar" atau "bekerja keras", ia cuma bilang, "Instrumen-instrumen ini yang berkata langsung pada diri saya bagaimana cara memainkannya." 

Baik Heidegger, Ammy, dan Abaji, -tiga orang dari kawasan Jerman, Bandung, dan Timur Tengah- semuanya memikirkan hal yang sama: Bahwa ada yang menampakkan diri di dunia ini, jika dan hanya jika kita tidak memikirkannya atau setidaknya mengotori pikiran-pikiran kita dengan asumsi dan kategori-kategori pemahaman yang dibuat sendiri. Sesungguhnya Ada (jika kita pinjam dulu bahasa Heidegger) memanggil-manggil kita, dan mereka yang terpanggil hanyalah mereka yang mau "berpikir dengan perasaan" atau Heidegger menyebut berpikir sebagai bukan kegiatan akal budi, melainkan "being intense with disclosure".  

Apa yang membuat kita begitu asing dengan Ada? Banyak hal, bisa ya itu tadi, kategori pemahaman yang kita buat dalam kepala sendiri, atau keseharian yang terlalu bising dan membenamkan kita pada palung tidak berdasar. Heidegger, Ammy, dan Abaji, menitipkan satu pesan yang sama: Jadilah pemula. Jadilah seolah-olah kita baru lahir ke dunia dan terpesona melihat segala sesuatu untuk pertama kali. Dalam keterpesonaan itu, sesungguhnya segala sesuatu menyingkapkan dirinya.


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me